Bab 5

1825 Kata
Suara decitan pintu terdengar pelan mengisi ruangan serba putih yang sunyi. Sesosok lelaki berperawakan tegap masuk ke dalam, memperhatikan seorang gadis kecil yang terlelap tenang diatas ranjang berbalutkan seprai bermotif Cinderella. Edgar tersenyum tipis menutup pintu ruang rawat intensif nomor satu A yang terletak paling atas gedung rumah sakit. Ia meletakkan sebingkisan buah-buahan kesukaan Jingga diatas nakas lalu meraih kursi lipat hitam agar bisa duduk disamping tubuh kecil Adiknya. Diraihnya tangan mungil Jingga, menyelimutinya dengan kedua telapak tangan besar milik Edgar. Ia mencium punggung tangan Jingga lembut. "Kabar kamu gimana, Dek?" tanya Edgar lirih melepaskan salah satu tangannya. Ia mengelus rambut Jingga penuh kasih sayang. Melihat bagaimana Adik satu-satunya itu terlelap damai ketika tertidur. Walau sebenarnya Jingga hanya dibius supaya mau tenang bukan tertidur pulas. Sudah sejak kemarin Dokter Fernan menelfon Edgar sekadar memberitahukan lelaki itu bahwa Adiknya, Jingga, tidak mengalami perkembangan apapun. Tetap sama seperti lima tahun lalu. Edgar menunduk sedih. Entah apa lagi yang harus ia lakukan supaya bisa membawa hidup Jingga kembali seperti semula. Menerbitan senyum keceriaan, menggantikan kekosongan pada matanya dengan binar kebahagiaan. Tubuh Jingga kurus. Tidak seperti dulu yang berisi. Karena memang selain fisik Jingga pun mengalami luka pada mentalnya. Dokter Fernan berkata pada awal pertemuan mereka. Bahwa luka didalam hati jauh lebih sulit menyembuhkannya ketimbang luka fisik. Sebab obat semanjur apapun takkan sanggup mengobatinya karena hati terlalu rapuh untuk disakiti dan terlalu mustahil untuk disembuhkan. Satu-satunya cara menyembuhkan luka pada hati Jingga adalah dengan membuat gadis kecil manis itu melupakan masa lalunya. Dokter Fernan pernah menyarankan Edgar beserta keluarga supaya mau membawa Jingga ke Jerman untuk bertemu seorang Professor terkenal disana. Namun Edgar menentang keras saran Dokter Fernan. Ia takkan mungkin melukai Adiknya dengan cara melakukan penarikan paksa kinerja otak Jingga agar mau menyembunyikan memori kepedihannya sampai ia sendiri tak mampu mengingatnya lagi. Edgar tak mau ambil resiko dari pengobatan percoban berbahaya tersebut karena kalau sampai gagal nyawa Jinggalah taruhannya. "Kakak gak akan nyerah buat bikin kamu sembuh, Ngga." tegas Edgar mencium kening Adiknya lembut. Sesulit apapun itu Edgar takkan pernah menyerah menyembuhkan Adiknya. Ia tau Jingga hanya butuh dorongan semangat dari orang-orang yang disayanginya bukan obat-obatan dan Dokter profesional untuk mengobatinya. Toh, selama ini merka selalu angkat tangan karena Jingga sulit disembuhkan. Tetapi Edgar percaya. Ia bisa membawa Adiknya hidup kembali seperti sediakala. ••••• Belum apa-apa Eggy sudah menghilang tanpa kabar. Entah kemana perginya lelaki itu, semenjak malam dimana ia mengajak Lollypop keluar rumah. Eggy sama sekali tidak pernah menghubunginya lagi. Di telfon pun yang menjawab Mbak-Mbak dari operator. Sekarang sudah seminggu tepatnya lelaki itu pergi tanpa pamit. Tanpa memberi kabar apapun. Lollypop jadi gregetan sendiri. Dengan sigap ia memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas. Tidak merapihkannya seperti yang biasa di lakukan gadis berkuncir dua tersebut. "Lols, buru-buru amat sih mau kemana?" komentar Alsha melongok ke belakang. Lollypop mengenakan tasnya cepat. Ia menggenggam kunci mobil di tangan kiri. "Mau ke sekolahnya Eggy. Seminggu dia gak ada kabar gue jadi khawatir dia kenapa-kenapa." Disebelahnya Raya mengernyit heran. "Lo gak tau rumah Eggy emang?" Pertanyaannya membuat Lollypop tertegun. Bahkan sejak awal Eggy mendekatinya Lollypop tidak tau sama sekali mengenai kehidupan pribadi Eggy. Jangankan siapa kedua orang tua Eggy, rumahnya pun ia tak tau ada dimana. "Nanti gue tanya aja sama temen dikelasnya," sahut Lollypop sekenanya. Ia berlari kecil sambil lalu. "Duluan, ya!" ••••• "Coy, lo kemana aje gak ada kabar lagi? Gak rindu sama kita-kita dimari?" Edgar tertawa renyah membenarkan rambut hitam lebatnya yang agak berantakan. "Sori, man. Gue sibuk. Ada kabar menggembirakan apa emangnya sampe lo nelfon gue gini?" "Sebenarnya gue nelfon lo karena semalem bokap lo ke bengkel gue, coy. Dia nanyain lo nginep di tempat gue atau enggak." Edgar berdecak jengah. Ia tak habis pikir dengan apa maunya Julian, pria tua bangka itu tak ada lelahnya terus mencari celah supaya Edgar mau menerimanya sebagai Ayah tiri. Julian Wibisono sebetulnya kembaran dari Ayah kandung Edgar, Anthony Wibisono. Namun identitas Julian tidak ada yang tau satupun. Hanya keluarga besar saja yang tau, itupun dikarenakan kasus yang menimpa keluarga Edgar. Andai saja Anthony tidak masuk penjara dan tidak melakukan perbuatan b***t. Julian tidak akan pernah hadir menjadi Ayah tiri Edgar. "Cuma nanya gitu doang?" "Dia minta lo pulang ke rumah." Edgar berdecih. Pulang ke rumah? Apa yang bisa disebut rumah dari bangunan megah dengan isinya yang dipenuhi oleh kepedihan. Tempat itu lebih pantas disebut sebagai neraka. Hanya menimbulkan kesakitan bila Edgar menginjakkan kakinya kembali ke sana. "Pulang, coy. Lo jangan kayak anak kecil ginilah kasian bokap nyokap lo nyari lo terus-terusan. Selesaiin masalah lo sama mereka berdua. Sesalah-salahnya orang tua mereka tetap orang yang udah bertanggung jawab tentang kehidupan lo dari kecil. Jangan bikin mereka terus khawatir sama keadaan lo yang gak jelas tidur dimana." Tapi, masalahnya Julian bukanlah Ayahnya. Ia hanya pengganti Anthony supaya publik tidak mengetahui bahwa pria itu saat ini sedang mendekam dibalik jeruji. Menghabisi sisa hidupnya dengan penuh penyesalan. "Malem ini ada track gak, Jo?" Di bengkelnya Jonathan menghela napas. Tau betul Edgar sedang mengalihkan pembicaraan setiap kali membahas masalah keluarganya. Meskipun Jonathan sudah mengenal Edgar lama, sekitar empat tahun. Tetapi kalau boleh mengakui, Jonathan sama sekali belum mengetahui lebih detail lagi tentang Edgar. Yang ia tau hanyalah hal-hal umum. Seperti latar belakang keluarga Edgar, siapa Ayahnya dan bagaimana anak lelaki itu selama ini berperilaku. Selama mengenal Edgar pun ia berusaha untuk tidak menanyakan apa masalah keluarga lelaki itu sampai hampir setiap hari Edgar kabur dari rumah. Padahal selama ini Jonathan baca diberita atau gosip-gosip para tukang dagang dan Ibu-Ibu kalau keluarga Edgar walau tertutup dari media sangatlah harmonis. Tidak pernah ada pembicaraan miring dikeluarganya sama sekali. Lalu apa alasan Edgar terus kabur dari rumah? Dan terlihat sangat membenci Ayahnya tersebut. "Ada, coy. Boss besar ngajak kita ditempat biasa. Join jangan nih?" "Join aje," langkah kaki Edgar memburu menuju parkiran. "Tapi gue minjem motor lo, bro." Hari ini Edgar memang tidak membawa motor. Seminggu yang lalu motornya disita sama Rinjani, tepat pagi hari sebelum Edgar berangkat sekolah wanita itu menadahkan tangannya meminta kunci motor. Alhasil sejak kemarin Edgar merelakan diri harus nebeng sama teman-temannya. Seharusnya sekarang ia sudah bawa motor hanya saja Rinjani sedang keluar kota selama tiga hari dikarenakan masalah cabang perusahaan keluarga mengalami gangguan disana. Kali ini Edgar berniat minta tebengan sama Riki sekalian lelaki itu servis motor dibengkel Jonathan. "Motor kebanggaan lo kemana emangnya?" "Biasa disita Ibu Negara gara-gara ketangkep sama gengnya Om Tama lagi." "Buset dah jadi lo nginep dirumah Tante lo?" "Yoman, Jo. Udeh gue pinjem motor lo malem ini. Motor gue baru dibalikin besok belom balik si Tante soalnya." "Iye selow aja. Gue tunggu jam dua dini hari dibengkel gue." "Eh, Jo. Gue langsung ke bengkel lo aja dah." "Yoi dah. Gue tunggu, coy." "Sip." Edgar memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Ia mengedarkan matanya menelisik satu persatu parkiran khusus siswa. Biasanya Riki masih nangkring diatas motor vespa kesayangannya itu barengan sama motor besar Anta dan motor bebek Aji. Mereka akan menggoda gadis-gadis cakep disekolahannya. Namun kali ini parkiran kosong. Edgar telat rupanya. Hanya ada satu orang dibawah pohon rindang yang sedang berjongkok memeriksa ban mobilnya. Edgar memicingkan matanya. Dari rambut gadis itu ciri khas sekali seperti Lollypop. Kalau diperjelas lagi tubuhnya memang mirip dengan Lollypop. Eh, bukan mirip. Tapi itu memang Lollypop. Seringai licik tercetak di wajah Edgar. Ia melangkah lebar mendekati Lollypop. Aha! Tidak ada Riki. Lollypop pun jadi. ••••• "Nyebelin banget sih segala kempes!" sungut Lollypop menendangi ban mobil. Gila kali, siang bolong begini ia harus ketiban sial. Ban mobil belakangnya bocor dua-duanya. Padahal tadi pagi masih baik-baik saja ketika Lollypop melajukannya ke sekolah. Tidak ada yang aneh lalu kenapa sekarang bisa bocor begini? "Ekhem." Lollypop mengalihkan perhatian ke depan mobil. Ia mendengus tau ada Edgar berdiri disana sambil nyengir. "Gak ada uang receh. Kalo mau ngemis jangan disini." Edgar tergelak. "Jutek bener. Padahal gue mau bantuin lo buat gantiin ban mobil yang bocor." Lollypop berdecih, ia menyilangkan kedua lengannya dibawah d**a. "Kayak bisa aja." "Jelas bisalah! Mana sini lo punya ban serep gak?" "Gak tau," Lollypop berpikir sejenak. "Eh, kayaknya bokap naruh ban dibagasi." Lalu ia memutar tubuhnya kearah belakang mobil. Membuka pintu bagasi dan menemukan adanya dua ban mobil masih diplastikin serta alat pendongkrak dan yang lainnya sudah disediakan Bian lengkap. Lollypop mendesah lega. "Ada?" tanya Edgar menghampiri Lollypop. Lollypop mengangguk. "Ada. Cepetan sana gantiin!" Edgar menyenggol bahu Lollypop. "Iya, Tuan Putri. Hamba akan melaksanakannya cepat," yang dibalas pelototan oleh gadis tersebut. Edgar tertawa. "Minggir sana gue mau ngeluarin dongkrak sama ban." Lollypop misuh-misuh namun tak urung ia menurut juga. Pilihannya terjatuh pada akar pohon besar yang menyembul keluar di samping mobilnya terparkir. Daripada berdiri melihat Edgar mengganti ban lebih baik ia duduk sembari memperhatikan. Lollypop menopang kedua tangannya melihat bagaimana dengan cekatan Edgar mencopot dan memasangkan ban kempesnya dengan ban yang baru. Ia jadi teringat ketika dulu Edgar menolongnya dari Derry. Mantan sialan yang cuma mau manfaatin tubuh Lollypop. Dan oh! Jangan lupa apa yang telah diperbuat lelaki itu sampai sanggup membuat keluarganya diambang kehancuran. Lollypop juga teringat curhatan-curhatan Alsha yang membahas tentang betapa baiknya Edgar selama ini. Gadis berambut pirang itu selalu menyakini Lollypop bahwa Edgar tidak seburuk seperti yang ia pikirkan. Justru Edgar kebalikkannya, lelaki itu sangat baik. Bahkan terlampau baik. Entah desas desus darimana yang mengatakan kalau laki-laki itu kasar. Mungkin karena Edgar sering mengikuti perkelahian dan berakhir keluar masuk kantor polisi. Semua orang jadi menganggapnya buruk. "Jangan dibuang bannya masih bisa dipake. Lo isi angin aja lagi sama ditambal tubles." Lollypop menepuk-nepuk belakang roknya. Ia berdecak kagum. "Cepet ya kerja lo. Cocok jadi montir." Edgar tertawa ia menutup pintu bagasi mobil Lollypop sebagai akhiran. "Mungkin gue lebih cocok lagi kalo jadi montir dihati lo, ya tambal-tambal sesuatu yang bocor pake benang cinta. Gak ada salahnya kan?" Lollypop menepuk-nepuk lehernya sambil mengeluarkan ekspresi kelewat jijik. "Kayak ada paku ke sangkut," lalu ia melotot sebal. "Jijik gue dengernya." Edgar mengelap tangannya yang kotor pakai celana. Ia tersenyum menanggapi sergahan Lollypop. "Minggir sana gue mau pergi." usir Lollypop mendorong bahu tegap Edgar pakai telunjuknya. Edgar menaikkan satu alis. "Kata terima kasih berapa harganya?" Lollypop memutar bola mata jengah. "Ma-kasih." Kemudian ia memutar tubuhnya setelah mengibaskan rambut ke wajah Edgar. Segera lelaki itu menahan pergelangan tangan Lollypop sebelum gadis itu mencapai pintu kemudi. "Apalagi sih?" kesal Lollypop menyentakkan tangan. Edgar menadahkan telapak tangannya di depan wajah Lollypop. "Kunci mobil." "Eh, apaan sih? Lo mau malakin gue?" "Bukan begok," sungut Edgar merebut kunci mobil dari genggaman tangan Lollypop cepat. "Anggap aja ucapan terima kasih lo karena udah gue bantuin." "Edgar!" seru Lollypop memukul leher belakang Edgar hingga lelaki itu mengaduh. "Kasar amat sih, Lols!" "Balikin kunci mobilnya!" Edgar menepuk telapak tangan Lollypop yang menengadah. "Gak pernah diajarin balas kebaikan, hah?" Lollypop cemberut. "Mau lo apa sih? Lo kan bawa motor ngapain juga ngambil kunci mobil gue?!" Edgar membuka pintu kemudi Lollypop santai seolah-olah memang itulah miliknya. "Motor gue disita. Ucapan terima kasih gak berguna buat gue jadi lebih baik lo anterin gue ke rumah temen. Baru gue anggap itu ucapan terima kasih karena gue udah bantuin lo ganti ban mobil." Lollypop menghentakkan kakinya kesal. Jelas banget Edgar sebenarnya cuma mau minta tolong ditebengin. "Bilang aja butuh tebengan." gerutu Lollypop masih berdiri di samping pintu. Edgar menyalakan mesin mobil. "Emang. Tuh lo tau." "Ya udah mana sini gue aja yang bawa." "Kagak. Udah cepetan lo naik." "Edgar!" "Ganteng dan menawan." Lollypop mengepalkan kedua tangannya gemas. Andai saja ini mobil bukan miliknya sudah pasti sejak tadi ia lemparkan wajah sok ganteng Edgar ke dashboard mobil. "Mau naik apa mau gue tinggal?" Lollypop menjitak kepala Edgar dan berlari kecil ke samping pintu mobil lainnya. Huh, sepertinya apapun kebaikan yang dilakukan Edgar untuknya tetap saja buruk dimata Lollypop.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN