Pagi harinya setelah setelah diskusi tenang yang aku dan Anjar lakukan, kami bersiap-siap untuk pulang ke rumah megah yang sangat tidak aku inginkan itu. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa diri ini akan tinggal bersama orang-orang yang pernah menorehkan luka dalam dan menghancurkan hidupku di masa lalu.
Namun aku tidak mampu untuk menolak Anjar karena ia memang anak yang baik. Selain itu, ayah juga sudah berpesan kepadaku bahwa ketika aku menjadi seorang istri, maka suami adalah pimpinan di dalam rumah tangga dan aku harus menghargai serta tunduk kepadanya.
Walaupun semua ini sangat sulit, tapi aku yakin dengan kesabaran dan cinta kasih dari Anjar, aku mampu berdiri dan bertahan di dalam rumah tersebut. Meskipun aku tidak pernah tahu apa yang akan ku hadapi kedepannya? Yang jelas, aku harus terus waspada dan mengawasi setiap gerak-gerik orang-orang yang berada di sekeliling ku.
"Sayang, kamu sudah siap?" Anjar bertanya sambil menatap ku dari sudut pintu luar. Dia tampak gelisah saat berdiri diantara kaca besar ruangan pembatas kamar. Bahkan ia keringat, padahal sedang berada di dalam kamar ber-AC.
"Iya, aku sudah siap, Sayang," sahut ku berpura-pura bahwa hatiku dalam keadaan baik-baik saja. Padahal jiwaku meronta dan memberontak.
"Akan selalu ada aku, Cantika. Sesulit apapun itu, kita akan melewati segalanya bersama seperti yang sudah kita lalui selama ini."
"Iya, Sayangku. Makasih untuk semangatnya," ucap ku yang tersenyum simpul sambil menatap Anjar. Aku berharap, aku akan bisa setenang ini ketika menatap sorot mata yang tidak suka padaku setibanya di rumah itu.
Anjar memelukku dan terus mengatakan hal-hal yang bisa membuat aku bahagia. Dia berusaha membuat aku tertawa dan riang. Aku tau sebenarnya Anjar juga khawatir padaku, tapi ia menutupinya. Laki-laki yang sangat pandai dan lembut, ia bahkan tahu cara memaksa tanpa harus bersikap kasar.
Merasa siap, aku mengajak Anjar untuk pulang. Kami memutuskan menggunakan taxi saja kali ini. Seperti bayi yang manja, aku duduk sambil menyandarkan kepala di d**a Anjar. Rasanya nyaman sekali dan aku rasa, aku siap untuk menghadapi apapun di depan sana.
"Sayang, apa amu tau apa perbedaan dan persamaan antara kamu dengan drakula?"
"Hemh, ada-ada aja pertanyaannya," sahut ku sambil memikirkan jawabannya. "Entahlah ... aku tidak ingin menjawabnya karena selalu saja salah." gerutu ku yang terus membenamkan sisi kiri wajah pada d**a Anjar yang berotot.
"Soalnya, semalam itu kamu seperti drakula yang haus akan darah." Lalu Anjar tersenyum. "Mau tau jawabannya?" tanya Anjar sambil menatapku dan tersenyum.
"Apa?"
"Kamu dan drakula itu sama-sama ngabisin darah. Tapi bedanya, kalau drakula ngabisin darah merah. Sedangkan kamu, ngabisin darah putih," ujar Anjar dan itu membuat aku sangat malu.
Untuk beberapa saat, aku kembali membenamkan wajahku di d**a Anjar sambil tertawa kecil sembari mengingat semua yang terjadi tadi malam dan itu membuat aku menggila. Permainan yang sangat bersemangat, sampai-sampai rasanya aku ingin pipis.
"Ha ha ha ha ha ha," tawa ku akhirnya mencuat saat membayangkan nya kembali. "Aku hampir pipis, Sayang," bisik ku karena malu jika di dengar supir taxi paruh baya yang tampak sering tersenyum ketika mengintip kami dari kaca tengah.
"Teruslah tertawa seperti itu, Sayang! Walaupun kamu akan tinggal bersama ku dalam kepahitan dan kesakitan," ujar Anjar sembari memeluk ku lebih erat lagi.
"Iya. Sepahit apapun itu, sebesar apapun luka itu, asalkan bersama kamu Anjar, aku pasti kuat, aku pasti sanggup, aku pasti mampu."
"Makasih, Cantika," ucap Anjar sambil memberikan kecupan kecil di dahiku.
"Maaf, Mbak, Mas. Saya jadi teringat masa muda dulu dan semua kenangan tentang almarhum istri saya tercinta. Bahkan hingga detik ini, saya tidak pernah bermimpi untuk menggantikan posisinya dengan wanita manapun," ucap supir taxi sambil tersenyum dan membuang air matanya.
"Maaf ya, Pak. Jangan bersedih!" sahut ku sambil melihat kearahnya.
"Saya do'akan, semoga Mbak dan Masnya selalu bahagia, sehat, banyak rezeki dan anak serta selalu berada dalam kehangatan sebuah ikatan di dalam rumah tangga," tambahnya sambil menarik air hidungnya.
"Amiiin. Terimakasih, Pak," jawab ku dan Anjar bersamaan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, kami tiba di rumah Anjar. Kami keluar dari taxi dan mulai berjalan ke arah pintu besar rumahnya. "Aku sangat mencintai kamu, Cantika," ucap Anjar sembari mengelus lenganku dengan lembut.
Aku menatap Anjar tanpa membalas ucapannya kali ini. Sambil mengatur napas, dan mengatakan aku siap pada diri sendiri. Lalu aku memberikan isyarat pada Anjar dengan menganggukkan kepalaku.
Anjar mulai mengetuk pintu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membuka pintunya dan menyapa Anjar dengan senyumnya yang lebar. "Aden sudah pulang, silahkan masuk Den, silahkan masuk Non," ucap wanita berusia sekitar 50 tahun dengan ramah dan sopan.
"Siapa yang datang, Mbok?" tanya seseorang dari dalam rumah dengan suaranya yang terdengar tenang dan sedang bahagia.
Anjar menarik tanganku perlahan dan membawa ku ke arah ruang makan. "Selamat pagi semuanya," sapa Anjar yang kemudian disambut hangat oleh semuanya. "Masih jam sarapan ya? Kebetulan sekali."
"Ayo kemari, Kak. Sarapan lah bersama kami," ucap kedua adik Anjar yang lainnya. Aku dan Anjar pun berjalan ke arah meja makan dengan perasaan yang tidak menentu.
Seperti seorang anak pada kedua orangtuanya. Ddengan langkah yang berat, aku berjalan di dampingi Anjar untuk mendekati mama dan papa nya yang tengah menyantap makanan mereka. Aku dan anjar berniat untuk bersalaman pada keduanya.
"Ma," sapa ku sembari menyodorkan tangan kanan. Tapi tidak ada jawaban dari Mama dan itu sangat membuat aku merasa malu sekaligus tertekan.
"Ma, Sayang. Cantika menyapa dan ingin bersalaman, apa mama tidak mendengar?" tanya Anjar dengan suara yang lembut dan mamanya langsung menatap ke arah Anjar dengan mata yang tidak bahagia.
Sekali lagi, Anjar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah mama. Mana pun menatap Anjar tanpa henti, seolah beliau ingin berkata, mengapa kamu membawanya ke rumah ini? Tapi Anjar terus tersenyum dengan tatapan yang teduh.
Saat mata mereka bertemu, aku melihat ada ketenangan di dalam tatapan mama. Kemudian Mama Anjar pun memberikan tangan kanannya, tanpa menatap ke arah ku. Sedih, tapi mau bagaimana lagi? Aku berusaha menahan air mata, sekuat tenaga.
Selanjutnya, aku berjalan ke arah laki-laki yang sangat aku benci. Iya menatapku dalam dan aku sangat merasa tidak nyaman. Sambil tertunduk mencium tangan papa nya, aku menahan baju bagian depan agar daerah sensitif milikku tidak terlihat olehnya. Kemudian dengan rasa berjuta amarah, aku terpaksa tersenyum kepadanya dan memanggilnya Papa.
Setelah selesai, aku pun berjabat tangan dengan adik-adiknya Anjar yang cukup ramah kepada diriku dan salah seorang iparnya yang bernama Maya. Kemudian Anjar menarik salah satu kursi makan dan memintaku untuk duduk. Tak lama, setelah aku duduk bersama, Mama langsung berdiri dan meninggalkan meja makan, tanpa menghabiskan sarapannya.
Suasana berubah menjadi 'tak nyaman, tapi Anjar berusaha sekuat tenaga membuat semuanya menjadi kondusif dan indah. Tanpa beban, angggota keluarga yang lainpun menyelesaikan sarapan mereka dengan cara dan gaya yang biasa mereka lakukan.
Aku melihat Anjar dan berusaha untuk tenang. Ayolah Cantika! Anjar sudah berbuat. Bantu dia dengan sikapmu yang dewasa. Ucap diriku yang lain dan berbisik kepadaku.
Dengan membuang air mataku ke dalam, aku terus menyuap nasi tanpa lauk ke dalam mulutku. Aku berusaha untuk tetap tersenyum disaat mereka sedang tidak tersenyum. Ya Tuhan ... apakah ini adalah cobaan yang berikutnya? Tanya ku tanpa suara.
Bersambung.