Laila memperhatikan wajah putrinya dengan kening berkerut. Ia yang semula hanya bermaksud menggoda tiba-tiba menjadi khawatir. Bagaimana kalau selama berada di luar negeri, anaknya mendapat perlakuan yang tidak pantas. Atau anaknya sudah tergoda lelaki barat?
“Darling…kamu baik-baik aja kan? Selama di luar ga ada yang berani macam-macam sama Darling kan?” tanya Laila khawatir hingga Emma yang mendengarnya cemberut.
“Bu…nama anak ibu itu Emma Darliana Baehaqi, bukannya Darling,” sahut Emma mengingatkan Laila.
“Nama Darliana adalah ide ibu. Ibu berharap agar ibu bisa panggil kamu dengan nama Darling,” sahut Lailla yang berakibat Emma melotot sementara ayahnya terkekeh berkepanjangan.
“Serius Bu?”
“Tentu saja serius. Dulu ibu sudah menyiapkan kamu nama Darla Dasima karena ibu suka cerita wanita yang menjadi simpanan kompeni, tapi ayahmu ga mau,” sahut Lailla membenarkan.
“Ayah, bener yang ibu bilang itu?”
“Tentu saja benar. Ayah ga setuju karena ibumu suka dengan Dasima karena jadi simpenan kompeni…sementara anak ayah adalah wanita yang punya masa depan sendiri yang lebih hebat dari wanita manapun,” puji Ardan bangga.
“Mantap. Nah, ibu denger tuh omongan ayah,” kata Emma dengan kalimat menyindir.
“Heh, kamu belum menjawab pertanyaan ibu, kamu sama siapa selama di perjalanan,” kata Lialla mengingatkan.
“Emma ga tahu Bu. Namanya juga sama-sama numpang di pesawat yang sama,” ucap Emma mengeluh.
“Harusnya kamu tanya siapa. Lagian kamu di pesawat kan lama banget masa ga ada niat kenalan,” grutu Lailla melihat sikap anaknya yang tidak peduli.
“Ga niat Bu. Dia udah om-om dan aku ga suka sama orang tua,” jawab Emma sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Heh…yang duduk di sebelah kamu udah tua? Kamu ga di apa-apa in kan? Jangan sampe kamu di suka-in sama lelaki tua. Nanti kamu di kira gula-gula lagi,” omel Lailla.
“Gula-gula? Cabe-cabe an kali,” sahut Ardan tertawa.
“Ayah…itu loh yang sering di sebut di n****+-n****+ sekarang, sugar daddy atau sugar babby gitu,” sahut Lailla kesal.
“Tapi bukan berarti namanya jadi gula-gula Bu,” kata Ardan geli.
“Suka-suka ibu ah. Darling, kamu serius ga di apa-apa in kan sama lelaki tua yang duduk di sebelah kamu?”
“Engga Bu. Malah Emma yang udah bikin om itu kesal,” jawab Emma setengah melamun.
“Heh, gimana bisa anak ibu bikin kesal orang?” tanya Lailla tidak percaya.
“Gimana ga bikin kesal. Emma kan duduknya dekat jendela, sementara dia duduknya di pinggir terus Emma sering pergi ke belakang.”
“Memangnya dia ga mau tukar tempat?” tanya Lailla lagi.
“Dia mau, Emma-nya yang engga,” jawab Emma mulai memejamkan matanya.
Lailla yang melihat Emma memejamkan matanya hanya bisa ngedumel sendiri. Dia belum tahu dengan jelas siapa lelaki yang duduk di samping anaknya. Tidak mungkin hanya duduk bersebelahan tapi wangi parfumnya bisa melekat di baju Emma.
Bagi Lailla, Emma adalah batu mulia yang paling berharga di dalam hidupnya. Emma lahir setelah dia 3 kali mengalami kegagalan dalam proses kehamilan hingga membuatnya nyaris putus asa. Kalau saja Ardan tidak sabar, mungkin saja suaminya sudah menikah lagi.
Bagi mereka yang tidak mengerti, bagaimana bisa program bayi tabung dan program Inseminasi Intrauterin yang merupakan program kehamilan bisa gagal, bukan hanya sekali tetapi berkali-kali. Sampai pada percobaan Inseminasi yang kedua, akhirnya kandungannya dapat bertahan sampai Emma lahir dengan selamat.
Ardan berkali-kali melirik istrinya yang selalu menoleh ke belakang untuk memastikan kalua Emma istirahat dengan nyaman.
“Menurut ayah, selama di pesawat Emma di ganggu sama laki-laki tua itu ga ya?” tanya Emma memastikan.
“Ayah yakin tidak. Emma sudah bilang kan kalua dia yang justru mengganggunya. Ayah yakin kalua pesawat yang ditumpangi Emma adalah pesawat yang menjamin kenyamanan penumpangnya. Kalau memang ibu khawatir, kenapa baru sekarang bukannya sebelum Emma pergi?”
“Ayah benar juga. Tapi mana mungkin ibu melarang Emma untuk pergi. Tawaran seperti itu mungkin tidak akan bisa di dapat dua kali untuk Emma. Dia beruntung tetapi mungkin saja di tahun-tahun mendatang ada lagi yang lebih beruntung dan mempunyai bakat yang dihasilkan lebih baik lagi. Siapa yang tahu.”
“Di atas langit masih ada langit,” gumam Ardan menanggapi ucapan istrinya.
“Jadi tidak perlu lagi bertanya siapa dan bagaimana lelaki yang duduk di samping Emma kalau dia sendiri tidak ada masalah. Setuju?” kata Ardan kembali.
“Iya…ibu tidak akan bertanya lagi,” grutu Lailla.
Ardan hanya tertawa, dia tahu kalau istrinya tidak akan diam dan berhenti walaupun Lailla sudah berjanji padanya. Seorang Lailla akan menjadi wanita yang sangat bawel dan cerewet apabila menyangkut putrinya. Bagi seorang Lailla tidak ada yang lebih penting dan berharga yang melebihi seorang Emma.
Lailla selalu bersikeras memanggil Emma dengan sebutan Darling karena Emma bagi Lailla adalah kesayangan yang tidak akan tergantikan di dalam hatinya meskipun Emma sendiri sering keberatan dengan sebutan ibunya, tidak pernah berhenti mereka saling berdebat hanya karena soal sepele yang kadang tidak penting sama sekali.
“Ibu, ibu udah daftar sekolah untuk Emma kan?” suara Emma terdengar kencang mengagetkan dua orang yang duduk di kursi depan.
“Anak gadis memangnya ga bisa bicara pelan? Yang pelan dan halus kalau bicara, jangan grasa grusu seperti itu,” tegur Lailla.
“Iya, Emma minta maaf. Tapi ibu udah daftar sekolah kan?”
“Sudah Darling…sesuai dengan permintaan. Untung nilai kamu tinggi jadi bisa di terima di sekolah favorit, kalau engga…ga bakal ibu sekolahin,” jawab Lailla.
“Kalau ga di sekolahin, emangnya mau diapain Bu?”
“Ibu kawinin sama anaknya Mang Dul,” jawab Lailla sekenanya.
“Bukannya Mang Dul belum punya anak ya Bu?”
“Ya memang belum. Makanya ibu bilang seperti itu,” jawab Lailla tidak mau kalah.
“Kalian ini ibu dan anak selalu saja berdebat. Ga cape apa? Ayah yang dengar saja sakit ini telinga. Emma mamangnya ga ngalamin seperti yang orang-orang bilang? Jetlag gitu?”
“Jetlag kalah sama suara ibu yang bersemangat, Yah. Untung aja Emma tidur nyenyak sampe ga terasa tidur di d**a si Om,” jawab Emma santai.
“Apa! Kamu tidur di d**a lelaki tua itu? Maksudnya kamu di peluk? Terus dia lakuin apa lagi sama kamu, Darling.”
Emma menutup telinganya rapat-rapat sambil memejamkan matanya. Bagaimana dia bisa bicara soal dia yang tertidur dalam pelukan seorang lelaki yang tidak dia kenal. Ya Tuhan…semoga saja ibunya tidak bertanya soal yang sama lagi sementara dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa lagi.
“Darling…jawab pertanyaan ibu, kamu tidur di dalam pelukannya? Apa lagi yang dia lakukan? Apa kalian sebelumnya sudah saling kenal?”
“Emma memang tidur di dalam pelukannya Bu, tapi Emma rasa itu Gerakan yang spontan saja karena namanya orang tidur mana bisa ngatur mau gimana,” sahut Emma mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada Lailla yang masih penasaran.
“Apa dia juga tidur?” tanya Ardan memandangnya melalui kaca spion.
“Iya. Dan tidurnya sangat pulas. Mungkin karena dia selalu terganggu sama Emma sebelumnya jadi dia lebih nyenyak,” kata Emma menjelaskan.
“Beneran kamu ga di apa-apa in?”
“Benar Bu.”