Kepastian dirinya bisa mulai kerja besok pagi membuat Abyan tidak memperhatikan langkah kakinya. Dia begitu ingin lekas pulang untuk istirahat. Tubuhnya baru merasakan letih setelah lewat sehari dia tiba di Jakarta.
“Aawaoh....”
Suara teriak kesakitan membuat Abyan reflek menghentikan langkah kakinya. Dalam hatinya dia ngedumel karena suara tersebut membuat telinganya sakit.
‘Memangnya ada yang salah, ya?’
Abyan mengedarkan pandangannya, tepat di samping pintu lift yang letaknya tidak seberapa jauh darinya dia melihat wanita yang badgenya bernama Karla jatuh terduduk sementara di depannya seorang lelaki berdiri dengan sikap arogan yang…Abyan tidak bisa mengatakannya karena keinginannya hanya satu yaitu memberikan pelajaran pada lelaki itu.
‘Ada ya lelaki dengan tubuh yang lumayan kekar membiarkan wanita jatuh duduk di dekat kakinya tanpa ada niat membantu sama sekali.’
Dengan langkah kakinya yang panjang, Abyan sudah berdiri di depan lelaki yang tidak lain adalah salah seorang bintang film yang sebelumnya melakukan syuting di HSP.
“Ada apa? Kau tidak apa-apa?” tanya Abyan membantu Karla berdiri.
“Tidak apa-apa. Kakak ini tadi hanya menabrakku,” jawab Karla pelan.
“Kau yang nabrak atau dia?” tanya Abyan memastikan.
“Maksudnya?” tanya Karla tajam.
Abyan sudah terlalu sering melihat perempuan yang menggunakan berbagai cara untuk menarik lawan jenisnya, mungkin saja Karla berusaha melakukan hal yang sama pada bintang film itu, kan?
“Kau dengar Nona, dia saja meragukan dirimu, apalagi denganku?” kata lelaki itu sombong.
“Aku memang meragukannya tetapi tidak berarti kau bersikap tinggi hati seperti itu. Dia adalah wanita jadi sudah kewajibanmu untuk membantunya berdiri. Mudah bukan?” kata Abyan tajam.
“Maaf, Rendi, aku minta maaf sudah mengganngu waktumu,” suara Karla terdengar lembut memuja hingga kedua alis Abyan naik.
‘Telinganya masih cukup normal untuk mendengar, kan?’
Ucapan Karla membuat Abyan menggelengkan kepalanya. Tapi sudahlah, untuk apa Abyan ikut campur. Dia masih cukup waras untuk terlibat urusan mereka.
Lelaki yang dipanggil Rendi dengan sinis meninggalkan mereka begitu juga dengan Abyan, tetapi langkah kakinya terhenti karena suara Karla yang memanggilnya.
“Kau harus bertanggung jawab karena sudah membuatku malu di depan Rendi,” kata Karla tajam.
“Aku? Kenapa harus aku? Tapi tanpa bantuanku-pun kau memang sudah membuat dirimu malu,” cibir Abyan.
Dia bukan lelaki yang mudah digertak apalagi oleh perempuan yang tidak memiliki kata malu. Siapa dia?
“Hey!” panggil Karla.
Namun, Abyan terus melangkah meninggalkan HSP tanpa sekalipun menoleh pada saat Karla memanggilnya berulang-ulang.
Di Indonesia, Abyan seperti orang asing. Dia tidak mempunyai teman yang bisa menemaninya melewati hari kerena sebagian waktunya dia habiskan di luar negeri. Hanya keluarganya yang menjadi teman terdekatnya sehingga yang dia alami di hotel dia katakan pada Zeny yang dia temui begitu dia baru saja tiba di parkiran lobby.
“Eh, sudah selesai?” tanya Zeny.
“Sudah. Aku tidak melewati wawancara dengan Erwin tapi kaka langsung ambil alih,” beritahu Abyan.
“Begitu, terus kau mau kemana dan kenapa wajahmu jutek seperti itu?” tanya Zeny ingin tahu.
“Punya waktu tidak? Kita makan di luar, yuk,” ajak Abyan pada kakak keduanya.
“Aku baru sampai By, nanti kakak marah,” kata Zeny, tetapi dari gerakannya dia membatalkan memberikan kunci mobilnya pada Valet parking yang sudah menunggunya.
“Ayo,” kata Zeny pada Abyan sambil melemparkan kunci mobilnya pada Abyan.
Banyak mata yang memperhatikan Abyan termasuk Rendi yang masih menunggu mobilnya di antar oleh valet parking.
“Siapa lelaki itu dan bagaimana dia bisa mengenal wanita yang memiliki kecantikan luar biasa itu? Aku tidak percaya kalau lelaki itu orang yang tidak memiliki pengaaruh di hotel ini,” kata Rendi dalam hati.
Sementara itu, di dalam mobil Abyan mengemudi dengan gerakan tenang dalam kecepatan sedang.
“Mau kemana kita,” tanya Zeny yang tidak tahu kemana adiknya membawa dia pergi.
“Ke restoran yang menjadi langganan Mom,” jawab Abyan singkat.
Zeny memperhatikan adiknya dengan seksama. Abyan bukan lelaki yang mudah terbawa emosi tetapi dia sudah lama tidak tinggal di Indonesia seperti mereka. Lalu apa yang membuat wajah adiknya begitu murung seolah sudah ada yang menyinggungnya.
Di dalam perjalanan, Zeny berusaha mencari tahu tetapi Abyan tetap diam, dia hanya sesekali meliriknya dengan mulut berkerut hingga Zeny harus menahan tangannya agar tidak mampir di bibirnya.
“Kau tahu sikakmu sudah sukses membuat kakak penasaran. Ada apa, sih?” tanya Zeny setelah mereka sudah duduk manis di restoran Betawai dengan segelas air the panas di depan mereka.
“Kau tahu siapa yang menangani perijinan penyewaan tempat untuk kegiatan syuting atau apa pun namanya?” tanya Abyan setelah dia hanya menggerak-gerakkan bibir dan matanya saja.
“Ada apa? Semua kegiatan tersebut ada di bawah perintah Handy, tetapi dia sudah di pecat oleh kakak seminggu yang lalu,” jawab Zeny.
“Maksudmu dia yang menangani Event planners sebelumnnya?” tanya Abyan.
“Benar. Jadi alasan yang mendukung kau kerja di HSP. Ada lowongan kerja yang tepat untukmu karena kau menolak posisi yang diberikan papa,” jawab Zeny lagi.
“Berantakan. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa memberi ijin syuting di lakukan dengan mengganggu tamu hotel kita,” kata Abyan bersungut-sungut seperti tidak puas.
“Mengganggu bagaimana? Aku pasti akan menegur tim mereka bila membuat tamu hotel tidak nyaman,” kata Zeny.
“Kau tahu, mereka mengganti petugas resevsionis tanpa di damping oleh pegawai kantor yang melakukan tugasnya. Aku melihat banyak tamu yang harus menunggu bintang mereka berusaha melayani tetapi pada akhirnya hanya memanggil pegwai yang bertugas dan parahnya pegawai itu tidak selalu ada di tempat,” jawab Abyan.
“Aku akan menegur tim mereka. Lalu…masih ada lagi yang membuatmu jutek?” tanya Zeny.
Abyan tidak langsung bersuara karena Zeny menghubungi seseorang. Dari setiap kata yang keluar dari mulutnya sangat jelas kalau Zeny minta rekaman cctv di lobby. Dari kesimpulan yang diperkirakan Abyan, Zeny harus punya bukti untuk menegur tim yang melakukan syuting di lobby, tepatnya di bagian reservasi tamu.
“Heh, siapa yang sudah membuatmu jutek begitu?” tegur Zeny lagi.
“Perempuan yang tidak punya otak karena terlalu ngefans dengan seseorang,” jawab Abyan.
Bukan Zeny namanya kalau dia tidak terkejut mendengar jawaban dari Abyan. Adiknya memberi perhatian dan wajahnya jutek karena seorang wanita, tapi…apa dia wanita yang sama yang sudah membuat baju Abyan sangat wangi?
“Apa masih wanita yang sama?” tanya Zeny tidak bisa menahan diri.
“Sama? Sama yang mana? Astaga, Kak. Aku baru sampe kemarin, memangnya ada berapa perempuan, sih, yang aku temui?” sungut Abyan jengkel.
Kenapa kakaknya suka sekali cari sensasi. Oke dia memang orang yang memiliki sikap peduli lebih besar daripada sebagian kaumnya. Mereka mungkin tidak peduli, toh dia tidak kenal, tetapi Abyan berbeda, apalagi terjadi di lingkungan tempat keluarganya bekerja.
“Mana kakak tahu. Yang jelas kemarin kau sudah bersama dengan seorang wanita yang kau bilang apa…cewek ingusan yang cantik atau cewek cantik di pesawat dan dia berhasil membuatmu memeluknya sepanjang penerbangan, Apa bukan dia?”
“Bukan!” jawab Abyan ketus.
Apakah ada lelaki muda tampan dan wajahnya sangat jutek tetapi semakin tampan? Maka jawabannya sudah pasti ada. Abyan sukses membuat Zeny yang merupakan kakaknya sendiri terdiam.
Kalau saja Abyan bukan adiknya, Zeny mungkin akan mengejarnya atau berusaha menarik perhatiannya karena Abyan adalah lelaki paling menarik yang pernah dia temui. Tidak juga tunangannya yang saat ini tinggal di Amerika.
Sementara Abyan seperti tidak peduli dengan semua yang dipikirkan Zeny meskipun wajah kakaknya pasti menarik perhatian beberapa orang yang melewati tempat mereka duduk.
“Kau baru tiba, tetapi sudah ada 2 orang wanita yang sudah menarik perhatianmu. Kira-kira siapa diantara mereka yang berhasil menguasai hatimu?” tanya Zeny masih bertahan dengan godaannya.
“Siapa pun dia, semoga tidak membuatku menjadi orang lain,” sahut Abyan.
“Mau kakak kenalin sama temen kakak gak?” tanya Zeny kembali menggoda Abyan sementara pelayan sudah mulai meletakan pesanan mereka di atas meja.
“Temen kakak? Gak salah,” kata Abyan meringis.
“Gak. Mereka cantik-cantik dan memiliki status ekonomi yang di atas rata-rata,” jawab Zeny.
“Maksdunya kakak mau aku kenalan sama perempuan yang usianya lebih tua dariku? Aku yakin anak SMA atau anak kuliahan masih banyak yang tertarik padaku,” jawab Abyan tertawa.
Kurang ajar. Apakah dengan ucapannya Abyan mau mengatakan kalau usia kakaknya sudah tua? Tapi memang benar juga, sih. Kalau Abyan mau cari kekasih, seharusnya dia memilih wanita yang lebih muda dari usianya. Tapi siapa?
Tanpa di sadari oleh Zeny, dia mulai mengerutkan keningnya sebagai tanda kalau dia sedang berpikir, tetapi suara Abyan yang diikuti dengan gerakan tangan yang menyapa kulit halus pipinya membuat Zeny tersenyum.
“Jangan buat keningmu berkerut dengan masalah atau pikiran yang tidak jelas arahnya. Kau adalah kakakku yang lebih muda, jadi jangan buat dirimu menjadi tua dalam setengah jam,” kata Abyan lembut.
Zeny tersenyum mendengar ucapan Abyan, tetapi begitu dia meresapi ucapannya, matanya melotot galak. Abyan tidak bermaksud memujinya dengan ucapan lebih muda karena usianya memang lebih muda daripada kakak pertama mereka. Tania.
“Jadi, kau mulai kerja besok. Sudah memiliki rencana untuk pekerjaanmu? Aku harus katakan padamu pengajuan kerja harus dilakukan sebulan sebelumnya pada setiap acara yang akan berlangsung. Aku harus memastikan semuanya aman lebih dulu sebelum memulai acara,” kata Zeny tegas.
“Aku mengerti. Percayalah kalau aku bisa melakukannya. Aku bukan anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa atau hanya terima beres saja.”
“Kau memang yang terbaik. Tapi ingat jangan terlalu peduli pada orang lain, bisa-bisa kau dimanfaatkan oleh mereka,” kata Zeny mengingatkan Abyan.
“Kakak tenang saja. Aku yakin dengan statusku yang hanya karyawan honorer mereka tidak akan macam-macam. Apa, sih, yang mereka harapkan dariku selain tampang keren,” sahut Abyan tertawa.
Abyan optimis kalau dirinya bisa melewati tugas dan tantangan yang diberikan oleh ayahnya. Dan dia akan membuktikan kalau dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa dukungan dari keluarganya.