Keluarga yang Rumit

1644 Kata
Dimas adalah sosok yang sangat angkuh dan ingin orang lain yang lebih dahulu memulai menyenangkan perasaannya. Sementara calon istri papanya yang duduk di belakangnya ini memiliki kepribadian penyendiri dan tidak akan berinisiatif untuk menyenangkan orang lain. Tentunya pasti enggan memulai pembicaraan. Apalagi dia sadar Dimas tidak suka padanya. Dalam perjalanan menuju Bintaro, Dimas yang menyetir tentu lebih sering melirik kaca spion kanan mobil agar tetap kosentrasi menyetir. Namun lirikannya sesekali terarah ke wajah cantik Kinanti yang sama sekali tidak memperhatikan Dimas. Wajah Kinanti yang mengarah ke luar jendela mobil sedikit mendongak, sehingga leher putih mulusnya yang jenjang terlihat jelas di mata Dimas. Entah kenapa, cengkeraman Dimas pada setir mobil menegang dan dia merasakan dorongan untuk mencengkeram leher putih itu di tangannya. Dimas menggeram dan dengan cepat menepis pikiran aneh di benaknya. Lalu kemudian dia kembali berkonsentrasi mengemudi. Bintaro hampir dekat. Mobil Dimas kini sudah menepi di tempat yang aman. Akan tetapi ada masalah kecil yang dihadapi Kinanti. Dia tampak kesulitan melepas sabuk pengamannya. Akhirnya Dimas ke luar dari mobil dan membantu melepaskan sabuk pengaman dari badan Kinanti. "Kamu seharusnya menekannya lebih kuat,” ujar Dimas. Kinanti ke luar dari mobil dan mendengus pelan. Dia tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dimas, dengan ekspresi wajah datar. Dimas anggukkan kepalanya sedikit sebagai isyarat jawaban. Tampak seorang satpam perumahan keluarga Kinanti mengenal Kinanti dan menyapanya dengan senyum ramahnya. Sementara Dimas yang sudah duduk di depan setir mobilnya hanya bisa melihat punggung Kinanti. Dia tidak tahu reaksi calon mama tirinya itu. Tapi dia sadari bahwa meskipun Kinanti menanggapinya, ekspresi wajahnya pasti tidak berubah. Calon ibu tirinya yang sangat muda ini benar-benar memiliki kepribadian yang dingin. Setelah memastikan Kinanti aman di dalam kompleks perumahan, barulah Dimas menyalakan mobil dan kembali ke kantornya. *** Sejak memulai kuliahnya, Kinanti jarang pulang ke rumah. Jika tidak ada yang diperlukan, dia bahkan tidak akan pulang sama sekali. Namun Dirga Wiryawan, Papa Kinanti, tetap memberi uang bulanan untuk kebutuhan Kinanti sehari-hari. Kinanti perlahan mengetuk pintu rumahnya. “Kinanti!” seru seorang laki-laki muda yang membuka pintu rumah. Laki-laki muda bertubuh tinggi dengan rambut pirang. Kinanti mengangguk kecil sambil berjalan memasuki rumah setelah laki-laki berambut pirang itu menggerakkan tubuhnya ke sisi samping memberi ruang untuk Kinanti. Lalu dia menutup pintu rumah setelah Kinanti mengganti sandalnya. Dia ikuti langkah Kinanti ke dalam rumah. Ada seorang pria paruh baya duduk di sofa di ruang tamu. Wajahnya sangat mirip dengan Kinanti. “Hai, Papa,” sapa Kinanti pelan. Dirga yang sadar akan kedatangan Kinanti ke rumahnya, buru-buru meletakkan remote control TV di atas meja depan sofa, dan bangkit dari duduknya. "Hai, Kinanti. Kamu pulang?" seru Dirga dengan nada tanya. "Ya, aku pulang untuk mengambil beberapa barang yang aku butuhkan,” balas Kinanti pelan. "Untuk mengambil barang-barang,” beo Dirga dengan dahi mengenyit. "Apa sudah waktunya pindah ke Alam Sutra?" tanyanya ragu. Sebuah pertanyaan yang membuat si laki-laki muda berambut pirang menoleh dan ingin mengetahui jawaban Kinanti. "Ya, Pak Arsa ingin aku pindah ke rumahnya segera agar aku terbiasa di lingkungan sana," "Jadi...." Dirga mengangkat kacamatanya seolah menyembunyikan kegelisahan, "Ya. Tentu menyenangkan pindah ke sana segera daripada menundanya." Laki-laki berambut pirang itu tertawa mengejek. "Hah! Hidup dengan kakek tua tujuh puluh tahun ... apa yang bisa menyenangkan?" sindirnya bertanya ke arah Kinanti. Matanya yang kilat melekat ke arah tengkuk putih Kinanti. "Jeffrey!" Dirga setengah berteriak ke arah laki-laki muda yang bernama Jeffrey itu. Kata-kata yang ke luar dari mulut Jeffrey sangat tidak pantas. “Pak Arsa itu adalah donatur keluarga kita dan sangat dermawan,” sergah Dirga. "Ya, aku tau. Emangnya membalas kebaikan sang dermawan tua bangka itu harus dengan menyerahkan perempuan muda dan menikah dengannya?” "Jeff!" Kinanti mencegah Jeffrey agar tidak terlalu jauh dengan omong kosongnya. "Cukup. Aku lakukan ini atas dasar kemauanku sendiri," "Masa ‘sih?" Jefrey mendekati Kinanti. Lalu dia remas kerah baju Kinanti dan menatap Kinanti lekat-lekat. “Jeffrey! Ngapain kamu?" tiba-tiba seorang wanita berpakaian hip dress merah menegur Jeffrey. Jeffrey menarik tangannya dari kerah leher Kinanti dengan tetap menatap tajam Kinanti. Wanita itu mendekati Kinanti. Wajahnya berubah-ubah tanpa makna saat memandang Kinanti. Namun akhirnya dia tersenyum ke arah Kinanti. "Kamu pulang," decaknya senang dengan senyum tipis. Kinanti perbaiki kerahnya yang kusut. "Tante," sapanya pelan. "Kamu akan pindah ke Alam Sutra?" tanya wanita itu yang ternyata sudah mendengar percakapan Dirga dan Kinanti sebelumnya. "Ya," "Bagus," ujar wanita itu sambil melirik Jefrey. "Jeffrey. Kamu naik ke atas dan bantu Kinanti berkemas,” suruhnya pelan tapi bernada tegas. "Mama!" rutuk Jeffrey. Wajahnya murung seketika. "Jeffrey! Ayolah," seru wanita itu dengan nada suara lebih tinggi dan tertahan, hingga Jeffrey tidak berani menolak perintahnya. Jeffrey beranjak malas dari duduknya dan melangkah menuju tangga ke lantai atas rumah. Dirga tampaknya tidak berani berkata apapun di depan wanita itu yang tidak lain adalah istri sirinya. Dirga tatap Kinanti dengan perasaan cemas dan gelisah. “Papa … Tante, aku ke atas dulu untuk mengepak barang-barangku," ujar Kinanti dengan raut wajah yang sangat tenang. Dirga mendadak gugup. "Oke, oke. Silakan, silakan, Kinanti." Kinanti lalu menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas. Saat menyusuri tangga, Kinanti samar-samar mendengar suara wanita yang dia sapa Tante tadi. "Kamu nggak kenapa-napa kan, Dirga?” tanya wanita itu cemas. “Nggak papa, nggak papa,” jawab Dirga gugup dan khawatir. Kinanti hela napas panjang. Baru saja dia buka pintu kamarnya, tiba-tiba Jeffrey menarik tubuhnya dan mendorongnya ke dinding dengan kasar hingga menimbulkan bunyi. Kinanti mendengus, alis matanya bertaut dan dahi yang mengkerut. Dia tatap wajah Jeffrey yang sangat dekat dengan wajahnya. Jeffrey terlihat menahan amarah. "Gila … aku bisa gila." Jeffrey mendorong tubuh tingginya hingga berdekatan dan menempel dengan tubuh Kinanti. Dia juga menekan pundak Kinanti ke dinding kuat-kuat, sembari menatap Kinanti dengan bengis dan matanya yang merah. "Aku gila. Aku benar-benar gila, Kinanti. Please, jangan pergi … jangan menikah dengan si tua bangka Arsa,” ujar Jeffrey yang melemah namun tetap menggeram. Kinanti diam tak bergeming. Dia letakkan tangannya ke d**a Jeffrey, lalu mendorong tubuh Jeffrey dan ke luar dari kekangan Jeffrey. "Itu kenyataannya, Jeffrey," ucap Kinanti. "Nggak! Ini nggak benar, Kinanti! " Jeffrey tampak sangat gusar. Dia mencoba meraih lengan Kinanti, namun dengan cepat ditepis oleh tatapan dingin dari Kinanti. "Kinanti, selama kamu menentangnya dan kamu tidak setuju ... aku yakin Arsa nggak akan bisa memaksamu!" ujar Jeffrey gusar. "Aku sudah bilang berkali-kali, nggak ada yang memaksaku … aku melakukannya dengan kemauanku sendiri secara sukarela," "Sukarela? Sukarela? Nggak mungkin, Kinanti. Emangnya kamu manusia suci? Kamu adalah cewek terkenal di sekolah. Bagaimana mungkin kamu bisa rela menikah dengan lelaki tua jahat itu, Ini bodoh," “Manusia suci,” decak Kinanti meniru kata-kata Jeffrey. Lalu dia tertawa dingin mendengar komentar Jefrey tentang dirinya, "Jeff. Kalo bukan karena aku yang akan menikah dengan Pak Arsa, kamu sudah jadi anak jalanan sekarang!” Jeffrey terdiam. "Aku ... aku ... aku," gugupnya dengan kepala menggeleng. Matanya mengerjap menahan tangis. Kinanti sepertinya sudah terbiasa dengan sikap Jeffrey yang moodnya tak menentu. Dia sadari keadaan keluarganya yang carut marut. Papa yang menikah lagi dengan wanita yang tidak lain adalah Mama kandung Jeffrey. Papa menjadi sosok yang lemah tak berdaya terhadap wanita itu dan anaknya. Lega rasanya untuk segera meninggalkan rumah secepat mungkin. Lagi pula apa yang telah dia lakukan demi kebaikan keluarganya dan dirinya. Ponsel Kinanti tiba-tiba berdering saat Kinanti dan Jeffrey sedang diam terpaku. Kinanti berusaha mengubah suasana hatinya sebelum menerima panggilan itu. "Pak Arsa," "Apa kamu sudah siap?” terdengar suara berat Arsa di ujung sana. Kinanti tatap tubuh jangkung Jeffrey yang kini berdiri di pintu mencoba menghalangi langkahnya. Kinanti tetap menahan emosinya, "Hampir selesai, Pak. Aku tidak punya banyak barang," “Ok … aku akan menyuruh Bona menjemputmu setengah jam lagi." Kinanti melirik Jeffrey di pintu. Jeffrey mendengus kesal saat mendengar pembicaraan antara Kinanti dan Arsa. Keningnya berkerut dan wajahnya yang cemberut. "Terima kasih, Pak Arsa." Panggilan ditutup dari sana. Kinanti abaikan Jeffrey yang berdiri di sisi pintu, dia ambil barang-barangnya yang tidak banyak itu, lalu mengemasnya ke dalam tas selempangnya yang tidak begitu besar. Kinanti sempat pula meraih foto mamanya yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Jeffrey cemas saat melihat Kinanti meraih foto mamanya dan memasukkannya ke dalam tas. Sebelumnya, selama apapun Kinanti pergi dari rumah, foto itu selalu ada di kamar Kinanti. Sekarang Kinanti datang untuk mengambilnya. "Apa … kamu nggak akan pulang lagi ke rumah ini?" tanyanya curiga. Kinanti terus saja merapikan barang-barangnya. "Aku mencoba untuk nggak pulang," lirihnya seraya menatap mata Jeffrey. "Mamamu nggak suka aku," ucapnya kemudian. Jeffrey mendadak gugup. "Tapi aku ... dan Papa menyukaimu." Kinanti menghela napas pendek, tak peduli dengan kata-kata Jeffrey. Jeffrey sadari sebuah kenyataan bahwa Kinanti memang harus pergi kali ini. Sebenarnya dia tidak menginginkannya, akan tetapi dia sendiri tidak punya pilihan. Akhirnya dia ikut turun membantu membawakan tas Kinanti. *** Dirga tatap Jeffrey yang membawakan tas Kinanti dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya dia ingin sekali menahan langkah Kinanti untuk makan malam bersamanya malam ini. Akan tetapi dia takut dengan wajah bengis istrinya. Dirga dan Jeffrey mengantar Kinanti menuju mobil yang akan melaju pergi menuju Alam Sutra. Dirga tidak lupa menasihati Kinanti untuk berhati-hati di rumah orang lain. Sedangkan Jeffrey diam dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Namun saat mobil hendak melaju pergi, tiba-tiba Jeffrey mendekati jendela mobil di sisi Kinanti. "Kinanti! Aku akan bersamamu. Tunggu! Tunggu aku, tunggu aku….” Suara Jeffrey terdengar parau dan lirih. Dia benar-benar gila dengan kepergian Kinanti. Saat mobil yang ditumpangi Kinanti benar-benar hilang dari pandangannya, Dirga merasa hatinya hancur berkeping-keping. Pikirannya kosong saat kembali memasuki rumah dan mendapatkan istrinya tengah duduk santai di sofa. “Rachel, Mama Kinanti berutang padamu. Mulai sekarang utangnya lunas,” "Lunas?" Wanita bernama Rachel itu mengerutkan keningnya. Dia seperti singa betina yang tiba-tiba tersinggung. Dia menggeram tidak peduli akan kebaikan Kinanti. “Utang mamanya tidak akan pernah lunas!” desisnya penuh amarah. *** Sejak mengantar Kinanti ke rumahnya ke Bintaro, Dimas tidak lagi melihat calon Mama tirinya itu sampai tiba saatnya resepsi pernikahan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN