Dimas Abimanyu Biantara, adalah seorang CEO berwajah tampan dengan segala kesempurnaan. Meski usianya hampir menginjak kepala empat, tubuh tinggi besarnya terlihat bak pria awal tiga puluhan. Jangan ditanya banyaknya asset yang sudah dia miliki. Dia juga merupakan ahli waris Arsa Biantara, pemilik perusahaan ternama Biantara Group yang bergerak di bidang keuangan dan jasa IT. Akan tetapi, kesempurnaan yang melekat di diri Dimas tersebut tidaklah sejalan dengan perangainya yang dikenal dingin dan tak berperasaan.
Dan sekarang kekesalan Dimas merangkak naik saat menerima kabar bahwa papanya akan menikah dengan perempuan yang sangat muda bernama Kinanti Sofia Wiryawan. Tentu saja Dimas merasa terancam dan cepat menduga bahwa perempuan berusia dua puluh dua tersebut mau menikah dengan papanya yang sudah tua itu, tidak lain berniat mengincar hartanya saja.
Terlepas dari sikapnya yang dingin, Dimas tetap bekerja dengan baik di perusahaan milik papanya. Dia juga bahkan mau menyenangkan perasaan papanya dengan memutuskan untuk pulang ke rumah dan menemui calon Mama tiri.
***
“Masuk!”
Suara bass Dimas memecah kesunyian ruang kantornya yang besar. Suara bernada rendah dan terkesan dingin, sedingin perangainya.
Tampak gerak tangannya yang sedang memegang pena terhenti sejenak dan kepala yang tidak terangkat sama sekali, seolah dia sudah tahu siapa yang mengetuk pintu kantornya.
Utari Pratiwi, sekretaris Dimas, dengan penuh hormat melangkah memasuki ruang kerja Dimas. Ada sebuah dokumen yang dia pegang. Netra cokelatnya mengerjap seolah tahu apa yang sedang dipikirkan atasannya tersebut. Meski sudah terbiasa menghadapi seorang bos yang temperamen bertahun-tahun, Utari tetap merasa gentar saat berhadapan dengan Dimas.
“Pak. Informasi yang Bapak inginkan sudah selesai,” ujar Tari seraya menyerahkan file dokumen ke arah Dimas dengan tetap menjaga sikap hormatnya.
Dimas terima dokumen dari tangan Utari, lalu kembali duduk bersandar di kursi kantornya yang berbahan kulit. Seperti biasa dia baca dokumen dengan sangat cepat sambil membolak-balik lembaran dokumen dengan santai. Tampak matanya bergerak cepat hingga terhenti pada satu baris di lembaran dokumen.
Tari memperhatikan ekspresi dingin di wajah Dimas dengan seksama. Kerutan dahi Dimas seketika membuat jantung Tari berdegup kencang, seolah ada yang membingungkan Dimas.
Namun beberapa saat kemudian, raut wajah Dimas berubah biasa setelah cukup lama mengamati isi dokumen. Akhirnya Tari pun bisa bernapas lega dan detak jantungnya yang kembali normal, hingga dia beranikan diri menyampaikan sesuatu.
“Pak. Hm … Pak Arsa berpesan, bahwa setelah beliau resmi menikah, beliau ingin Anda pulang ke rumahnya dan tinggal bersamanya … biar lebih mengenal dekat Nyonya Kinanti.”
Sontak kata ‘Nyonya’ dari mulut Tari menghentak perasaan Dimas. Dan Dimas tidak menyukainya sama sekali. Dia sentuh ujung dokumen yang dia letakkan di atas meja sebelumnya, dengan mata terarah ke wajah Tari. Sebuah tatapan tajam dan dingin yang lumayan membuat Tari bergidik.
“Di mana perempuan itu? Dia hanya benalu,” gumam Dimas dengan suara rendahnya.
Mulut Tari terkatup rapat, sadar ada yang salah di ucapannya barusan.
Tari memutuskan diam dan tidak mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan Dimas. Lagi pula si ‘benalu’ yang terucap dari mulut tajam Dimas tak lama lagi akan menjadi istri sah Arsa Biantara, tuan pemilik perusahaan besar Biantara Group. Dan Dimas tampaknya tidak mengharapkan tanggapan Tari atas ucapannya barusan mengenai gadis bernama Kinanti tersebut.
Tari tetap berdiri menunggu perintah Dimas selanjutnya. Dia tidak berani menyela karena menyadari kesalahannya.
“Di mana Papa saya?” tanya Dimas yang mulai melunak.
Hampir saja Tari menyentuh dahinya saking segannya terhadap Dimas. Tangannya terlihat sedikit gemetar. Namun dia mulai sanggup mengatur emosinya. “Pak Arsa sekarang sedang berada di butik Bianca, Pak. Di jalan Ahmad Yani. Hm … dengan Nyonya, eh … Kinanti maksud saya. Mereka berdua sedang melakukan fitting baju pengantin.”
Dimas hela napas panjang setelah mendengar jawaban Tari yang cukup jelas. "Baiklah," ucapnya datar. “Apa pendapatmu tentang perempuan itu?” tanyanya kemudian.
Tari tidak berani lagi menyinggung tentang Arsa, Papa sang CEO. Dan kali ini pertanyaan Dimas terdengar ingin mengetahui pendapatnya mengenai sisi buruk Kinanti. Tari tidak punya pilihan selain menghindari pertanyaan itu.
“Saya … saya sendiri belum bertemu Kinanti, Pak. Jadi saya tidak tau tentang dia … maaf.”
Dimas menggeram begitu mendengar tanggapan Tari. Rahangnya mengeras dan raut wajahnya terlihat menahan amarah.
“Kamu kan sudah mengumpulkan semua informasi tentang Kinanti.” Akhirnya Dimas sebut juga nama calon istri papanya itu. “Dan kamu belum pernah melihatnya langsung. Saya hanya ingin tau pendapat kamu tentang dia lewat fotonya.”
Pikiran Tari langsung tertuju ke foto Kinanti. Dia tampak berusaha hati-hati menjelaskan.
“Kinanti sangat cantik, Pak Dimas -- ”
“Maksud saya kepribadiannya,” potong Dimas cepat.
Tari panik setengah mati karena salah memahami pertanyaan atasannya. Suara berat Dimas lagi-lagi membuatnya bergidik. Tari buru-buru memusatkan pikirannya ke informasi yang telah berhasil dia dapatkan mengenai sosok Kinanti.
“Kinanti memiliki wajah dingin, Pak. Hm … dia angkuh dan sulit dihadapi. Tapi menurut saya … dia perempuan yang baik dan tau balas budi.”
Tari cepat belajar dari apa yang dia lakukan sekarang. Dia benar-benar ingin berada di posisi aman saat mengutarakan pendapatnya mengenai Kinanti, yakni mencela sekaligus memujinya. Dimas tentu tidak bisa menggugatnya.
Dimas tertawa dingin mendengar pujian Tari mengenai sosok Kinanti. Baik dan tau balas budi? Baginya sosok Kinanti tidak pantas mendapat pujian sama sekali. “Mustahil rasanya kamu tidak memahami sifat dan kepribadiannya. Ck … saya tidak tau apa dia sadar atau tidak dengan apa yang sedang dia lakukan, tapi saya yakin dia punya agenda tersembunyi,” ujar Dimas yakin.
Agenda tersembunyi? Ah. Baru terpikirkan Tari. Namun, dia yakin hanya cinta sejatilah satu-satunya yang bisa menjelaskan alasan pernikahan antara mahasiswi muda dua puluh dua tahun dengan pria sepuh yang merupakan pemimpin sekaligus pemilik perusahaan keuangan yang cukup terkenal di dunia, Biantara Group. Agenda lain? Tari meragukannya.
Tari menggeleng pelan berusaha menepis pikiran yang tak masuk akal tentang kisah asmara gadis muda belia dan kakek tua.
“Silakan kamu ke luar dan siapkan mobil untuk saya!”
Suara bass Dimas membuat Tari tersentak dari lamunannya.
“Saya akan pulang ke Alam Sutra malam ini juga,” ujar Dimas kemudian.
Tiga tahun lalu, Arsa Biantara telah membeli lahan yang sangat luas di kawasan elit Tangerang, dan membangun sebuah rumah indah dan megah di sana. Arsa jadikan rumah megah tersebut sebagai tempat di mana dia menghabiskan masa pensiunnya. Dimas cukup rutin mengunjungi papanya di sana dan terkadang menetap. Namun, sudah dua minggu ini dia tidak berkunjung ke sana sejak papanya bersikeras menikah dengan Kinanti. Hari ini, tampaknya Dimas mampu menurunkan egonya dan memutuskan pulang menemui papa dan calon mama tiri muda.
“Baik, Pak,” balas Tari pelan.
Setelahnya, Dimas mengalihkan pembicaraan mengenai perkembangan beberapa perusahaan yang berada di bawah naungan perusahaan besar milik papanya. Tari menjawab dengan jelas dan hati-hati. Hingga tak terasa satu jam berlalu dan Tari akhirnya bisa ke luar dari ruang kerja Dimas.
“Akhirnya,” ucap Tari seraya menyeka peluh di dahinya dengan dua helai tisu. Dia sadari bahwa dia sangat gugup berhadapan dengan Dimas hingga berkeringat.
Bersambung