Part 2

1425 Kata
Eyang bakalan sayang sama aku nggak, Bun? Kayak Nenek yang nggak pernah sayang sama aku." Hatiku mencelos pahit. Anak sekecil Indah sudah paham, bahwa kehadirannya tidak pernah diterima. "Eyang itu pengen banget ketemu sama Indah. Dan pasti Eyang Kung dan Eyang Uti nggak akan sama kayak Nenek." **H.M** Akhirnya aku dan Indah sampai juga di sebuah desa kecil di lereng Gunung di Bandung. Benar yang dikatakan ibu mertua. Bapak dan Ibu hanya orang kampung dengan pekerjaan sebagai petani. Mereka menggarap beberapa sawah dan sebuah kebun sawit. Tapi, Bu Rahma--mertuaku, Bang Arman dan keluarganya tak mengetahui kalau sawah dan kebun sawit itu milik kami. Bukan aku tak pernah memberi tahu, tapi tetap saja mereka terus saja menghina. Mungkin mereka tidak percaya, karena melihat rumah di kampung tidak mewah dan tidak berlantai keramik. "Assalamu'alaikum, Pak, Bu," ucapku sambil menurunkan Indah dari gendongan. "Wa'alaikumussalam, Nia. Ya Allah, ibu kangen banget, Nduk," sambut Ibu langsung memelukku. "Aku juga, Bu. Aku kangen banget. Sudah lima tahun kita nggak ketemu." Kupeluk erat orang yang sudah melahirkanku itu. Ibu mengurai pelukannya dan beralih pada Indah yang menatap bingung. "Cah ayu iki sopo toh, Nduk. Cucuku toh?" Ibu berjongkok di depan Indah. "Iya, itu Indah, Bu. Cucu Ibu dan Bapak." "Ya Allah, rindunya eyang, Nduk. Akhirnya eyang ketemu juga sama kamu." Dibawanya putri kecil berambut sebahu itu dalam pelukannya. "Kamu sudah makan, Sayang?" Indah menggeleng. "Kasihannya cucu eyang. Ya sudah, yuk kita makan." Aku terharu hingga mata ini berkaca-kaca, melihat Ibu yang tampak begitu merindukan cucunya. Terakhir bertemu, saat Ibu dan Bapak menjengukku ketika baru melahirkan. "Pak, Pak, itu Nia dan Indah sudah datang." Terdengar Ibu berteriak memanggil. Tak lama, lelaki paruh baya berkulit gelap, berjalan mendekati. "Nduk." "Iya, Pak." "Apa Arman ada berusaha mengejarmu ke sini?" Bapak duduk lalu menyesap teh dari cangkir kalengnya. Aku menggeleng. "Nggak ada, Pak. Pasti dilarang ibunya." "Ya sudah, ndak apa-apa. Kamu tinggal di sini saja. Ndak ada yang bisa diharapkan dari pria sombong seperti itu. Nanti bapak akan uruskan perceraian kalian." Deg. Jantungku berdegup mendengar kata perceraian. Pernikahan baru lima tahun, sudah berada di ujung tanduk. Tapi, memang sudah tidak ada yang bisa dipertahankan lagi dari pernikahan tak sehat ini. "Kenapa, Nduk? Jangan bilang kamu menolak perceraian," tegur Bapak membuyarkan lamunan. Aku tersenyum pada pria yang menghabiskan separuh hidupnya demi kebahagiaanku itu. "Nggak, Pak. Aku mau cerai kok. Lelaki seperti Bang Arman nggak cocok untuk dipertahankan." "Bagus! Sekarang kamu ikut bapak." "Ke mana, Pak?" "Sudah, ikut saja!" Bapak membawaku melintasi perkebunan teh, dengan menggunakan motor. Udara segar khas pegunungan, menerpa kulit dan masuk ke rongga d**a. Suasana segar yang tak kudapat selama lima tahun di ibukota. Kendaraan roda dua itu berhenti tepat di sebuah kebun teh yang tak asing bagiku. Bukan 'kah ini perkebunan teh milik ibunya Bang Arman? "Pak, ini 'kan kebun teh milik ibunya Bang Arman." "Ya, memang benar. Ini kebun teh milik mertuamu." Bapak tersenyum, yang menyimpan arti yang masih menjadi tanda tanya bagiku. "Terus, ngapain kita ke sini, Pak?" "Kebun teh ini akan dijual. Kabar ini sudah santer ke seluruh kampung. Makanya bapak sengaja menjual kebun sawit kita dan bapak akan membeli kebun teh ini khusus untukmu dan Indah." "Bapak serius?" "Tentu saja bapak serius. Sebenarnya mereka itu sudah mendekati kebangkrutan. Hanya saja masih berusaha menutupi. Bapak 'kan sudah bilang di telepon tempo hari, bahwa kita akan membeli kesombongan mertuamu dan keluarganya. Ini 'lah awalnya." Bapak menjatuhkan puntung rokoknya kemudian memijaknya kasar. "Kamu akan melihat sendiri bagaimana wajah mertuamu itu, ketika tahu bahwa pembeli kebun tehnya adalah menantu yang dia hina selama ini," lanjutnya lagi. Aku tersenyum miring. "Pasti wanita sombong itu akan jatuh pingsan, Pak. Sungguh aku nggak sabar menunggu waktu itu." ❣ POV author "dek!" "sudah lah, arman," senggak bu rahma. "jangan tahan dia! ibu jamin, dia akan kembali sama kamu. memangnya bapaknya sanggup membiayai hidup dia dan anaknya. orang miskin saja belagu!" arman kembali terduduk di kursinya. sebenarnya ia ingin sekali mengejar nia. tapi, larangan ibunya membuat ia harus mengurungkan niat. "kamu itu laki-laki, man. jangan sampai kamu menjatuhkan harga dirimu demi wanita kampung itu," tegas bu rahma. "tapi, nia itu istriku, bu. aku masih mencintainya." arman bersikeras. "halah, per-setan dengan cinta. kamu bisa mendapatkan seribu wanita yang lebih cantik dan lebih sepantaran dengan kita." "iya, benar yang dikatakan ibu, man. kamu ini jangan terlalu mengemis cinta sama wanita ndeso seperti itu. nanti akan kakak kenalkan kamu sama wanita modis dan yang jelas kelasnya sama dengan kita," timpal ima--kakak tertua arman. arman hanya tertunduk. ia memang tidak bisa membantah apa yang dikatakan ibu dan kakaknya. lelaki berkumis tipis itu paling takut kalau ibunya sudah marah. "dari awal ibu sudah tidak menyukai wanita itu. perempuan kampung yang nggak selevel dengan kita. lihat, dia sudah berani melawan ibu. kemudian pergi begitu saja tanpa izin suami. istri macam apa itu?" tangan arman mengepal geram, mendengar ucapan terakhir bu rahma. dalam hati ia ikut mengutuk kelancangan nia yang berani pergi membawa indah tanpa seizin dirinya. "nanti dia juga bakalan balik sama kamu. siapa yang mau biayain anak kamu. bapaknya? halah, mana mungkin! cuma petani upahan doang, mana mungkin sanggup. apalagi tahun depan anak kamu sudah mulai masuk sekolah 'kan?" benar juga yang dikatakan ibu, batin arman. dia pasti kembali padaku. ***h.m*** satu bulan berlalu, sama sekali tak ada kabar dari nia. arman berusaha untuk tidak peduli, tapi tetap saja tidak bisa. entah rasa cinta atau gengsi karena ia merasa sudah sangat tidak dihargai oleh nia. arman berdiri di teras. tangan kanannya bersandar pada pilar. "kamu mikirin apa, arman? nia?" lelaki bertinggi 172cm itu mengusap kasar wajahnya. "nia sama sekali tidak ada kabar, bu." "lalu?" "lalu?" arman mengernyit heran dengan pertanyaan ibunya. "ya, sudah kamu telepon saja. susah amat." "gengsi dong, bu. masa aku yang nelpon duluan. ke mana harga diriku sebagai suami?" ibu menghela napas. "dasar, bo-doh! kamu telepon dia dan beri peringatan keras pada istrimu itu." "peringatan bagaimana, bu?" "katakan pada istrimu itu, kalau mau kembali dia harus menuruti semua kemauanmu. kalau perlu, ancam dia dengan perceraian dan katakan juga, bahwa kamu nggak akan menafkahi indah kalau dia setuju bercerai. pasti nanti dia akan kebingungan sendiri." benar juga kata ibu, batin arman. "nia pasti akan kembali pada kamu, arman. kamu tenang aja. kamu itu lelaki mapan. bo-doh kalau dia sampai meninggalkan kamu. mana mungkin orang tuanya sanggup menanggung hidup dia dan anak kalian. tahu sendiri sekarang zaman serba mahal." arman segera merogoh kantong celana jeans-nya, untuk mengambil ponsel. cepat ia mencari nama nia dari daftar kontak. setelah menemukan, tanpa membuang waktu pria berkulit putih itu menekan tombol panggil. suara nada sambung terdengar. hingga nada sambung terakhir, nia tak kunjung mengangkat telepon dari arman. "nggak diangkat, bu." "sudah, telepon saja lagi," ujar bu rahma sambil menjatuhkan bokongnya ke atas kursi. kembali arman mencoba menelepon. lama sekali, tetap saja tak diangkat. "halo, ada apa, bang?" akhirnya arman bernapas lega mendengar suara yang sebenarnya sangat dirindukannya. "ke mana saja kamu? dari tadi telepon nggak diangkat," sungut arman dengan nada ketus. "aku baru selesai salat. memangnya kamu nggak lihat jam, bang? ini sudah masuk waktu ashar," balas nia tak kalah ketus. sejenak arman terdiam. dirinya memang sangat jarang mengerjakan salat. bisa dikatakan tidak pernah, kecuali salat ied. "nggak usah banyak alasan. bilang saja kamu tadi tidur. mentang-mentang kamu di rumah orang tuamu, bisa suka-suka," elak arman. "oh, tentu saja. aku kalau di rumah orang tuaku serasa seperti ratu. memangnya di rumah orang tua kamu. aku jadi babu di sana." arman tertegun. lelaki itu benar-benar terkejut. nia sudah berani melawan. biasanya dia lebih banyak diam dan langsung ketakutan. tiba-tiba, bu rahma menyambar ponsel dari tangan arman. "heh, perempuan tak ta-hu diri! sudah miskin, sok pula. kamu itu diperlakukan seperti ba-_bu itu wajar. kamu hidup dari arman--anakku. jadi sudah sewajarnya 'kan kamu melayani kami di sini," bentak bu rahma. "oh, tentu saja nggak wajar, bu. memangnya anak ibu sendiri sudah memperlakukanku secara wajar? sedangkan nafkah untukku dan indah saja bang arman masih pelit dan perhitungan padaku." nia terus membalas makian arman dan bu rahma. arman semakin tercenung bingung. kesambet se-tan apa dia? atau jangan-jangan orang tuanya di kampung sudah menghasut nia? "sudah 'lah, nia. nggak usah banyak bicara deh. aku akan memaafkan kamu, asal kamu segera pulang ke sini. atau nggak-- " "atau apa?" potong nia. "atau kamu akan menceraikan aku 'kan? begitu?" seketika arman seperti patah langkah. nia sudah bisa menebak ancamannya. "ya-ya, tentu saja. kalau kamu nggak menurutiku, kali ini aku akan menceraikanmu dan jangan mimpi aku akan mengeluarkan sepeser pun untuk menafkahi indah," lanjut arman lagi. di seberang telepon, sejenak nia terdiam. "bagaimana, nia? cepat putuskan sekarang juga! aku nggak punya waktu banyak!" ❣ ❣
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN