Perlahan semua kejadian tentang Abyan mulai bisa dilupakan oleh Emma. Emma adalah wanita yang terus melangkah dan tidak akan membiarkan ada penghalang yang membuat langkah kakinya terhalang oleh sesuatu yang tidak dia hormati/
Sudah tidak ada waktu untuk memikirkan yang lain selain sekolahnya. Emma sekarang sudah kelas 3 SMA dan akan menghadapi ujian. Emma tidak mau perjalanan mencapai cita-citanya mengalami gangguan.
Kedua orang tuanya bahkan memberikan seorang guru privat untuk membantu Emma sampai sosok lelaki tiba-tiba berada di depan mobilnya tepat ketika Dian mengerem dengan dadakan.
“Astaga. Siapa itu, Mang,” teriak Emma dengan berteriak.
Jalan yang pernah dilalui Emma dan Dian beberapa bulan yang lalu karena tidak mungkin Dian melewati jalan yang lain sementara rumah keluarga Ardan Baehaqi.
“Gak tahu, Neng. Apa Mamang perlu turun dulu?” tanya Dian ragu.
“Mang Dian gak nabrak dia, kan? Sebaiknya mamang klakson aja. Pokoknya jangan sampai kita keluar dari dalam mobil,” kata Emma pelan.
Emma begitu takut mereka akan menjadi korban kejahatan. Sudah banyak cara orang mencari kesempatan dan Emma tidak mau dirinya menjadi korban dari kejahatan yang tidak mereka inginkan.
Semua pintu sudah terkunci dan Emma mulai menghubungi pegawai ayahnya. Emma yakin jarak rumahnya lebih dekat dengan kantor polisi sehingga lebih aman baginya minta bantuan pada mereka.
Namun, suara klackson yang dibunyikan oleh Dian secara terus menerus membuat orang yang terjerembab di depan mobilnya mulai mengangkat wajahnya dan menatap ke depan.
Suara teriakan Emma begitu nyaring hingga Dian yang berada di depannya sangat terkejut dan menutup telinganya rapat-rapat.
“Neng Emma bikin kaget aja. Itu bukan setain Neng, dia manusia juga seperti kita,” beritahu Dian.
“Iya, Emma tahu, tapi kenapa wajahnya dipenuhi rambut begitu,” kata Emma pelan.
“Bukan rambut, Neng, tapi jenggot sama cambang,” jawab Dian tertawa.
“Gimana, Neng mau dibuka gak pintunya, Kasihan,” kata Dian.
“Buka aja, Mang. Emma yakin sebentar lagi pegawainya ayah juga datang,” kata Emma.
Berusaha untuk bersikap hati-hati, Dian membuka pintu mobil dan mendapati lelaki yang ada di depan mobilnya ternyata mengalami luka yang cukup parah di perutnya.
Sesaat Dian berpikir kenapa mereka harus menghadapi orang yang selalu menderita, sama seperti yang terjadi sebelumnya.
“Kenapa, Mang?” tanya Emma.
“Dia korban penusukan Neng. Gimana kalau kita langsung bawa aja. Mamang khawatir kalau nanti ada yang mengejarnya,” kata Dian buru-buru.
“I…iya Mang,” jawab Emma cepat.
Mobil yang mereka tumpangi baru saja melaju ketika dari arah perempatan ada 2 dua buah mobil melaju ke arah mereka dan melambat ketika berada di samping mobil yang dikemudikan oleh Dian, beruntung beberapa motor terlihat dan membunyikan klakcon pada mobil yang melambat hingga Emma maupun Dian mengeluarkan nafas lega.
Mobil yang dikemudikan oleh Dian kembali melaju dikawal oleh beberapa motor. Mereka adalah pegawainya Ardan yang tadi di telepon oleh Emma.
“Kira-kira, siapa dia ya, Mang. Kenapa dia terluka seperti ini,” tanya Emma bingung.
“Mamang juga gak tahu, Neng. Apa dia dibawa ke rumah sakit aja atau gimana?” tanya Dian.
“Bawa pulang aja, Mang. Kita bisa panggil dokter ke rumah. Siapa tahu ayah bisa kasih solusi juga. Emma gak mau kalau harus kejadiannya seperti dulu lagi,” kata Emma.
Kenapa dia harus bertemu dengan lelaki yang terluka lagi. Dulu dia bertemu dengan om ganteng yang kepalanya terluka dan sekarang dia bertemu dengan lelaki yang wajahnya tertutup dengan rambut yang sangat tebal dalam keadaan terluka pada perutnya.
Mata Ardan menyelidik saat dia melihat Emma duduk diam sementara seorang dokter sudah berhasil menjahit luka lelaki yang dibawa pulang oleh Emma. Kerutan sangat terlihat jelas di kening Ardan tetapi dia menunggu sampai dokter menyampaikan informasi tentang pasiennya.
“Luka pada perutnya sudah diatasi. Kemungkinan dia akan demam tetapi ibu bisa memberikannya obat pereda sakit,” beritahu dokter pada Lailla.
:Terima kasih, Dok,” kata Lailla pelan.
“Kalau saya boleh kasih saran, sebaiknya ibu lapor polisi,” beritahu dokter yang hanya diberi anggukan oleh Lailla.
“Kalau boleh saya tahu, berapa lama dia akan sadar, Dok,” tanya Ardan.
“Semoga tidak lama lagi. Pesan saya begitu dia bangun segera minumkan obat ini untuk mengurangi sakitnya,” kata dokter lagi.
“Baik, Dok.”
Mata Emma mengawasi dokter yang baru saja melewati pintu rumah mereka dan Emma yakin dirinya kini harus menjawab pertanyaan yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya.
“Mau menjelaskan siapa dia atau ayah membawanya ke polisi?”
Pertanyaan Ardan membuat Emma dan Lailla terkejut.
“Menurut ibu tidak perlu. Pasti banyak pertanyaan dan Emma justru tidak bisa tenang. Sekarang dia sudah kelas 3 jadi kita tidak perlu melaporkannya ke polisi. Lagipula dokter tadi mengatakan lukanya tidak terlalu parah. Dia tidak sadar karena terlalu banyak mengeluarkan darah,” kata Lailla.
“Ayah masih menunggu jawaban Emma. Siapa dia!”
“Emma dan Mang Dian gak kenal, Yah. Dia tiba-tiba jatuh di depan mobil yang dikemudikan oleh Mang Dian. Pertema Emma kira dia adalah penjahat atau begal, tapi kok gak bangun-bangun sampai Emma telepon ke rumah,” jawab Emma.
“Terus?”
“Ya, terus Emma minta Mang Dian bawa masuk, khawatir kalau dia dikejar oleh penjahan atau apa-lah. Terbukti tidak lama kemudian ada 2 buah mobil yang datang dan melintas pelan sebelum orang yang ayah kirim datang,” jawab Emma lagi.
“Ayah mengerti. Tetapi, begitu dia sadar, kita harus menanyakannya dan tidak bisa membiarkan dia di rumah kita terlalu lama,” perintah Ardan.
“Iya,” jawab Emma pelan.
Sebenarnya siapa lelaki yang dibawa oleh Emma?
Di saat yang bersamaa, seorang lelaki yang tidak lain Igor sangat murka karena Sigit menggagalkan rencananya karena mengirim anak buahnya yang tidak bisa apa-apa.
“Dasar, Toloel. Aku sudah katakana padamu kalau Benua adalah lelaki dengan keahlian bela diri yang tinggi. Dia tidak perlu menggunakan senjata untuk melumpuhkan orang-orang bodohmu.”
“Aku tidak mengira kehilangan ingatan tidak membuatnya menjadi lelaki bodoh. Cara bertarungnya sangat hebat,” jawab Sigit menyesali kecerobohannya.
“Karena itu-lah aku anggap kau itu manusia paling toelol. Benua adalah petarung dengan ingatan yang kuat atau menjadi lelaki tanpa kenangan, dia tetap petarung hebat. Sekarang kau dan anak buahmu harus cari dia ke berbagai rumah sakit.” Perintah Igor pada Sigit.
“Baik, Tuan.”
“Jangan sampai kalian kehilangan jejaknya seperti dulu lagi!” perintah Igor.
“Baik, Tuan.”
Sigit dengan cepat pergi dari hadapan Igor. Dia tidak rela dirinya mendapat kemarahan yang tidak pada tempatnya dari lelaki asing tersebut.
Kenapa dia harus menyuruhnya menyerang lelaki yang bernama Benua? Siapa Benua, Sigit bahkan tidak mengenalnya.
Dia hanya mendapat informasi kalau Benua adalah lelaki yang sudah kehilangan ingatannya karena luka dikepalanya meskipun sudah mendapatkan pengobatan di luar negeri.
Sigit tidak kenal dengan Benua sebagai lelaki yang pernah dia serang sebelumnya beberapa bulan yang lalu dan penderitaan Benua yang tidak lain adalah Abyan adalah akibat perbuatannya.
Igor sudah membuat Sigit sebagai sasaran Samudera kalau dia mulai melakukan pencarian siapa yang sudah menyerang anak kesayangannya.
Masih terbayang rencana yang dia pikir akan berakhir dengan sempurna. Semua sudah dia siapkan bersama beberapa anak buahnya.
Keberhasilan tersebut sempat berada di depan mata ketika Indra kehilangan pengawasan pada Abyan karena kejadian penodongan yang terjadi di depan matanya. Indra tidak tahu kalau semua itu adalah siasat yang sudah diatur Igor dan Sigit untuk mengalihkan perhatian Indra dari Abyan.
Begitu lama Igor menyadari kalau putra bungsu Sam yang sudah membuatnya rugi besar ternyata baru saja meninggalkan rumah sakit di kota Moskhwa setelah menjalani pengobatan.
Kini, Igor akan menjadi penonton yang akan menyaksikan pertunjukan kemarahan yang diperlihatkan Sam pada anak buahnya Sigit yang sudah berhasil dia temukan.
“Kau tidak bisa berbuat macam-macam kecuali mengikuti perintahku karena aku adalah pelindung,mu,” kata Igor mulai tertawa licik.
Sigit akan terus melakukan yang dia perintahkan karena lelaki tua itu tidak punya pilihan lagi untuk menyelamatkan diri dari Sam. Sigit tidak menyadari kalau dirinya sudah suskses diperdaya oleh Igor.