"Apa yang Andin lakukan di sana?" gumam Doni tanpa sadar.
Doni terus mengamati Andin yang tengah berjalan menghampiri mang Salim, kemudian saat itu lah mereka bertemu pandang. Doni melihat senyum manis yang dilemparkan Andin padanya, lalu sedetik kemudian Andin sudah kembali pada mang Salim untuk menyerahkan mangkuk yang dibawanya pada tukang bakso kantin ini.
"Ini, Mang," ucap Andin dengan senyum di bibirnya, tapi dia terlihat lelah karena setelahnya tangannya dia kibaskan seolah merasa pegal. Tidak lupa juga Andin mengusap keringat di keningnya yang cukup banyak sampai Doni bisa melihatnya juga.
"Makasih ya, Nak Andin... kamu ini kalau bantu cuci itu pasti berih dan cepet,” puji mang Salim.
"Mang Salim bisa aja, saya yang terima kasih karena diizinkan kerja bantu-bantu di sini," balas Andin yang selalu merasa berterima kasih karena Mang Salim mau memperkerjakannya sebagai tukang cuci.
"Yo wes... ini upah kamu, Nak." Mang Salim menyerahkan sejumlah uang yang dilipat pada Andin dengan sedikit ditutupi.
Senyum di wajah Andin langsung mengembang. “Terima kasih, Mang Salim,” ucap Andin dengan penuh rasa bahagia.
"Dan kamu mau makan bakso kaya biasa?" tanya mang Salim, menawarkan makan siang yang biasanya Andin dapatkan secara gratis setelah membantu mencuci mangkuk.
"Iya, Mang... tapi kali ini yang pedes banget, ya?" pinta Andin.
"Oke, siap!" kata Mang Salim mengiyakan.
Semua percakapan itu jelas terdengar dan dilihat oleh Doni, dia masih merasa takjub dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ternyata selain menjadi guru les adik tirinya, menjadi badut, Andin juga melakukan pekerjaan lain. Entah kenapa Doni merasa iba sekaligus kagum dengan apa yang Andin lakukan. Andin tampak biasa saja meski banyak siswa di sekitarnya yang memperhatikan ketika dia melakukan pekerjaan semacam itu.
Doni langsung duduk di kursinya kembali saat Andin selesai berbicara dengan mang Salim. Tanpa diduga Andin justru duduk di sampingnya yang memang kosong.
"Hi," sapa cewek itu pada Doni yang terdiam sebentar karena Andin menyapanya.
"Oh... hi," bbalas Doni, dia mengumpat di dalam hati karena tiba-tiba saja menjadi keki di hadapan Andin.
“Waktu itu aku lihat kamu ada di acara ulang tahun murid lesku,” cetus Andin yang seketika membuat ingatan Doni terlempar pada perut rata Andin yang sempat dia lihat.
Doni segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran kotornya itu. Tapi kemudian dia menyadari sesuatu. “Kamu guru les Sinta?” tanyanya dengan nada terkejut.
Andin segera menganggukkan kepalanya. “Iya, dan aku cukup kaget liat kamu di sana juga. Tapi beberapa hari kemarin Sinta nunjukin foto kamu dan bilang kalau kamu abangnya,” ujar Andin yang akhirnya tahu kenapa Doni muncul di perhelatan ulang tahun bocah kecil.
Doni hanya bisa tersenyum dan tidak bisa mengatakan apapun. Lagi pula mengetahui fakta Sinta adalah guru les adiknya, membuat Doni kurang suka. Entah bagaimana dia bisa memikirkan ini.
"Gimana kabarnya Sinta?" tanya Andin merujuk pada adik tiri Doni, sudah 2 kali pertemuan les mereka di skip karena bocah kecil itu sakit.
"Sinta sudah mulai sekolah kemarin, tapi sepertinya belum bisa melanjutkan les,” jawab Doni, dia mendengar informasi soal Sinta yang masih harus banyak istirahat setelah muntaber beberapa hari kemarin saat sarapan tadi.
Dia memang agak keterlaluan karena baru tahu kabar itu. Tapi dia memang tinggal di rumah papanya berusaha untuk tidak terlihat sama sekali.
"Oohh... pantas saja bu Rina belum menghubungiku lagi," ujar Andin.
"Ya begitulah,” kata Doni yang tidak mau lagi melanjutkan tema obrolan soal keluarga tirinya.
Setelah pembiacaraan singkat itu, mereka terdiam karena menikmati makanan masing-masing. Tapi kemudian seorang duduk di hadapan Andin dan langsung menyapa Andin dengan ramah sekali, bahkan juga membawakan cewek itu jus stroberi. Doni mendongak karena penasaran dan melihat siswa laki-laki dengan seragam basket yang sama dengan dipakai oleh Bagus, tengah duduk di hadapan Andin.
"Hi, Andin." Siswa itu langsung menyapa Andin dengan senyum lebar.
Doni pun melirik Andin yang juga tersenyum menyapa siswa laki-laki itu. "Hi, Angga.. baru selesai latihan?"
"Iya nih... ini jus buah kesukaan lo." Siswa laki-laki bernama Angga itu menyodorkan jus yang dibawanya ke hadapan Andin.
"Kamu nggak usah repot kayak gini, Ngga. Aku nggak enak karena terus kamu beliin," kata Andin dengan raut wajah tak enak. Andin bahkan hendak mengembalikan jus buah yang diberikan Angga.
Tapi Angga langsung mencegahnya untuk terjadi. "Ck! Lo mah tega, Ndin sama gue.. ini kan cuma jus buah bukan cincin berlian," seloroh Angga.
Wajah Andin yang tadinya masih menampilkan raut tidak enak, menjadi bersemu mendengar candaan Angga. "Iya deh... makasih, ya... tapi lain kali jangan dibeliin lagi."
"No! Besok, besoknya, besoknya lagi tetep aku beliin.. ini cuma 7 ribu kok."
Andin meringis mendengar Angga berkata “hanya 7 ribu”, karena baginya 7 ribu itu sangat berharga. Dengan uang sebanyak itu dia bisa mendapatkan satu nasi rames dengan lauk krupuk, maka itu lebih mengenyangkan ketimbang meminum jus, meski jus ini menggiurkan dan tentu sehat bagi tubuhnya juga.
Doni yang juga ada di sana, akhirnya ikut mengamati interaksi kedua orang ini. Cowok bernama Angga ini pasti tertarik pada Andin, terlihat jelas dari gelagatnya. Nggak mungkin kalau Angga sampai seperhatian itu untuk membelikan Andin jus dan tahu buah kesukaannya. Mereka juga tampak akrab.
Lalu segerombolan siswa dengan seragam basket masuk ke kantin dan menghampiri posisi Doni, Andin, dan Angga saat ini. Menginterupsi analisis yang dilakukan oleh Doni.
"Hey, bro!" Bagus langsung duduk di depan Doni dan merampas es teh manis milik temannya itu dan hampir menghabiskan seluruh isinya jika tidak mendapat pukulan di kepalanya dengan sendok oleh Doni.
"k*****t! Ngapa lu abisin punya gue?!" umpat Doni, baksonya masih dan minumnya sudah hampir tandas, tinggal es dan gula yang masih ketinggalan di dasar gelas.
"Ya elah pelit bener lu kek ibu kos!" balas Bagus ikut mengumpat, dia melempar tisu ke arah Doni lalu mengusap kepalanya yang perih.
"Beli sendiri sonoh!" cibir Doni tidak terima.
Namun Bagus tidak menghiraukan itu. "Eh, tapi katanya lu tadi dapet seabrek cemilan sama coklat. Mana?"
"Udah gue telen, nggak usah tanya-tanya!" kata Doni cuek karena masih kesal minumannya dihabiskan.
"Astaghfirullah... ampuni hambamu yang satu ini karena pelit sama temennya, Ya Allah...," ratap Bangus dengan dramatis.
Doni sekali lagi memukul Bagus dengan sendoknya. "Eh bujug, nanti penggemar gue kecewa kalo tahu coklatnya dimakan elu!"
"Kayak tahu aja mereka, bagi cepetan!" cibir Bagus.
Pertikaian antara Doni dan Bagus itu jelas bisa dilihat oleh Andin yang terkekeh melihatnya. Dua siswa laki-laki ini sepertinya tidak sungkan saling memukul tapi tidak marah atau pun tersinggung. Dia iri pada mereka yang bisa berteman seakrab itu, padahal Doni ini setahunya adalah murid pindahan tapi sudah memiliki teman yang bisa diajak bercanda seperti ini.
Sedangkan dirinya?
Kebanyakan akan menjauhinya, ada beberapa yang mendekat tapi ketika hanya butuh sesuatu dan ingin memanfaatkannya. Andin paham, dia bukanlah murid dari orang tua yang berkecukupan serta bisa mengikuti trend masa kini, sehingga teman-temannya pun tidak mau dekat dengannya karena menurut mereka Andin juga terlalu cupu.
.
/// Epiphany | Gorjesso ///
.
.