Lean terbangun dengan kepala pusing bukan main. Bagaimana tidak, sedang menjelang pagi dia baru bisa memejamkan matanya. Bayangan dua orang terkutuk sedang bergumul tanpa sehelai benang, juga kata-kata menyakitkan mereka berisik memenuhi benaknya. Seberapapun keras dia mencoba tidak peduli, nyatanya rasa sakit menggerogoti hatinya.
Terseok dia pergi ke kamar mandi. Helaan nafasnya terdengar kasar begitu mendapati bayangan wajahnya yang menyedihkan di cermin. Matanya bengkak memerah. Tidak, dia tidak sekuat itu. Mentalnya yang sejak kecil sudah morat-marit karena perselingkuhan papanya, hingga berujung perceraian. Membuat Lean tumbuh jadi gadis rapuh dan introvert.
Tidak ada yang tahu seberapa keras perjuangannya untuk bisa sampai di posisinya sekarang ini. Dia melewati lelah dan rasa sakitnya sendirian. Rumah yang seharusnya jadi tempat ternyaman untuk pulang, nyatanya justru jadi neraka yang sesungguhnya bagi Lean. Tidak apa, toh kesabarannya terbayar dengan keberhasilannya sebagai salah satu dokter bedah terbaik, juga punya calon suami yang nyaris sempurna.
Sayang, skenario Tuhan ternyata tak seindah harapan Lean. Dirinya justru sedang dijatuhkan sejatuh-jatuhnya, disakiti habis-habisan dan dihancurkan tanpa sisa. Akankah kali ini dia sanggup untuk berdiri tegak lagi? Sedang Lean merasa nyaris gila oleh jalan hidupnya yang luar biasa sadis.
“Lean ….”
“Ya!” serunya bergegas ke arah pintu setelah mengikat rambutnya.
Vian yang berdiri di luar kamar hanya menatap lekat saat Lean muncul dari balik pintu. Mata bengkaknya makin mengusik rasa penasaran Vian. Ada apa sebenarnya sampai seorang Leandra yang biasa tenang, bisa sekacau semalam. Bahkan, memilih menghilang dari keluarga dan calon suaminya seminggu menjelang pernikahan. Bukankah itu artinya pernikahan mereka pun terancam batal?
“Sarapan dulu! Tante Sifa datang bawa makanan.”
Seketika Lean langsung gugup mendengar pimpinan rumah sakit sengaja datang mencarinya. Malu, tapi sepertinya dia memang harus bicara, sebelum masalah ini mencuat dengan versi mereka yang sudah pasti menjadikannya tersangka.
“Hm,” angguk Lean mengikuti langkah Vian ke ruang belakang.
“Pagi, Lean!”
Dokter Sifa yang duduk menikmati kopinya di meja makan tersenyum ramah. Tidak sedikitpun terlihat sorot mata menghakimi. Itulah kelebihan seorang Sifa Haidar yang dikenal sebagai sosok pimpinan yang tegas, tapi ramah.
“Pagi, Dok! Maaf, saya sudah merepotkan semua orang,” lontar Lean yang duduk di seberang meja Sifa.
“Nggak kok. Tuh, yang punya tempat sepertinya juga ikhlas lahir batin kamu repotin!” sahut Sifa terkekeh ke Vian yang meletakkan segelas kopi untuk Lean.
“Terima kasih,” ucap Lean, sedang Vian duduk di samping tantenya menikmati sandwich tuna yang dibawakan Sifa.
“Makan dulu, Lean! Santai saja. Aku kesini cuma mau melihat keadaanmu,” ujar Sifa memperhatikan tangan Lean yang terbalut perban.
“Mudah-mudahan tidak sampai seminggu sudah pulih, jadi saya bisa secepatnya balik kerja lagi!” sahut Lean, lalu menggigit sandwich nya.
Mendengar itu Vian sempat melirik. Balik kerja? Padahal kemarin lean sendiri yang bilang mendapat cuti nikah sepuluh hari.
Sifa hanya mengangguk. Sepertinya paham ada perubahan rencana dari Lean.
“Dok ….”
“Kalau di luar rumah sakit, kamu panggil tante saja tidak apa-apa! Kan kamu temannya Vian juga.”
Namun, Lean meringis canggung. Tidak biasa, dan rasanya sungkan karena selama ini hubungan mereka hanya sebatas kerja. Terlebih Sifa adalah orang yang sangat disegani.
“Sebelumnya saya minta maaf kalau nanti mungkin Sakha dan keluarga saya, akan membuat sedikit keributan di rumah sakit karena mencari keberadaan saya. Tolong Tante, jangan beritahu apapun ke mereka!” pinta Lean menahan malu. Merasa tidak enak hati sudah melibatkan tempat kerja karena urusan pribadinya yang memalukan.
“Maaf, bukannya aku lancang ingin tahu urusan pribadimu. Tapi, karena nantinya mungkin akan berimbas ke rumah sakit, apa boleh kamu beritahu sedikit duduk permasalahanya? Biar bagaimanapun kamu adalah dokter di rumah sakitku, dan semua hal yang terjadi di lingkungan kerja jadi tanggung jawabku. Setidaknya kalau memang nanti mereka datang bikin ribut, aku tahu bagaimana mengatasinya,” ujar Sifa.
Lean terlihat bingung dan menelan kasar makanan di mulutnya. Dia meletakkan sandwich yang baru beberapa gigitan dimakan. Tangannya saling bertautan saking gugupnya.
“Aku sudah selesai sarapan!” lontar Vian berdiri hendak pergi, karena tidak ingin keberadaannya membuat Lean sungkan untuk bicara dengan tantenya.
“Kamu ikut dengar juga tidak apa-apa kok. Toh, sebentar lagi masalah ini juga akan mencuat,” ucap Lean hingga Vian urung berdiri.
“Apa ada kaitannya dengan rencana pernikahan kalian?” tebak Sifa.
“Iya, saya memutuskan mundur dan mengakhiri hubungan dengan Sakha semalam,” jawab Lean mengangguk.
Sifa dan Vian tampak sedikit kaget. Biarpun sudah menduga cekcok mereka bukan hal biasa, tapi tidak menyangka bisa sampai batal nikah dan putus hubungan.
“Pernikahan kalian bahkan tinggal menghitung hari,” gumam Vian.
“Dan aku bersyukur belum terlambat, jadi masih bisa selamat meski juga hancur tidak karuan!” sahut lean.
“Dia selingkuh?” tebak Sifa lagi, dan Lean mengangguk membenarkannya.
“Dengan adikmu?” terka Vian, tapi dia sepertinya tidak mengharap jawaban. Rangkaian puzzel dari kisruh saat di mall, juga keputusan Lean untuk menghilang dari keluarganya sudah cukup memperjelas semua.
Jantung Lean seperti diremas. Tangannya yang meraih cangkir kopi terlihat gemetar. Hingga akhirnya Lean urung meminumnya. Dia merasa bodoh. Bahkan orang lain saja bisa langsung merasa kedekatan Sakha dan Vina itu tidak wajar, tapi dia justru sama sekali tidak peka. Pantas bisa dibodohi oleh mereka sampai sekian lama.
“Maaf,” gumam Vian.
“Semalam aku melihat mereka tidur bersama,” ucap Lean dengan suara parau. Bening meleleh keluar dari matanya yang bengkak.
Sifa dan Vian tercengang kaget. Tidak menyangka Sakha juga adik Lean bisa sebejat itu. Di depan mereka Leandra yang sedari semalam menelan sendiri rasa sakitnya menangis terisak. Sifa beranjak berdiri, lalu pindah duduk di samping Lean dan merangkulnya. Tahu, sesakit apa hatinya sekarang.
“Menangislah, tidak apa-apa! Kalau kamu butuh teman bercerita, kami akan dengar! Jika memang ada yang bisa kami bantu, pasti akan kami usahakan sebisanya.”
Tangis Lean makin tergugu. Vian menghela nafas panjang menatap lekat Lean yang sedang kesakitan. Pantas saja semalam dia sampai sehancur itu menangis sendirian di taman dengan keadaan kacau.
“Saya seperti mau gila, Tan. Vina hamil. Mereka bahkan sudah berencana nikah siri sebelum Sakha menikahi saya. Yang lebih keterlaluan lagi dan bikin saya sakit hati, orang tua saya bahkan tahu perselingkuhan mereka, tapi malah ikut menutupi.”
“Haaa!” Sifa sampai melongo, lalu melempar pandang ke Vian yang juga sama kagetnya. Benar-benar tidak menyangka calon suami dan keluarga Lean bisa sejahat itu.
“Karena takut malu orang tua Sakha meminta saya tetap meneruskan rencana pernikahan minggu depan. Bahkan menyuruh saya nantinya merawat anak hasil selingkuhan mereka. Saya ini dianggap apa? Tidak ada yang peduli sesakit apa saya dikhianati. Mereka hanya memikirkan ego dan nama baik dengan berusaha menyeret saya sebagai tumbal. Tidak habis pikir, salah saya apa mereka sampai tega sejahat itu. Bahkan papa saya …”
Tidak sanggup lanjut cerita, Lean nangis kejer di pelukan Sifa. Selama ini dia selalu memendam semua sendirian. Hanya punya Sakha sebagai teman bercerita, tapi di belakangnya pria b******k itu malah main gila dengan Vina.
Vian menuang segelas air putih, lalu meletakkan di depan Lean. Kalau dia yang berada di posisinya pasti juga akan sesakit itu. Dikhianati habis-habisan oleh orang-orang terdekatnya sendiri.
Menyeka air matanya, Sifa mengusap punggung Lean yang masih berguncang. Sakit hatinya sampai terasa oleh Sifa.
“Kuat, Lean! Keputusanmu untuk mengakhiri semua itu sudah benar. Jauhi pria sebrengsek Sakha, saudara sejahat Vina dan orang tua setoxic mereka! Itu satu-satunya cara biar kamu tetap waras. Kalau mereka tidak menganggapmu berharga, kamu juga tidak perlu menganggap mereka ada!” ucap Sifa mengambil beberapa lembar tisu dan mengusap air mata Lean.
“Tenang saja, kalau mereka berani datang ke rumah sakit dan bikin ribut aku yang akan bereskan!” tegas Sifa.
“Maaf, sudah merepotkan kalian semua.” Lean menunduk menatap tangannya yang gemetar.
“Kami tidak merasa direpotkan. Tinggallah disini dulu. Beri mereka pelajaran dengan menghilang, supaya tidak keranjingan memaksamu tetap menikah. Kita lihat, semalu apa mereka nanti kalau pernikahan batal digelar! Lagi pula disini kamu bisa lebih tenang. Istirahat dan tata lagi hatimu untuk melanjutkan hidup. Biarpun menyakitkan, tapi Tuhan sudah menyelamatkanmu dari orang yang salah,” ucap Sifa.
Di depan mereka terlihat Lean yang tampak rapuh. Wajah tegas dan tenangnya tertutup pilu, hanya menyisakan air mata kesakitan. Sejahat itu mereka menghancurkan orang sebaik dia, terlebih itu adalah keluarganya sendiri. Sifa menepuk bahu Lean. Di rumah sakitnya Leandra adalah salah satu dokter bedah terbaik, itu kenapa dia kenal dekat biarpun sebatas hubungan kerja.
“Jangan merasa sendirian lagi. Mulai sekarang ada kami yang akan menemani melalui rasa sakitmu. Kamu pasti bisa bangkit lagi, Lean. Sama seperti Vian. Kamu juga tahu sesakit apa dia, tapi sekarang perlahan mulai membaik kok. Iya kan, Vian?” lontar Sifa.
“Hm,” angguk Vian.
Lean mendongak menatap Vian. Pria irit bicara yang kadang sampai membuatnya canggung. Menjadi dokternya saat dirawat karena kecelakaan dulu, tanpa sengaja justru membuat Lean tahu banyak tentang cerita hidup Vian yang menyakitkan.
“Tinggal saja disini kalau kamu memang butuh tempat untuk menenangkan diri. Paling tidak sampai minggu depan, jadi mereka tidak akan lagi memburumu dan memaksa meneruskan pernikahan itu,” ujar Vian menghabiskan sisa kopinya, lalu beranjak ke kamar.
Terlihat galau, Lean masih bingung harus bagaimana. Sungkan menerima kebaikan mereka, tapi dia juga tidak punya tempat lain untuk pergi.
“Lean ….”
“Iya ….”
“Kamu tahu, dulu aku juga tumbuh di tengah keluarga toxic. Sejak kecil sudah menanggung beban mental dan mendapat tekanan untuk sebuah tanggung jawab. Tapi, setidaknya aku masih beruntung punya mama yang selalu ada untukku. Jangan lemah, Lean! Jangan biarkan mereka tertawa senang karena berhasil membuatmu hancur! Kalau diammu disepelekan, maka berteriaklah supaya mereka diam. paham?” ucap Sifa.
“Iya, saya paham.” Leandra mengangguk.
“Bagus! Selama kamu berada di bawah naungan rumah sakitku, aku akan bertanggung jawab penuh hingga Sakha dan keluarganya tidak akan bisa bertindak macam-macam ke kamu!” tegas Sifa. Itu juga bentuk solidaritasnya sebagai seorang perempuan.
“Terima kasih, Tante.”
“Aku sudah minta Vian menemanimu disini. Mereka sedang memburumu, kalau ada Vian setidaknya ada yang menjagamu.”
Lean hanya bisa mengangguk, meski sebenarnya sedikit tidak nyaman tinggal seatap dengan pria yang bukan siapa-siapanya. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya yang menumpang tinggal disini. Toh, Vian juga pendiam dan tidak banyak tingkah.
Pria yang baru saja singgah di benaknya itu muncul dari pintu kamarnya dengan mengenakan jasnya. Sepertinya sudah mau berangkat kerja. Dia mendekat dan meletakkan kunci di atas meja.
“Kalau mau keluar kamu bisa menggunakan mobil itu dulu. Ada di basement, diparkir di samping mobilku yang semalam. Sandi pintu sudah aku tulis dan letakkan diatas meja depan. Bajumu sebentar lagi diantar kesini,” ucapnya.
“Terima kasih, aku keluar naik taxi saja.”
“Terserah,” sahut Vian melangkah pergi.
Lean meringis, padahal dia cuma sungkan jika terus-terusan menerima kebaikan Vian. Sifa tertawa pelan melihat kelakuan keponakannya.
“Jangan diambil hati! Dia kadang memang menyebalkan gitu kok. Sama kayak Liam, tapi aslinya lembut. Pakai saja mobilnya kalau memang butuh.” Sifa juga beranjak bangun dan meraih tasnya. Lean buru-buru mengikuti pimpinan rumah sakit tempatnya bekerja itu ke pintu depan.
“Kalau ada apa-apa kabari aku juga Vian. Keluar harus hati-hati. Sakha dan keluarganya pasti menyebar orang untuk mencarimu. Untuk yang di rumah sakit nanti biar aku yang bereskan.”
“Iya, sekali lagi terima kasih, Tante,” ucap Lean berdiri di hadapan Sifa yang tersenyum hangat.
“Buat senyaman mungkin selama tinggal disini. Vian baik kok, cuma ya itu tidak banyak omong. Nanti lama-lama kalau sudah biasa dan kenal dekat, kamu pasti akan tahu sehangat apa sifat aslinya.”
“Hm,” angguk Lean.
“Aku pergi dulu. Nanti kalau mereka memang datang, aku kabari kamu!” pamitnya.
Seperginya Dokter Sifa, Leandra berbalik dan menatap setiap sudut ruangan disana. Sampai kemudian matanya tertuju ke secarik kertas di atas meja. Tidak pernah terpikir disaat dirinya jatuh terpuruk oleh ulah calon suami dan keluarganya, justru orang lain seperti Vian juga Dokter Sifa yang mengulurkan tangannya.
Dia merogoh ponsel dari saku. Begitu diaktifkan ratusan panggilan tak terjawab dan chat dari mereka membanjiri ponselnya. Bibirnya menyeringai sinis membaca isi pesan mereka. Benar kata Dokter Sifa, dia tidak boleh lemah dan membiarkan harga dirinya diinjak-injak seenaknya.
“Kita lihat sejauh mana kalian bisa bahagia di atas penderitaanku!”