Bab 3

2846 Kata
From: Dok. Fernan Kamu gak ke sini? Lelaki itu menghadapkan wajah lusuhnya ke atas langit pada malam hari yang terang ini. Hamparan bintang serta pantulan gemerlap kota Jakarta langsung menerpa wajahnya yang seperti dilapisi awan mendung. Tangannya bergerak memutar-mutar ponsel dalam genggamannya. Sudah sejam dari pesan itu dikirimkan tetapi Edgar sama sekali tidak punya niatan untuk membalasnya. Jangankan membalas sekadar membaca nama pengirimnya pun Edgar rasanya seperti dihunuskan belati tajam yang baru saja dipanaskan di atas bara api. Tok. Tok. "Gar, udah lewat tiga puluh menit dari makan malam. Om udah rewel banget suruh kamu makan sekarang." Suara keibuan itu muncul dari balik daun pintu. Edgar memutar tubuh tegapnya ke belakang, dia menarik kedua pintu geser pada balkon kamarnya dari arah belakang tubuh lalu berjalan santai membuka pintu kamar. Dia tersenyum menyambut Rinjani. "Ah, Tante... Apa kabar?" Rinjani berdecak menjewer telinga Edgar pelan. "Cepet ke bawah! Tante, Om dan Damara udah selesai makan. Sekarang kamu yang makan!" tegasnya menyeret paksa Edgar dengan masih menjewernya. "Susah banget disuruh makan doang." "Aduuh... Tante... Sakit nih." ringis Edgar memegang tangan Rinjani yang menjewer telinganya. Memohon supaya dilepaskan. Rinjani menoleh pada Edgar, memberikan tatapan sangsi. "Dilepas tapi makan. Oke?" "Iya Tan iya. Aku makan deh." "Nah ya udah ayo sekarang makan!" Edgar menhembuskan napas pelan. Tangannya langsung menyambar telinga kanannya yang baru saja jadi korban jeweran pedas Rinjani. Wanita itu kalau susah menjewer bukan main-main lagi. Benaran perih banget. "Tan, aku tutup pintu dulu sebentar." "Ya udah, Tante ke bawah dulu mau hangatin makanan untuk kamu lagi. Inget ya jangan sampai kamu malah balik ngunci diri lagi di kamar!" Edgar mengangkat sebelah tangannya tanda hormat. "Siap, Boss!" Rinjani terkekeh mengacak rambut Edgar yang panjang. Sepeninggalnya Rinjani, Edgar kembali berbalik untuk menutup pintu kamarnya yang masih terbuka. Namun pergerakan tangannya terhenti sesaat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. From: Dok. Fernan Kamu gak mau tahu perkembangan apa aja yang terjadi sama Adikmu? ••••• Rasanya seluruh tulang Lollypop terlepas dari kerangkanya. Kulit-kulit di bawah telapak tangan mulus gadis itu seperti menebal bahkan terasa keras dan perih. Kedua pahanya pun tak kalah mengenaskan. Sampai membiru tidak ke tolong. "Nah, waktunya tinggal beberapa minggu lagi," seorang siswi memakai kaos hitam berbicara di hadapan ke dua puluh sembilan temannya. "Gue mohon kalian serius dan gak mengecewakan. Karena kali ini kita akan jadi pembuka di perlombaan basket SMA se-provinsi." Laras, selaku ketua di ekskul tari tradisional saman pun memberikan tatapan waspada ke seluruh teman-teman satu ekskulnya. Dia tidak mau kalau usahanya selama ini sia-sia karena kesalahan salah satu anggotanya. Sudah capek-capek latihan masa iya hasilnya malah hancur berantakan? Setelah menerima anggukan kepala Laras pun melipat kedua kakinya lalu mulai memandangi satu persatu anggota yang sama halnya dengan dirinya. Kepanasan serta kebanjiran keringat. "Sebelum pulang kita evaluasi dulu." Mereka semua memperhatikan Laras secara saksama dan khidmat. Pasalnya kalau tak begitu Laras akan menyuruh mereka berlari dua puluh lapangan out door. Bukan sekadar wacana untuk menakut-nakutkan, tetapi memang itulah yang terjadi. Salah satu teman Lollypop ada yang pernah kena hukuman Laras gara-gara mengobrol menanyakan masalah jam saja. Laras menunjuk salah satu siswi memakai kaos kuning cerah. "Din, lo kan yang teriak cekiah. Bisa gak lebih keras dan kencang lagi?" pinta Laras serius kemudian dia menirukan nada suara Dinda saat berteriak ektrim ketika di tengah-tengah berjalannya tarian saman. "Cekiaaaah! Uhuk... Uhuk..." sialan. Laras menepuk-nepuk tenggorokannya yang mendadak keselek ludah sendiri. Setelah merasa baikan dia pun kembali memberi arahan pada Dinda. "Jangan kayak gitu terlalu pelan dan belum maksimal. Lo bisa kan di tingkatkan lagi?" Dinda mengelap peluh di leher jenjangnya. "Iya, Ras. Entar gue coba usahain ya gimana caranya supaya lebih bagus lagi." Laras menganggukkan kepalanya lalu beralih menatap Vivi. "Vi, lo jangan jelalatan dong matanya. Fokus ke gerakan dan irama," dikritik begitu pedasnya oleh Laras membuat gadis berdarah Padang itu berhenti mengibaskan tangannya ke udara. Dia mendengus, melengos dari pandangan Laras. Gadis itu mengangkat bahunya cuek dan beralih menatap Lollypop. "Lo kesakitan ya? Dari kemarin kita latihan gue lihat lo selalu meringis dan itu bikin Sari yang ada di sebelah lo jadi buyar." Lollypop menggaruk punggung tangannya sambil menyengir. Dia kira gelagat kurang nyamannya dari kemarin tidak akan sampai ketahuan oleh sang ketua. Eh, tidak disangka Laras ternyata sampai memperhatikan setiap anggotanya begitu jeli. "Iya, Ras. Abis telapak sama paha gue sakit. Paha gue aja sampai biru-biru." Laras mengangguk ngerti. "Besok nih lo tempelin pembalut di kedua paha lo itu biar pas nepuk gak sakit." Lollypop mengacungkan ibu jarinya ke udara dengan lengkungan manis tercetak di wajah kemerahannya. "Oke deh." Laras menepuk kedua telapak tangannya pelan. Dia memberi intruksik pada seluruh anggota supaya berdiri lalu merapat membentuk suatu lingkaran. Seperti biasa, mereka melingkar memegang pundak masing-masing anggota lalu menunduk dalam. "Udah cukup evaluasinya," pelan Laras tersenyum kecil, dia mengikuti arah kepala teman seekskulnya menunduk dalam. "Berdoa dalam kepercayaan masing-masing di mulai." "Aamiin." Setelah selesai berdoa mereka pun berhamburan mengambil tas yang terletak bersandar pada lemari besi. Satu persatu mereka mengambil pakaian bersih dalam tas lalu masuk ke dalam ruang ganti. Lollypop sendiri tidak berminat mengganti bajunya yang sudah basah oleh keringat. Gadis itu lebih memilih meneguk air putihnya seraya melambaikan tangan ke arah pintu keluar. Di depan sana ada Anta, lelaki itu menempelkan lengannya pada daun pintu. Menyengir lebar sebagai balasan lambaian tangan Lollypop. Hari ini Anta diminta secara ekslusif oleh Kakak pertama Lollypop—Nata, untuk mengantar Adiknya pulang sebab Eggy masih sibuk latihan basket dan tidak bisa izin dan Nata yang harus segera pulang karena mendapat telepon dari Ayahnya. "Pacar tuh nungguin." celetuk Laras mengedipkan matanya menggoda. Lollypop mengelap bibirnya yang basah menggunakan punggung tangan. "Pembantu udah nungguin lebih tepatnya." Laras tergelak menguncir rambutnya asal. "Gue denger lo jadian sama Eggy, ya?" melihat semburat merah di kedua pipi gadis cantik itu. Laras pun tersenyum. "Langgeng ya, Lols. Gue kira lo bakal jadiannya sama Anta!" "Ih, Ras! Yang elitan dong masa sama Peta punyanya Dora begitu?" "Halah gitu-gitukan Anta ganteng juga. Deket lagi sama lo, diajak kemana-mana mau aja. Dulu ya awal masuk sekolah sampai gue pikir Anta tuh pacar lo." "Oh waktu awal-awal MOS banget itu kan?" "Iya! Dulu jaman-jamannya gue masih suka lirik Anta. Gue pikir kalian pacaran, tahu gitu kan gue sosor aja tuh si Peta." Lollypop tertawa sambil satu tangannya mengambil tas merahnya yang tertindih di antara tas teman-temannya yang lain. "Wah, wah. Kecewa dong lo dulu malah dapetnya si Edgar?" "Ya gak juga sih," cengir Laras menaruh handuk kecil di pundaknya. "Dapet yang cakep masih okelah. Edgar kan gitu-gitu juga banyak yang naksir! Daripada gue dapetnya si culun Sapri atau Andre kan, gak banget tuh." "Ganteng sih oke ya tapi kelakuan gak banget!" seloroh Lollypop mendekap tas ranselnya ke d**a. Dia menatap Laras mengerut. "Kok dulu bisa sih main terima Edgar? Dari awal masuk aja dia udah terkenal nakalnya loh." "Jauh dari kata orang lain. Edgar gak kayak gitu kok." "Ah masa sih? Kalau gak gitu terus apaan dong? Bukannya omongan anak-anak selama ini bener ya? Gue pernah lihat sendiri tuh dia nonjokin anak SMA Negeri yang sekolahnya di belakang apartment." Laras mengedikkan sebelah bahu. "Kalau menurut gue sih jangan suka menilai orang dari satu keburukan atau omongan orang lain. Karena belum tentu seluruh sifatnya begitu," Laras tersenyum menepuk lengan Lollypop dua kali. "Kalau mau tahu lo coba deket aja sama Edgar. Denger-denger dia ngincer lo kan?" "Ih apa sih, Ras? Gak banget gue deket dia! Terserah deh apa kata lo atau orang lain bagi gue Edgar tetep aja buruk reputasinya." "Yaampun, Lols, santai aja kenapa sih? Lo kayaknya anti banget sama Edgar." "Banget! Dia tuh kayak zinah yang harus gue hindarin. Kalau enggak bisa menimbulkan dosa!" Laras tergelak keras menggelengkan kepalanya. "Gila! Segitu gak sukanya ya lo sama dia," lalu gadis itu mengibaskan sebelah tangannya seraya tersenyum simpul. "Gue mau ganti baju dulu ah. Lo gak ganti?" Lollypop menggeleng tersenyum pada teman-temannya yang sudah mulai keluar dari ruang ganti. "Gak ah di rumah aja sekalian mandi. Gue duluan ya, Ras!" "Sip, Lols. Hati-hati ya." "Iya!" sahut Lollypop kemudian melambai pada teman-temannya di belakang Laras. "Cabe-cabean gue duluan, ya!" Mereka balas melambai. "Iya, biji cabe hati-hati!" Setelahnya Lollypop memutar tubuh dan melangkah ringan ke arah Anta. Lelaki itu masih setia di sana dengan kedua lengan yang terlipat. Lollypop nyengir kuda, tahu banget kalau Anta sudah bosan nungguin dia. "Lama banget!" sembur Anta menyentil dahi Lollypop sesampainya gadis itu di hadapannya. Lollypop bersungut mengelus dahinya yang perih. "Makanya masuk dong ke dalam! Duduk kek gitu daripada di sini keliatan kayak satpam." "Ck, ogah gue masuk ke dalam. Cewek semua entar gue di kira banci." "Halah," Lollypop mencibir menatap Anta meledek. "Bilang aja gak mau ketemu Vivi. Takut belum bisa move on!" Anta mengelus rambut hitamnya ke belakang. "Sori, mengecewakan. Gue udah ada kecengan baru." "Sinting! Baru putus tiga hari lalu udah dapet lagi." "Gimana ya namanya juga tukang jualan. Kalau ada barang bagus mah sikat aja ngapain nunggu." "Dasar sinting!" Anta menyengir menarik kerah kaos belakang Lollypop ketika gadis itu melewatinya. "Mau langsung pulang apa makan dulu?" Lollypop mengerucutkan bibirnya. "Anta mah kebiasaan emangnya gue kucing apa lo giniin!" sungutnya lalu menggeleng keras. "Papah pulang cepet hari ini. Mau ada acara makan malem." "Wiiih! Ikutan dong gue. Laper nih belum makan." "Enak aja! Tamunya malem ini bukan sembarangan orang tahu. Udah ah ayo cepet pulang gerah nih mau mandi!" Anta melepaskan tangannya dari kerah kaos belakang Lollypop. "Iya, Tuan putri." ••••• "Bu, soto ayamnya gak pakai bihun satu dong!" "Gado-gado jangan pakai sayuran dua ya, Bu!" "Es teh manis gak pakai gula satu!" Siang begini kepala wanita paruh baya di rumah makan kecil depan sekolah SMA Matahari itu langsung mumet bukan main. Kebiasaan gerombolan Edgar selalu merecoki rumah makannya kala pulang sekolah sudah tercipta. Kalau mesan makanannya yang benar sih dia mau melayani tapi masalahnya setiap kali datang ke sini mereka semua selalu memesan makanan yang minta banget buat digetokin pakai panci yang pantatnya gosong. "Pesennya yang bener kek! Bikin pusing aja lo pada." gerutu Dean duduk di bangku kayu panjang depan meja. Edgar menyengir ikutan duduk di samping Dean. "Bu Ningsih mah udah khatam sama gaya-gaya kita kalau mesen begini. Iya gak, Bu?" "Iya tapi harganya dua kali lipat ya." "Yeh si Ibuuu!!" Bu Ningsih tertawa menghampiri ke enam lelaki itu. Dia membawa dua piring berisi gorengan lalu menaruhnya di atas meja. "Mesen kayak biasa kan? Soto ayam semuanya? Es teh manis gulanya sedikit? Buat Edgar teh manis hangat?” Riki yang melihat ada bakwan masih mengepul pun langsung menyerobotnya. "Widih mantep! Tahu aja gue lagi pengin bakwan." "Iya, Bu." Dean yang membalas dengan senyum tipis. Setelah itu Bu Ningsih pun kembali ke tempatnya. Menyiapkan makanan yang diinginkan oleh keenam lelaki langganannya itu. "Si Anta kemana nih?" tanya Rio menatap teman-temannya. "Sisain gue tempe satu!" seru Ilham dari tempat motornya. Dia menghapus bekas spidol di wajahnya, hadiah karena ketahuan mensontek saat pelajaran bahasa Jepang. "Biasa nganterin Lollypop pulang." dari kaca spion dia melirik Rio. "Lah bukannya si Lolly udah punya pacar? Ngapain masih di anterin pulang?" "Eh setan balikin bakwan gue!" seru Riki tiba-tiba melotot pada Aji. Lelaki berbadan bongsor itu memeletkan lidahnya menjauhkan bakwan yang tinggal satu-satunya itu dari jangkauan Riki. "Bagi gue satu! Lo udah kebanyakan makan bakwan entar overdosis, d***o!" "Bekicot lo! Makan tahu bulet aje sono! Biar makin bulet badan lo." "Cicing amat sih lo pada!" omel Rio menjintak kepala Riki dan Aji keras hingga menimbulkan suara ringisan dari keduanya. Sekiranya sudah berhasil membuat kedua manusia itu diam Rio pun menatap Ilham menunggu jawaban lelaki itu. Ilham hanya mengedikkan bahunya cuek. "Gak tahu tanya aje dah sama orangnya," lalu alisnya mengerut ketika mata hitamnya menangkap sesosok lelaki berpakaian seragam SMA Matahari berlari ke arah rumah makan Bu Ningsih. Tampangnya kusam banget, keringat membanjiri seragam leceknya. "Eh, itu si Gibran kan?" Serentak semua kepala tertuju pada arah tunjuk Ilham. Dari kejauhan terlihat lelaki memakai kacamata dengan tubuh cungkringnya sedang lari tergopoh-gopoh. "Ngapain tuh anak lari-lari? Di kejar trantip apa gimana?" Edgar beranjak dari tempat duduknya sesaat Gibran berhenti di samping motor bebek Ilham. Raut wajah Gibran pias akan ketakutan, lututnya pun sampai gemetaran apalagi napasnya yang tersengal-sengal itu bikin kacamata tuanya turun naik saking susahnya menetralkan detak jantung. "Heh, Gibran. Ngapa lo?" todong Edgar berkacak pinggang. Gibran memegang dadanya yang masih berdetak tak keruan. Sehabis lari tunggang langgang kini dia harus di hadapkan oleh keenam lelaki berperawakan tinggi di depannya. Sebenarnya tidak nakutin tapi cara tatapan mereka itu loh, seram abis! "Ini bocah kalau di tanya malah ngelihatin doang!" sungut Riki sambil mengunyah tempe. Dean berdecak menuangkan segelas air putih lalu berjalan menghampiri Gibran. Sebagai ketua kelas yang baik dia tahu kalau saat ini setidaknya Gibran butuh air untuk menyejukkan kerongkongannya. "Minum dulu." Gibran langsung menyambar gelas itu cepat. Menghabiskan airnya dalam sekali teguk. Melihat itu Aji berdecak dengan mulut yang di penuhi tahu. "Gila, Bran. Abis nyangkul dimana lo?" Riki yang terkena muncratan Aji sontak berteriak heboh. "k*****t, Ji! Jorok banget lo. Abisin dulu itu tahu baru ngomong, setan!" Aji cengengesan menelan kunyahannya cepat. "Anu... Gar..." Gibran mulai mengeluarkan suaranya yang tergagap. Edgar menaikkan dagunya mengikuti bagaimana Gibran berbicara. "Aa-anuu.. Aa-aanuuu.. Anu anu apaan? Anu lo kenapa?" Gibran meneguk ludahnya. "Anu... Gar... Aku... Anu... Nggg..." "Ini anak apaan sih anu anu mulu," sungut Ilham yang kini sudah berada di samping Gibran. "Anu lo terbang? Hilang? Atau ketinggalan di kelas?" Rio menepuk belakang kepala Ilham keras membuat lelaki berambut cepak itu mengaduh kesakitan. "Mana bisa gitu t***l!" lalu dia beralih menatap Gibran serius. "Yang serius kalo ngomong. Ada apa?" Sekali lagi Gibran menelan ludahnya. Berusaha menguatkan hatinya yang saat ini setengah mati ketakutan. "Tadi pas aku lewat jembatan gak sengaja ngelihat Sapri lagi dipalakin sama anak SMA Jejekampok di bawah kolong jembatan." SMA Jejekampok sebenarnya adalah singkatan dari jelek-jelek kang rampok. Nama sungguhan dari sekolah itu adalah SMA Sandroe, sekolah swasta dengan siswa siswinya yang terkenal banget senang bikin ulah dimana-mana. Salah satunya adalah dengan sekolah Edgar, SMA Matahari. Dari zaman purba kala sampai zaman globalisasi gini perseteruan di antara kedua sekolah besar itu masih terus berlanjut. Ada saja hal yang mengakibatkan keduanya terus bermusuhan. Edgar yang mendengar nama lain sekolah itu langsung menyiapkan tubuhnya. "Dipukulin gak?" "Tadi sih aku lihat baru dipojokin." "Wah gak bisa di diemin nih!" tahu-tahu Riki sudah ada di samping Edgar, tangannya sibuk menaikkan lengan seragamnya. Dengan tampang sangar dia bertanya pada Gibran. "Eh, culun. Berapa orang di sana?" Gibran menggelengkan kepalanya. "Gak ngitung. Karena takut aku langsung kabur ke sini." "Ya udah ayo langsung aja ke sana." sahut Edgar mengintruksikan semua teman-temannya. Dean mengangguk kemudian menepuk bahu Gibran. "Pulang sana. Biar kita yang urus." Tanpa banyak kata lagi Gibran langsung mengangguk patuh dan berlari memutar jalan lewat gang tikus dekat sekolahan. Walau jauh jaraknya dari rumah paling tidak itu lebih aman ketimbang dia harus lewat jembatan. Itu sama saja memasukkannya ke kandang Buaya. Setelah memberitahukan pada Bu Ningsih supaya pesanan mereka di simpan dahulu dan sekalian menitip motor di warung tersebut mereka pun mulai melangkah beriringan ke tempat tujuan. Jarak jembatan dengan sekolah tidak terlalu jauh hanya butuh sekitar lima belas menit untuk sampai di sana. "Awas sampai lo ngadu ke ketua geng sekolah sialan lo itu. Gue remukin muka lo pakai pacul." Baru sampai mereka sudah disuguhi oleh pemandangan tidak mengenakan. Di dekat tembok pembatas sana, bawah kolong jembatan persis. Muncul wajah lelaki dengan seragam resmi SMA Matahari. Wajahnya babak belur, penampilannya sudah kacau dengan kondisi tanah merah m*****i hampir seluruh pakaiannya. Berbeda dengan lima orang lelaki di depannya itu. Mereka tampak sengak dan memandang rendah Sapri yang lagi sesegukan karena uang jajan bulanannya berhasil di ambil paksa. "Beraninya sama yang lemah," Edgar berjalan ringan menghampiri mereka. "Mental lo semua masih kurang buat ngelawan yang kuat?" Sontak kumpulan lelaki memakai seragam resmi SMA Sandroe itu pun memutar kepalanya mengarah ke asal suara. Terlihat Edgar menaikkan dagunya dengan sorot mata menantang. Salah satu dari mereka keluar, berdiri di depan sambil menyeringai. "Edgar Wibisono," desisnya hati-hati. "Selalu jadi pahlawan kesiangan," lelaki itu terkekeh menepuk telapak tangannya sementara raut wajahnya nyeleng banget. "Kali ini mau nolong orang lagi? Mau jadi siapa? Batman? Superman? Ironman?" Gelak tawa kelima lelaki berseragam SMA Sandroe pun menggema di kolong jembatan yang sepi. Edgar sama sekali tidak terganggu, lelaki itu hanya memandang semuanya datar. Berbeda dari sikapnya, teman-teman Edgar sudah berasap di belakang tubuh tegap lelaki itu. "Gar, izinin gue nindihin tubuh cungkring mereka sekarang." geram Aji tidak sabaran. Edgar melirik Aji lewat ujung matanya. Memberitahu lelaki itu supaya tak ikut campur sejurus kemudian dia kembali menatap Alvin, lelaki yang tadi menghinanya. "Lawan gue kalau berani." tegas Edgar yakin. Alvin bersama pengikutnya menertawakan keyakinan Edgar. "Gak usah sok kuat buat ngelawan kita berlima. Bisa-bisa lo cuma tinggal nama." "Gak usah banyak omong. Buktiin aja sekarang." Riki melongok menepuk pundak Edgar keras. "Gak bisa begitulah! Gue ikutan juga mukulin mereka." Edgar menatap Riki dan yang lainnya dengan senyum miring. "Selow aja, tipe mereka gini mah gue tahu. Mental tempe di tukang gorengan! Krenyes-krenyes gampang potek." Lalu tanpa aba-aba Alvin sudah menerjang Edgar. Lelaki itu tersungkur ke tanah, wajahnya sukses menghantam kerasnya tanah. Edgar bersungut kesal, licin juga ternyata si Alvin. Pintar mencari celah di saat Edgar sedang lengah. Namun pukulan ini bukan berarti Edgar terkalahkan. Edgar beranjak dari posisinya sesaat dia melihat kepalan tinju terarah ke wajahnya lagi. Edgar pun berkelit menggulingkan tubuhnya ke samping. Ketika kepalan itu melesat dan malah mengenai tanah Edgar menendang kaki Alvin hingga lelaki itu yang tersungkur ke lantai dalam posisi tertelungkup. Tak menyianyiakan kesempatan yang ada Edgar langsung berdiri tegap, dia meraih kerah belakang seragam milik Alvin. Melempar lelaki itu ke semak-semak kemudian menghampirinya lagi dan memberi satu pukulan telak tepat di hidung mancungnya. Bersamaan dengan suara sesuatu yang patah dan erangan kesakitan Alvin. Sekumpulan orang memakai seragam kepolisian datang mengepung mereka. Lengkap dengan pistol di genggaman mereka yang terarah pada semua orang yang ada di sekitar kolong jembatan itu. Salah satu dari mereka berteriak nyaring meluncurkan satu tembakan ke langit. "Berhenti semuanya. Naikkan tangan kalian ke atas dan ikut kami ke kantor polisi."    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN