11. Sebelas

1525 Kata
Sudah diputuskan, fix, Dion mau menerima Rahee sebagai adik ipar dengan syarat: "Dikarantina." "APA?!" Banyu yang heboh sendiri. Sedangkan Altarik yang baru saja pulang sehabis membeli beberapa keperluan menikah dan sudah mengantarkan Rahee ke kosannya, direcoki oleh putusan Dion sekarang. "Emangnya Rahee kena virus!" nyinyir Marine. Dia tengah adu jotos main PS dengan Bang Kai. Di ruang tengah itu ada Banyu yang asyik nyinden, lalu Samudra yang video call dengan istri dan anak bungsunya. Ada pula Umin dan Lei yang tanding catur dengan Chandra plus Jae yang jadi suporter sambil taruhan—Chandra memegang Umin, sedangkan Jae yakin Lei lah pemenangnya—maka Chen jadi penengah di antara mereka. Hanya Dion sendiri yang pusing-pusing mikirin urusan Altarik dan Rahee. "Maksudnya, suruh Rahee nginap di sini—" "Terus aing tidur di mana?!" Selalu Banyu yang heboh. Dion balas dengan pelototan sadisnya. Ya ampun! Padahal di sini Banyu yang abangnya. "Rahee tidur di kamar Altarik—" "BERDUA?! GELO MANEH!" Padahal Altarik yang jadi subjek obrolan mereka saja anteng maksimal, dia sedang ngadem di depan kipas angin dengan tubuh telanjang d**a. Maklum, AC-nya mati. Tinggal tunggu tanggal angin masuknya saja, alias meriang, terus minta dikerokin. "Dengerin dulu, kalo orang lagi ngomong jangan asal potong," tutur Umin di tengah fokusnya kepada bidak-bidak catur di papan. Banyu terkekeh. Lalu Dion lanjutkan, "Maksudnya, nanti Rahee tinggal di sini sementara. Gue mau tes kebolehan dia di beberapa bidang sebelum membina rumah tangga bareng Altarik ." "Terus saya tinggal di mana?" "Halah! Abang kan punya rumah sendiri. Biasanya juga nggak pernah pulang ke sini, giliran mau ada Rahee aja berlagak rumah utama ini rumah satu-satunya Abang. Iyuh!" nyinyir Marine sambil berusaha membunuh Bang Kai di game. "Waalaikumsalam, Sayang. Dadah, Dedek! Nanti Papi telepon lagi. Ah, sini cium dulu Papinya sebelum tutup telepon!" Suaranya Bang Samud, terdengar sebab mendadak satu ruangan diam. Selesai dengan urusannya—yakni dicium jarak jauh lewat layar telepon oleh putranya yang masih bayi—kini dia mulai memasuki obrolan yang Dion ciptakan. "Apa tadi? Karantina? Gimana maksudnya?" *** "Lo gila, Rin?!" "Abang gue lebih gila, sumpah!" Yang mana baru saja Rahee mau bobok cantik, tapi urung sebab teleponnya berbunyi, rupanya dari Marine. "Karantina gimana coba. Ih, anjir!" Nggak bisa berhenti misuh. Semula ngantuk maksimal pun mendadak jadi segar kembali gara-gara kata 'karantina'. Yang paling penting, jangan sampai maskernya retak gara-gara sumpah serapah. "Jadi nanti lo tinggal di rumah gue. Bang Dion pengin tes kebolehan lo. Kalo gagal, katanya nanti lo dikuliahin sama dia alias kuliah pra nikah versi beliau. Yakni, lo belajar masak. Terus tadi bilangnya, lo juga bakal dilatih ngurus anak. Kebetulan anak Bang Samud baru lahir yang bungsu, masih bayi. Nah, tuh. Lo bisa nggak, Ra?" "Heh, guguk! Gue nyentuh kompor aja nggak pernah, udah lama. Lo tau kan gue tinggal di kosan? Di sini nggak ada kompor dan t***k bengeknya, astaga ... apalagi anak? Bayi siapa yang gue urus?" "Makanya, anjir!" "Bilangin sama lo sana, Rin. Kalo waras jangan kelebihan, gak baik. Jatohnya edan!" "Haha. Bangke, lo!" Yang detik berikutnya sambungan terputus, Marine sudahi acara teleponannya sebab sudah disuruh tidur oleh abangnya yang pertama. Ya Tuhan ... kenapa jadi kayak gini? Rahee meringis. Dia butuh uang, lalu ada cara instan yang nggak perlu banting-tulang jadi orang suruhan seperti biasa, tapi kenapa mendadak jadi lebih mengerikan daripada merecoki hidup orang macam jadi pacar bohongan kakaknya Velin? *** Esok hari di kediaman keluarga kesebelasan. Marine, Jae, Kai, dan Altarik sedang joging keliling komplek. Lain hal dengan Dion yang menyediakan sarapan setelah sebelumnya memberi kabar kepada istri di rumah tentang perpanjangan waktu dia di kediaman utama. Begitu juga dengan para suami yang lain. Hanya Banyu yang duda, makanya cuma dia yang godain anak tetangga. "Udah dong, Bang. Kasian tuh anak orang," tegur Chandra. Dia sedang menyirami tanaman. Banyu malah tertawa. Sepertinya dia berhasil ngerdusin anak tetangga dengan nyanyian romantic dari suara emasnya. Sementara itu, Lei tidak di sana. Dia mendapat tugas dari Dion—adik kurang asem yang bisanya cuma ngatur saja, tapi tidak ada yang berani membantah kecuali punya alasan logis—untuk menjemput calon adik iparnya. Habis, Jae menolak. Katanya: Jangan Jae yang jemput Rahee, nanti dia baper, Bang Altarik ngamuk entar. Maka, di sinilah Rahee sekarang. Di depan pekarangan orang yang membuat kaki ragu melangkah. "Kok berhenti? Ayo, masuk!" ajak Lei setelah bayar ongkos taksi sebab kalau bawa kendaraan sendiri dia tidak tahu jalannya, kalau pas berangkat ke kosan Rahee dia naik ojek online dan langsung ke tujuan. Rupanya alamat kos Rahee terkenal hingga mudah mamang ojek temukan. Rahee terkesiap. Lalu tersenyum kikuk. Yang Lei balas dengan senyuman manis berlesung pipi. Aduh, gusti! Semasyaallah itu manisnya sampai Rahee tersipu. Ah, lemah! "Jangan jelalatan matanya, yang itu udah punya istri!" Entah kapan ada Dion di sana. Rahee tersentak karenanya. Mendadak jantungan, debarannya mengerikan tidak nyaman. Selalu begitu kalau dihadapkan dengan abang Marine yang itu. Membuat dua makhluk penggoda anak tetangga—dalam kategori berbeda—Banyu dan Chandra menoleh ke sumber suara. "Aih, sejak kapan Neng Rahee ada di sini?" *** Capek. Altarik pulang habis joging—lebih mirip lomba maraton dengan saudara-saudaranya, pemenangnya adalah yang tiba di rumah lebih awal daripada yang lain—yakni Altarik orangnya. Dia langsung buka kaos dan membuangnya ke sofa. Dia ngeluyur ke dapur, ngadem depan kulkas sambil minum air dingin biasa—bukan air es. Yang tanpa Altarik sadari, sejak tadi Rahee berdiri di sana. Perempuan itu terperangah. Matanya berbinar takjub. Sedangkan tangan memegang spatula. Mari terang-terangan saja, Rahee pengagum perut kotaknya pria, dia juga pecinta jakun lelaki yang kalau minum naik-turun menggairahkan, aduh ... "Bau gosong apa, nih?" "Hah?" Rahee mengerjap. Detik di mana Altarik menoleh sambil menyusut keringatnya, melihat Rahee di sana. Napas Altarik sedang memburu gara-gara maraton dan minum tanpa jeda barusan. Bibirnya sedikit terbuka, lalu kening mengernyit dan alis tebal menukik bersama mata tajamnya menghujam. Maka yang Rahee lihat adalah sosok badai calon suami, walau Altarik ini terbilang kurus sebab tulang selangkanya pun nampak menonjol, tapi tidak membuat samar bagian-bagian tubuh lainnya yang berotot. "Tu-tunggu!" Panik. Rahee kontan mundur teratur saat Altarik mendekat. Ya ampun, ya ampun! Apa dia akan diserang sekarang? Di tempat ini? Maygat! Rahee belum siap. Sungguh, dia—terpejam. Rahee memegang erat spatula di tangan saat tubuh telanjang Mr. Altarik ada di depannya dalam jarak kurang dari satu meter. "Kamu masak?" Bulu kuduk Rahee meremang. Suara Mr. Altarik berbisik di samping daun telinganya, pun dengan deru napasnya yang membentur area leher Rahee. Kebetulan, Rahee mencepol rambutnya tinggi-tinggi. Yang begitu spontan, Rahee juga menahan napas sekarang. "Fokus, Ra. Masakan kamu gosong." "Y-ya?" Di mana suara kompor dimatikan pun menyentak Rahee dari alam genitnya. Rahee melotot. Ya Tuhan! "Ah, iya! Aduh, gimana ini. Yah, Pak, gosong." Rahee mulai rempong. Tidak memedulikan sosok Altarik yang bersandar di meja dapur memerhatikannya. Mendengarkan setiap keluhan Rahee mengenai ... "Bisa kena marah Bang Dion ini, aduh. Belum apa-apa masa gagal? Gimana dong, mati ini mah mati!" "Ra—" "Ada bahan makanan lagi nggak di kulkas?" tanya Rahee memangkas, dia membuang hasil olahan tangannya yang gagal gara-gara godaan berefek j*****m, alias panas. "Ada ikan kayaknya. Emang kamu lagi masak apa?" "Ambilin dong, Pak. Aku nyuci wajannya dulu." Mr. Altarik patuh. Tapi masih kepo. "Masak apa, sih?" "Harus extra cepet ini mah, Bang Dion keburu datang." Bukannya menjawab, Rahee malah ngomong sendiri. Secepat kilat dia berkecimpung dengan wajan hingga benda itu dia simpan dan menggantinya dengan yang lain untuk dipakai memasak ulang. "Masak apa?" "Tadinya mau balado telor. Eh, malah gosong bumbunya." Rahee meraih ikan yang sudah Mr. Altarik simpan di sebelahnya. "Bantu bersihin yuk, Pak. Mumpung nggak ada yang ngawasin," pinta Rahee. Mendadak tubuh telanjang bagian atas Mr. Altarik tidak menarik lagi, karena Rahee merasa tidak ada waktu untuk menikmati keindahannya. Bayang-bayang murkanya Bang Dion lebih menguasai pikiran. Ngeri. "Bukan gitu caranya!" protes Altarik ketika Rahee mulai acara membersihkan ikan. "Aku gak pernah masak, makanya tadi gak pilih ikan. Nyebelin, sumpah." "Ya udah, biar saya aja." Rahee menggeser tubuhnya dua langkah ketika Mr. Altarik menyeruduk mengambil alih ikan dari tangannya. "Mending kamu racik bumbunya aja, Ra." Rahee mengangguk. Dia cuci tangan sebelum kemudian memilah bumbu di wadahnya yang membuat Rahee menelan ludah. Bentar ... emang goreng ikan harus pakai bumbu? Eh, iya, pakai. Tapi apa saja bumbunya? Rahee mengambil ponsel, seperti tadi dia searching di Google. "Pak, lengkuas sama jahe bedanya apa?" Perasaan pas Rahee endus-endus aromanya terasa sama. Eh, nggak sih. Beda. Hanya saja Rahee tidak yakin. Altarik sibuk membersihkan sisik ikannya. Satu per satu dia buang jeroan ikan setelah dibelah bagian perutnya. "Aromanya kali. Saya taunya kunyit, kuning." Rahee meringis. Sepertinya dia sukses membuat Mami Kartini nangis darah di sana karena perempuan sepertinya masih tidak bisa membedakan mana lengkuas dan jahe. Wah, parah nih Rahee. Untungnya di resep itu tertera bahwa jahe dan lengkuas dibutuhkan, alhasil Rahee gunakan keduanya yang ada di tangan. Entah itu lengkuas semua, atau jahe semua, tapi Rahee harap dia benar. Lama waktu berlalu tanpa mereka sadari, dua orang itu jadi pusat perhatian termasuk Dion yang ditahan oleh Umin untuk tidak menegur, membiarkan. "Nanti kita cicipin aja hasil masakannya," bisik Samudra. Yang Lei angguki. Mereka jadi pemerhati. "Tapi btw, aing gemes pengin ngebajuin Altarik." Kalau ini bisikannya Banyu. Yang mana di depan mata mereka, semua menyaksikan bagaiamana hebohnya Rahee ketika goreng ikan. Yakni lompat-lompat, lalu mundur, sembunyi di balik badan Altarik dengan tangan kiri memegang punggung itu lalu tangan kanan pegang spatula. Kentara sekali stresnya Rahee saat air tidak bersahabat dengan minyak di penggorengan menghasilkan bunyi, belum lagi ikannya ngabeletrok—duh, apa ya istilahnya? Meletup-letup sampai nyiprat minyaknya. Ya, seperti itu. "Lagian anak kos modelan Rahee malah masak ikan," gerutu Marine. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN