I shall do one thing in this life,
One thing certain. That is :
Love ❤️ you
Long for you
And keep wanting you till I die
Nice quotes by Nn
---
Tak terasa sudah jalan beberapa minggu hubungan Rara dengan Banyu. Semua berlangsung lancar, aman, tentram, damai. Mungkin karena usia yang sudah sama-sama dewasa jadi bisa cepat saling menahami.
Hubungan mereka berjalan begitu mulus. Lebih tepatnya lagi datar. Tidak setiap hari bertemu. Hanya kalau hari Jumat, Banyu sebisa mungkin menjemput Rara pulang kantor. Biasanya kalau hari Jumat Rara pulang lebih malam sekalian menyelesaikan laporan mingguan. Oiya, Banyu hampir tidak pernah menjemput Rara di pagi hari untuk berangkat ke kantor. Rara yang memang tidak mau. Pertama rumah mereka tidak searah, jadi Banyu harus memutar lebih jauh untuk menjemput.
Kedua Rara biasanya emang diantar ayah atau Dion pakai motor sampai kantor. Jarang sekali Rara bawa mobil sendiri. Kecuali ada keperluan sangat penting atau jadwal rapat sore hari di kantor klien.
Kencan?? Mmm hampir tidak pernah. Kalau yang dimaksud dengan kencan adalah pergi berdua, nonton, makan malam romantis, boleh dikatakan hampir tidak pernah terjadi.
Rara juga bukan tipe perempuan yang suka keluar rumah. Dulu, sebelum kejadian tiga tahun yang lalu, Rara juga menikmati masa mudanya. Tidak dengan hal yang aneh-aneh kok, dia tahu diri dan tahu batasan. Paling hanya sekedar jalan bareng Agni, atau teman kantor, atau makan bersama.
Dia tidak pernah dugem. Tidak pernah minum alkohol atau n*****a. Rara takut dosa tentu saja. Jadi intinya dia anak baik-baik deh hehe.
Jadi lebih baik hubungan ini dijalani saja, biarkan mengalir seperti air. Yang pasti akan menuju muaranya. Yang pastinya muara itu adalah bersatunya aliran cinta itu pada sebuah pernikahan- sesuatu yang sangat diinginkan oleh setiap wanita.
Sedikit demi sedikit Rara memupuk rasa cinta pada Banyu. Rara mulai merasa nyaman jika bersama dia. Memang orangnya irit bicara, datar, dan entahlah.. sesekali tampak misterius. Banyu sering kali melihat dengan tatapan mata yang tidak bisa dibaca. Tatapan sedih bercampur rasa bersalah sepertinya, entah kenapa.
Tapi kata Agni sih Banyu akhir-akhir ini jadi lebih terbuka, sering tersenyum sendiri dan jadi lebih peduli ke sekeliling. Aah senangnya jika perubahan itu menuju ke arah positif.
Seperti sekarang ini, Banyu memaksakan diri untuk ikut aku acara sunatan massal di masjid dekat rumah. Tiap 6 bulan sekali selalu diadakan sunatan massal. Rara aktif sebagai panitia, dia senang sekali bisa memberikan sumbangan walau bukan berupa uang. Kadang Agni juga ikut untuk memberikan program paska trauma akibat disunat. Dia dibantu relawan yang biasanya masih mahasiswa psikologi.
Awalnya Banyu tampak canggung, apalagi berbaur dengan orang-orang di lingkungan rumah. Walau tinggal di Jakarta tapi Rara tinggal di daerah yang masih menjaga silaturahim. Kalau ada tetangga yang punya hajat, maka kami tetangga yang berdekatan tak ragu untuk membantu, sekedar masak atau beberes tempat si empunya hajat.
Terlihat mencolok sekali Banyu di antara orang-orang. Badannya yang cukup jangkung, wajahnya yang sangat ganteng dan kulit yang kecoklatan, semakin menambah kesan sempurna sebagai lelaki. Terlihat banyak gadis dan kaum ibu yang terpesona padanya.
Menggelikan sebenarnya, mendengar bisikan-bisikan mereka yang kepo pada Banyu. Pinginnya sih Rara teriak kencang, meneriakan ke semua orang dengan lantang bahwa Banyu adalah miliknya.
Aah memikirkan hal itu saja membuat Rara malu. Rara menggelengkan kepala tanpa sadar. Sampai terdengar suara yang menegurnya lembut, "Kenapa geleng-geleng kepala? Pusing? Panas banget memang hari ini. Kalau sudah selesai kita pulang ya."
Rara mendungakkan kepala dan tersenyum salah tingkah,"Iya mas. Ini lagi beberes, tunggu bentar ya, aku pamitan dulu sama pak ustadz."
Dia mengangguk. Selesai berpamitan ke pak ustadz dan beberapa panitia lain, mereka langsung pulang. Kali ini naik motor saja karena jaraknya yang tidak begitu jauh dari rumah.
Sampai di rumah, Banyu numpang ijin untuk mandi karena merasa sangat gerah. Sementara Rara dan umi menyiapkan makan siang.
Selesai mandi, Rara lihat ayahnya sedang ngobrol dengan Banyu. Sepertinya pembicaraan yang cukup serius karena mereka bahkan tidak menyadari kedatangannya yang membawa sepiring pisang bakar coklat s**u keju dan teh tawar hangat. Lumayan, kudapan di sore hari untuk mengganjal perut karena kecapaian tadi.
"Naah ini Raranya. Sini nduk duduk sini bentar, mumpung kita lagi ngumpul, kata nak Banyu ada yang ingin dibicarakan. Ayah panggil umi dulu ya." Ayah bangkit untuk memanggil umi.
"Ada apa sih mas? Kok kaya penting banget gitu." Tanya Rara resah.
Sementara Banyu hanya tersenyum,"Nanti ya tunggu umi sekalian, biar gak ngulang lagi." Kata Banyu sambil mencomot pisang bakarnya.
"Enak, seperti biasanya." Katanya sambil melihat ke gadis di depannya. Pipi Rara memerah mendengar pujiannya.
Segera setelah umi duduk bersama kami, ayah membuka percakapan,"Alhamdulilah sudah ngumpul. Cuma kurang Dion karena sedang sibuk sama skripsinya."
Jeda sejenak, ayah mengambil nafas dan kemudian menolehkan kepalanya ke arahku.
"Jadi gini, tadi pas waktu ngobrol berdua, nak Banyu menyampaikan keinginannya untuk melamarmu nduk. Bagaimana? Ayah pikir lebih baik begitu. Bukannya ayah dan umi gak suka kalian pacaran, tapi ayah dan umi lebih setuju jika hubungan kalian dipastikan dalam ikatan yang halal. Bagaimanapun juga pernikahan adalah menyempurnakan ibadah." Kata sang ayah panjang lebar.
Rara bengong, kaget, dan segera menoleh ke arah Banyu yang sedang menatapnya dengan pandangan yang lembut. Dia juga menolehkan pandangannya ke arah sang ayah yang juga tersenyum, sementara umi tentu saja sudah ada air mata yang menetes mendengar hal ini. Air mata bahagia?
"Gimana nduk?"
"Kalau Mas Banyu yakin, Insya Allah Rara juga yakin yah. Rara mau menikah dengan Mas Banyu." Jawab Rara pelan sambil menunduk, merasa wajahnya sudah semerah udang goreng.
"Alhamdulilah Rara setuju Nak Banyu. Tapi maaf ayah mau tanya, apakah Nak Banyu sudah tahu masa lalu Rara? Ini harus disampaikan sedari awal agar tidak ada ganjalan di kelak kemudian hari."
Jeda, hening. Mereka bertiga menatap Banyu. Selama ini Rara dan Banyu memang tidak pernah membicarakan hal ini. Kalau Rara hendak membahasnya, sepertinya Banyu terlihat enggan dan langsung mengalihkan pembicaraan. Atau malah bertanya tentang Melati. Banyu menghela nafas panjang, sepertinya berat untuk menjawab. Tapi..
"Ya yah, saya sudah tahu sedari saya baru kenal Rara. Saya mencari tahu dari Agni."
"Apa itu tidak menjadi masalah?" Suara umi terdengar.
"Maksudnya adalah, Rara, anak kami, bukanlah seorang perawan bahkan pernah hamil di luar nikah, walaupun itu bukanlah keinginannya. Umi tidak mau nantinya Nak Banyu mengungkit dan menghina Rara. Sebagai seorang perempuan dan seorang ibu, umi tahu sekali perasaan Rara. Menemaninya dari semenjak kejadian itu sampai bisa seperti sekarang, melepaskan trauma itu, bukanlah hal yang mudah." Umi meminta ketegasan Banyu.
Sang ayah menyentuh pundak umi berusaha memberikan kekuatan. Sementara Rara hanya bisa menunduk dan meremas ujung jilbabnya. Sekelebat bayangan kejadian itu datang lagi. Tiba-tiba dia merasa sangat takut.
Tapi Rara merasakan ada kehangatan yang menjalar saat sebuah tangan kokoh memegang tangannya dengan lembut. Rara melihat ke arah pemilik tangan itu. Banyu. Eeh kok tumben dia berani memegang tanganku di depan ayah dan umi.
Banyu tersenyum, tapi entah kenapa sinar matanya kok tampak sedih ya?
"Saya sangat mengagumi seorang gadis yang bisa menjaga kesuciannya, apalagi jika diberikan kepada suaminya. Tapi bagi saya, Rara suci umi. Kehilangan keperawanannya karena kejadian itu, bukanlah kehendak Rara. Insya Allah saya menerima Rara apa adanya."
Karena sayalah b******n itu umi. Sayalah laki-laki yang sudah menghancurkan Rara. Dan sekarang saya ingin menebus kesalahan itu. Walaupun belum ada rasa cinta, tapi sepertinya tidak sulit untuk belajar mencintai Rara.
Tapi tentu saja kalimat-kalimat ini hanya berputar di otak Banyu.
Dia merasa berubah menjadi laki-laki b******n yang pengecut jika sudah menyangkut Rara. Kembali menjadi laki-laki pengecut.
Ucapan Banyu melegakan semua yang hadir di situ.
"Ayah pegang janjimu ya Nak Banyu. Tolong bahagiakan Rara. Terlalu banyak kesedihan dan kesakitan yang Rara derita. Saatnya dia bahagia bersama laki-laki yang mencintai dan dicintainya."
Cinta? Akankah aku bisa mencintainya? Ini aku lakukan semata karena aku ingin bertanggung jawab. Bukan karena cinta.
"Iya yah, semoga saya bisa memberikan kebahagiaan untuk Rara." Senyum palsu terkembang di wajah tampan itu.
"Oiya yah, saya sudah sampaikan ke papa dan mama akan hal ini. Dan mereka akan ke Jakarta akhir bulan depan. Kira-kira sebulan setengah lagi. Nanti kalau sudah datang, saya akan melamar Rara secara resmi."
Ayah dan umi Rara mengangguk. Dan meninggalkan mereka berdua untuk lanjut ngobrol.
Rara gugup. Dia selalu menundukkan wajah karena malu. Entah malu karena apa Rara pun tak tahu.
"Ra..."
Sebuah suara memecah keheningan.
"Besok kita cari cincin ya?"
"Eeeh.. eumm.." seketika otak Rara linglung bingung harus menjawab apa. Ya Tuhan.., aku terlalu bahagia akan hal ini. Rara hanya bisa mengangguk.
"Eeh tapi bukannya besok kita ke rumah Indra kan mas? Ke rumah barunya Indra? Tadi umi udah belanja buat masakin acara itu besok. Rencana sih mau masak yang simpel aja ya, sayur asem, ayam bakar ama tahu tempe goreng dan sambal terasi. Semoga pada suka."
"Iyaa selesai acara makan siang dari rumah Indra saja ya kita cari cincinnya. Kalau untuk makanan, apapun menunya asalkan yang masak kamu, pasti enak."
Memerah lagi deh pipi Rara.
"Kalau dari jarak sedekat ini aku baru ngeh kalau dagumu itu rada belah ya Ra?" Tanya Banyu yang tanpa Rara sadari posisinya sangat dekat.
"Iya, tapi ya gitu deh, belahnya gak niat, cuma kaya garis aja ya?"
"Kamuuu..., cantik!" Palsu atau tuluskah pujian itu? Hanya Banyu yang tahu.
~~~
Minggu siang Rara sedang menyiapkan makanan yang akan dibawa ke rumah Indra. Beberapa hari lalu, tetiba Banyu telpon dan minta tolong agar gadisnya itu masak untuk acara makan siang di rumah Indra. Syukuran rumah baru, hanya untuk geng mereka saja. Ditambah ibu dan adiknya Indra dari Magelang, dan Rara juga Agni. Jadi hanya makan siang untuk 8 orang. Kata Banyu mereka suka masakan Rara. Beberapa kali memang dia membawakan makan siang untuk Banyu. Porsi yang banyak karena pasti teman-temannya ikutan nimbrung makan.
"Ra..., udah dijemput sama Nak Banyu. Kamu ganti baju dulu aja ini biar umi yang beresin." Kata umi.
Segera Rara masuk kamar untuk bersiap. Dan setelah berpamitan pada ayah dan umi mereka langsung menuju ke rumah barunya Indra.
"Jauh ya mas?" Tanya Rara setelah 20 menit berkendara kok masih belum sampai.
"Kalau dari Cempaka Putih iya jauh, karena rumahmu kan Jakarta Pusat tapi cenderung ke Utara, tinggal nyebrang juga udah sampai Kelapa Gading. Ini rumah Indra di Jakarta Selatan. Sebentar lagi kok nyampe."
Lima belas menit memudian, alhamdulilah dengan kondisi jalanan yang lancar, mereka sudah sampai di rumah baru Indra. Rumah yang asri. Bergaya Bali. Semua bukaan. Halaman depan dan belakang yang luas. Ada kolam renang di sisi kanan sebelah rumah, yang langsung menyambung dengan ruang keluarga atau ruang santai. Jika pintu kaca digeser, maka view kolam renang akan langsung bisa dilihat. Indah dan asri.
Begitu sampai, mereka langsung disambut oleh si empunya rumah. Ternyata Agni dan Rendra sudah datang. Mereka sudah ada di halaman belakang.
Rara diajak berkeliling oleh adiknya Indra. Namanya Renita. Dia cerita dengan antusias. Kenapa sepertinya dia mengenalku sudah lama ya?
Rumah yang sungguh asri. Gaya Bali tapi minimalis. Puas berkeliling rumah, Rara segera membantu menata makanan.
"Eeh ini to nak Larasati? Makasih banyak ya jadi repot mau masakin buat acara ini. Kata Indra, tante gak perlu masak karena pacarnya Banyu yang mau masakin. Pinter masak ya nduk kamu?" Sambutan hangat dan ramah dari mama Indra membuat Rara merasa tersanjung.
Rara mencium tangan mamanya Indra tanda hormat. Dan tersenyum sungkan.
"Kamu beruntung banget loh Yu, bisa dapat calon istri kaya nak Larasati gini. Bocahe ayu, pinter masak, sopan, sholeha pula. Indra kapan coba bisa ngenalin calonnya ke Mama? Pingin banget punya mantu kaya kamu cah ayu." Kata mamanya Indra pada Banyu saat Banyu salim tangan.
Saat itu Rara baru tahu kalau geng ini memanggil mamanya Indra bukan dengan sebutan tante, tapi Mama Ve, singkatan dari Mama Veren. Semua mengganggap Mama Ve sebagai mama mereka, mungkin karena memang orangnya ramah.
Terlihat Banyu hanya tersenyum saja seperti biasanya.
"Ada apaan sih mah? Kok aku mendengar mama pingin banget punya mantu. Aku belum ketemu jodohnya mah." Tetiba Indra datang dan langsung memeluk mamanya dari belakang.
"Eeh nak Larasati.."
"Panggil Rara saja tante.." potong Rara.
"Rara aja ya? Kamu punya sodara ndak?"
"Punya tante."
"Umur berapa?"
"Tahun ini masuk 21 tahun. Sedang skripsi tante. Insya bentar lagi sarjana." Jawab Rara sambil menerka arah pembicaraan ini.
"Kalau gitu tante minta jodohin aja Indra sama sodaramu itu ya nduk? Kalau sodara kan sifatnya gak begitu jauh. Jadi biar Indra bisa segera menikah." Ujar Mamanya Indra semangat. Ada maksud dan tujuan kenapa sang mama bersemangat seperti itu.
Sementara Rara, Agni dan Banyu tertawa. Bahkan Agni sampai mengeluarkan air mata.
"Loh kok pada ketawa siih?" Tanya Mama Indra dan Renita kompak, sambil terheran-heran.
"Tante.. yang ada mah mana mau sodaranya Rara ama Indra. Lah adik sepupunya Rara kan laki-laki tante. Rara sendiri anak tunggal." Jelas Rara setelah bisa meredakan tawa.
Indra melengos kesal. Mamanya pun hanya tersenyum pahit. Sementara Renita adiknya baru sadar akan alur ceritanya dan tertawa.
"Sudaaah sudaah. Lagian pada hobi banget sih ngebully gue?" Tanya Indra kesal.
"Yang jomlo kan gak hanya gue, Nino juga tuh." Nino langsung mendelik ke arah Indra.
"Enak aja.. gue bukan jomlo Ndra, hanya belum menemukan orang yang tepat." Tukasnya.
"Maksudnya gadis yang tepat untuk lu semprotin tiap malam ya?" Serang Indra.
"Eeeh elu yaa kaya gak aja deh. Bukannya elu juga sering semprot tuh. Setahu gue sih cuma Rendra yang gak berani karena takut ama Agni. Dan kalau Banyu sih karena emang dia sok cool aja tuh Ra.."
"Ninoooo.... awas ya kamu..." Indra dan Banyu langsung menimpuk Nino memakai tisu kotor.
"Awas aja kalau berani ya, Ren." Agni langsung mengancam.
"Tenang sayaang, cintaku hanya untukmu kok." Kata Rendra. Dan mereka pun langsung pasang muka pura-pura mual mendengarnya.
"Eeh sudah ayuuk pada makan. Ini eman-eman makanannya keburu dingin." Lerai mama Indra dengan logat Jawa yang kental.
Mereka pun makan siang dengan lahap, suasana rumah yang asri dan nyaman, masakan yang terasa sungguh nikmat dicecap lidah, membuat semua yang hadir tidak mampu untuk lagi menahan air liur.
Jika diperhatikan pada saat kumpul gini, seperti melihat kumpulan laki-laki tampan. Paling ganteng Nino, kulitnya putih, hidung mancung, rambut tebal, bibir seksi, kaya, mapan. Tapi entahlah Rara kok kurang suka sama cowok yang berkulit putih gitu. Kaya kurang laki hehe. Atau karena kulit Rara sendiri yang cenderung sawo matang ya? Biar gak minder kalau sebelahan sama cowok putih. Nino seorang player, heart breaker, dan sepertinya dia memanfaatkan betul kelebihannya itu. Dia suka sekali ONS. Katanya, sayang aja ada cewek yang mau ama gue terus gue anggurin. Selama dia bukan istri orang lain, hayuuk deh. Yaaa dia gak pernah mau ONS sama cewek bersuami.
Terus Rendra. Secara fisik hampir mirip Nino, cuma beda kelakuan aja. Setahu Rara, Rendra orang yang setia dan sangat menghormati Agni.
Terus Banyu dan Indra berada di poin yang sama. Secara fisik mirip, cuma beda di kulit. Indra berkulit kuning bersih. Sedang Banyu agak coklat. Rara yakin kulit Banyu seperti Agni yang putih, tapi karena dia sering travelling, avonturir, jadi kulitmya kecoklatan. Tapi menurutnya malah membuatnya semakin terlihat laki dan macho.
Sifat mereka juga beda. Banyu cenderung pendiam, bicara seperlunya saja. Sedang Indra lebih heboh, lucu dan menghangatkan suasana dengan kelucuannya yang kadang garing. Kata Agni, Indra juga player dan heart breaker walau gak seekstrim Nino. Mungkin karena punya adik perempuan, dia masih takut karma.
Saat sedang berdua di mobil saat hendak mencari cincin, Banyu berkata pada Rara bahwa dia bukan penyuka ONS. Dia hanya pernah melakukan itu pada dua orang wanita. Yang satu mantan pacarnya, satu lagi dia tidak mau bilang. Tapi katanya semenjak mereka putus, dia sudah tidak melakukan itu lagi.
Apalagi semenjak berhubungan dengan Rara, katanya dia jadi semakin menghargai wanita. Semoga... tetap seperti itu. Atau tidak? Ada sesuatu yang disembunyikan Banyu, yang hanya dia sendiri saja yang tahu. Dia tidak tulus kepada Rara. Cintanya masih menjadi milik perempuan lain yang sekarang entah di mana.
Keputusan menikahi Rara, murni karena dia ingin menebus kesalahan di masa lalu, agar terlepas dari mimpi buruk yang selalu menghantui. Banyu mendesah kesal, bahkan pada saat bersama Rara, sekelebat rasa kangen pada sang mantan kembali hadir, menyapa.