7 hari setelah acara lamaran yang menguras emosi dan air mata. Aku dan Anjar duduk di teras rumah untuk menikmati bakso dan mie ayam yang sering ayah pesan. Walau hanya dari seorang pedagang keliling, tapi aku menyukainya. Seingatku, Pak Tarno sudah berjualan sejak aku masih sangat kecil sehingga beliau sangat mengetahui selera makan ku. "Pedas dan kuahnya harus panas kan, Non?" "Iya, Pak." "Ndak terasa ya, Non Cantika tambah ayu dan sudah mau punya anak. Almarhum pasti sangat bahagia, Non." "Aminnn. Makasih, Pak." "Dulu itu, Tuan besar selalu makan bakso ini. Walaupun rasanya ya cuma seadanya, Non. Terus, minta buatkan bumbunya seperti kesukaan Non Cantika. Pas saya tanya, Non Cantika mana Tuan? Lama ndak lihat. Beliau jawab, sedang merajuk dan ndak mau melihat saya. Begitu, Non."