Dimas selalu menduga bahwa Kinanti menikah dengan papanya dengan maksud tertentu, yang awalnya adalah demi uang. Namun, ternyata Kinanti tidak meminta lebih dari yang menjadi haknya, bahkan dia mau menyetujui perjanjian pra nikah bahwa dia tidak berhak apapun dari harta yang dimiliki Arsa dan dengan sukarela menandatangani surat perjanjian tersebut. Kini Dimas mulai berpikir bahwa Kinanti memiliki niat lain. Akan tetapi di saat dia mengingat cara Kinanti meminta saran kepadanya tentang pakaian yang harus dia pakai suatu malam, Kinanti tidak pula bermaksud merayunya. Lagi pula Kinanti sadar bahwa dia sendiri tidak menyukainya, bahkan membencinya. Lalu bagaimana dia bisa membungkuk hormat terhadap orang yang membencinya dengan mata dingin dan acuh tak acuh? Ah. Dimas sepertinya terlalu banyak berpikir, terutama tentang Kinanti.
Dimas kembali mengingat dokumen yang dikumpulkan sekretarisnya, Tari, yang berisikan semua informasi penting tentang Kinanti, termasuk kepribadiannya.
"Dia pintar dan pendiam. Dia mendapat perhatian di sekolah karena kecantikannya dan nilai akademik yang bagus. Tetapi sikap acuh tak acuhnya yang membuat orang-orang menggelarnya si kembang Alpen."
Dimas mengemudikan mobil sambil melihat kacamata hitam yang dikemas halus di atas kursi penumpang di sampingnya. Dia tidak bisa menahan senyumnya saat mengingat penjelasan Tari tentang Kinanti.
Apa yang dilaporkan Tari mengenai Mama Tirinya tersebut sangatlah tepat. Kinanti memang bak bunga Alpen yang indah tapi dingin, dan hidup tegap di daerah pegunungan, mengintimidasi namun tak tertahankan. Bahkan papanya, yang telah melihat segala macam kecantikan di sepanjang usianya, telah jatuh cinta pula kepadanya.
Dimas pikir mungkin ini adalah saatnya menjalankan saran Andrea untuk mencoba menerima Kinanti. Lagi pula, dia belum menemukan kesalahan apapun dari diri Kinanti selama ini. Kinanti selalu berhati-hati dan tidak pernah melakukan kesalahan yang berarti. Yang paling penting adalah papanya menyukainya. Arsa tangguh dalam mengelola bisnis dan sukses, tapi sebenarnya dalam hal emosi Arsa cukup berantakan. Arsa pada akhirnya menemukan seseorang yang dia sukai di masa tuanya. Jadi tidak ada alasan Dimas untuk membuat keadaan menjadi rumit. Mungkin saja Kinanti memang tidak menyukai atau mencintai papanya, tapi keduanya tetap bisa saling menghormati dan rukun. Dimas akhirnya merasa apa yang dia curigai dan prasangka selama ini justru akan menjadi bumerang bagi kehidupan papanya.
Mobil yang dikendarai Dimas sudah mendekati jalan menuju perumahan elit Alam Sutra. Dimas perlahan melepas pedal gas dan memperlambat laju mobil. Di saat dia memutar setirnya, entah kenapa dia jadi ragu memberikan kaca mata hitam kepada Kinanti sebagai isyarat bahwa dia telah menerima Kinanti dalam hidupnya secara tidak langsung.
Sudah dua kali berturut-turut dalam dua hari Dimas melihat keberadaan Jeffrey di area pintu masuk perumahan. Dimas memperhatikan area di mana dia melihat keberadaan Jeffrey. Tidak ada Jeffrey di sana sekarang, hanya ada beberapa puntung rokok dan beberapa kaleng bir yang berserakan di atas tanah. Dimas hela napas panjang, dia menduga pemuda itu telah cukup lama mengintai selama dia dan keluarganya pergi tadi pagi. Dimas yang merasa Jeffrey tidak ada hubungan dengannya, tidak mempedulikan pikirannya tentang pemuda itu. Lagi pula dia pun sudah tidak ada di sana malam ini.
Satpam yang melihat sedan Lexus Dimas dari kejauhan dengan cepat menekan tombol untuk menaikkan portal penghalang. Tepat sebelum Dimas memasuki area perumahan, dia melihat sebuah topi tergeletak di atas tanah. Topi itu tampak familiar baginya. Dimas memundurkan mobilnya tidak jauh dari dari jalan ke luar masuk permumahan, lalu berhenti di area yang tepat di mana dia bisa mengamati pemandangan seberang jalan. Dia parkirkan mobilnya sambil menurunkan kaca jendela mobil setengah, untuk mengamati suasana seberang jalan.
Perumahan seberang juga merupakan komunitas kelas atas, akan tetapi di sana ada celah bagi pihak pengembang dan manajemen properti untuk tidak menyediakan fasilitas keamanan. Keadaan ini yang mungkin dimanfaatkan Jeffrey dengan bebas duduk-duduk di sana sambil merokok dan mengawasi area perumahan sekitar kediaman Arsa, serta mengamati orang-orang yang lalu lalang dari perumahan.
Bangunan-bangunan tinggi di sekeliling perumahan seberang jalan tersebut membentuk ruang semi tertutup dengan gang kecil yang berada di antara bangunan dan agak terbuka, sehingga memudahkan bagi orang lain ke luar masuk area perumahan.
Dimas diam-diam memperhatikan dua orang yang berada di seberang jalan, lalu menyalakan sebatang rokok.
***
Kinanti dan Arsa lebih dulu tiba di Alam Sutra. Setibanya di rumah, Kinanti lekas mengganti pakaiannya dengan mengenakan kemeja putih dan celana kasual. Setelah berhasil menepis keraguan, Kinanti memutuskan untuk menghubungi Jeffrey dan berbicara empat mata dengannya.
Panggilan Kinanti dijawab seketika oleh suara parau Jeffrey, suara yang hampir saja tidak dikenali Kinanti, mungkin akibat kebanyakan rokok yang Jeffrey hisap.
"Kinanti. Kamu akhirnya meneleponku," ujar Jeffrey dari ujung sana. Suaranya terdengar bersemangat.
Kinanti memegang ponselnya erat-erat. “Jeff, aku ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin aku bicarakan." Suara Kinanti begitu dingin saat merespon sapaan Jeffrey.
“Bicara denganku?” Jeffrey memindahkan ponselnya ke tangannya yang lain. Dia berdiri di atas tumpukan rokok dan kaleng bir. Mata merahnya mengamati ke sekeliling, hingga berhenti tepat di sebuah kafe yang masih buka. Tapi itu bukanlah tempat yang ideal untuk bertemu Kinanti. Lalu matanya memutar sedikit, dan tiba-tiba dia mendapatkan sebuah sudut yang dia harapkan. Jeffrey tersenyum menyeringai. “Ok, Kakakku. Keluarlah. Aku tunggu kamu di lantai bawah perumahan seberang.”
“Kita ketemu di café aja, Jeff.” Kinanti tentu tidak tahu apa yang sedang Jeffrey pikirkan sekarang ini.
“Ah. Pasti ada banyak orang dari perumahan kamu di café sekarang. Emangnya kamu nggak takut dikenali, Kak?” Jeffrey menendang kaleng bir yang masih berisi setengah, hingga isinya tumpah ruah di atas tanah. Kemudian dia berjalan dengan santai menuju tempat yang berada di sudut gang kecil yang dia temukan barusan, sebagai tempat pertemuan dengan Kinanti.
“Tunggu aku beberapa menit lagi, Jeff. Aku ingin membereskan semua hal tentang kita,” ujar Kinanti seraya menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Dalam beberapa terakhir ini, pikirannya penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Kinanti sebenarnya enggan bertemu Jeffrey, tapi dia merasa harus bertemu Jeffrey dan berbicara empat mata dan dengan segera mengungkapkan bahwa dia harus mengakhiri semua yang berhubungan dengan Jeffrey.
“Okay.” Sepasang alis Jeffrey sedikit memutar saat mendengar apa yang dikatakan Kinanti, tajam membentuk pedang, memicu level temperamen dan kesombongan ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, dia masih mampu mengendalikan nada suaranya hingga terdengar tenang.
“Kinanti. Aku akan menunggumu.”
Bersambung