Part : 12
"Hayo, pada penasaran ya?" goda MC lelaki itu, disambut dengan tawa riuh para undangan. "Pewaris tunggal dari PT. Surya Pradana Grup adalah cucu dari almarhum Bapak Prapto dan Ibu Saraswati, yang selama ini tinggal di Lembang, Bandung, mengurus kebun teh dan sawah di sana. Dia adalah ...."
Lampu ballroom dimatikan. Lantas lampu sorot yang berputar berkeliling, seakan mencari sasaran. Genderang drum dari band ibu kota yang terkenal semakin menambah tegang suasana.
"Baik 'lah para hadirin, mari kita sambut, bos baru kita di PT. Surya Pradana Grup untuk naik ke atas pentas. Dipersilakan Ibu Dewi Kania Suryoprawiro untuk maju."
Lampu sorot pun berhenti ke arahku. Ratusan pasang mata ikut mengarah padaku. Tak terkecuali keluarga matre dan pongah yang berdiri di depan kami.
"Mari Bu Kania, silakan maju ke depan."
"A-apa? Ka-kania bos Surya Pradana?" pekik Bu Rahma. Matanya membelalak dan mulut menganga lebar. "Nggak, nggak mungkin! Ini mimpi 'kan?"
Tak ada yang menjawab. Ketiga anaknya berdiri mematung menatapku. Antara tatapan bingung, heran atau tak percaya.
Wanita bertahi lalat di atas bibirnya itu mendadak lemas. Tubuhnya nyaris luruh jatuh ke lantai. Beruntung ketiga anaknya dan Pak Wahyu cepat menangkap tubuh yang cukup tambun itu.
"Ibu, Ibu, kenapa?" pekik mereka panik.
"Ibu pusing, kaki ibu lemas." Seusai berucap, Bu Rahma tak sadarkan diri.
"Ya Allah, Arman, bawa Ibu ke sana!" titah kakaknya. "Ella kamu ambilkan air mineral untuk Ibu ya."
"Nak Abi temani Nia ya," bisik Bapak pada Mas Abimanyu. Tak dipedulikannya mantan besan yang sudah tak sadarkan diri.
"Baik, Pakde."
Mas Abi menggandeng tanganku untuk maju ke pentas. Gemuruh tepuk tangan mengiringi langkah elegan kami sampai ke pentas.
"Silakan, Bu." Pembawa acara pria itu bergeser memberi tempat.
Kubenahi letak mikropon agar nyaman untuk kugunakan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Aku mengucap salam.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Seisi ballroom hotel menjawab serempak.
"Selamat malam semuanya."
"Selamat malam, Bu."
Kutarik napas panjang sebelum berbicara. Maklum saja, selama ini aku hanya 'lah gadis desa yang terbiasa memetik daun teh.
"Perkenalkan, nama saya Dewi Kania Suryoprawiro, anak dari Bapak Danu Suryoprawiro dan Ibu Susanti. Sedari kecil, saya tinggal bersama eyang di Jogja. Kemudian sekitar usia tujuh tahun, aku dibawa Bapak pindah ke Lembang, Bandung, karena Eyang Prapto memberikan satu hektar sawah dan dua hektar kebun teh kepada Bapak. Bahkan juga peternakan sapi dan kambing. Karena kata Bapak, waktu itu Eyang sudah mulai sakit-sakitan."
Masih sempat kulihat Bu Rahma dan anak-anaknya menatap tanpa kedip. Termasuk Bang Arman.
Cahaya flash dari kamera dan ponsel mulai ke arahku. Kata Mas Abi, dia juga mengundang wartawan media cetak dan online.
"Lalu, menurut info yang saya dapat, Ibu dan keluarga selama ini selalu berpenampilan sederhana. Kenapa begitu, Mbak? Untuk apa berpura-pura miskin?" tanya salah satu wartawan wanita.
"Biar bapak yang jawab," bisik Bapak.
Aku lantas segera bergeser untukk memberi tempat untuk bapak.
"Begini, teman-teman. Kami bukan berpura-pura miskin. Sejak kecil saya dan adik saya selalu diajarkan untuk hidup sederhana meski pun kami memiliki segalanya. Begitu pun yang saya turunkan ke anak saya. Biar pun sebagai anak pemilik kebun teh, dia tetap harus turun untuk ikut bekerja," papar Bapak. "Lagi pula, kami selalu menutupi jati diri kami, agar kami mudah mengetahui mana orang-orang yang benar-benar tulus, dengan yang hanya mengincar harta saja. Dan itu terbukti. Kami bisa mengetahui orang-orang yang menghina kami karena mengira kami orang miskin."
Wajah Bang Arman dan keluarganya seketika pias. Terutama Bu Rahma. Tadi saja masih sempat-sempatnya dia menghinaku.
"Mbak Dewi Kania, tolong jelaskan tentang diri anda. Seperti suami dan sudah 'kah memiliki anak?" tanya seorang wartawan pria.
Aku berjalan kembali ke depan mikropon.
"Saya memiliki seorang anak perempuan. Usianya empat tahun. Ini anaknya." Aku menarik tangan Indah lembut. "Namanya Indah Indriasari."
"Lalu sekarang suami mbak mana?"
Kulemparkan tatapan ke arah Bang Arman yang berdiri melipat tangan.
"Saya dan suami sudah bercerai."
"Sudah lama, Mbak?"
"Baru kemarin ketuk palu."
"Boleh tahu alasannya?"
"Bapak merahasiakan siapa kami yang sebenarnya. Mereka mengira saya ini hanyalah pemetik teh biasapmo sama seperti yang lainnya. Dan mereka juga mengira Bapak dan Ibu cuma petani upahan. Selama ini mereka nggak tahu atau lebih tepatnya mereka nggak mau tahu dengan keluarga saya. Jadi, yah, begitulah. Mereka nggak henti menghina, bahkan saya nggak diizinkan untuk pulang ke rumah orang tua saya. Saat bapak dan ibu mau bertemu saya, mereka pun takk pernah mengizinkan," tuturkup panjang lebar. "Bahkan suamiku selalu tunduk pada perintah ibunya yang selalu ikut campur dengan rumah tangga kami.
"Astaga. Jahat banget sih, Mbak," celetuk salah seorang wartawan perempuan.
"Iya, benar. Cocok banget laki-laki begitu ditinggal, Mbak," sambung yang lainnya.
Dari atas pentas, aku bisa melihat Bu Rahma, Ima dan Ella bergerak gelisah. Pasti mereka merasa tersindir dengan penuturanku barusan, ditambah dengan celotehan para wartawan.
"Oke, wawancaranya sudah dulu ya. Kita fokus saja ke acara launching malam ini. Dan di sebelah sana sudah disiapkan makan malam prasmanan. Setelah fashion show, anda bisa langsung menikmati ya." Mas Abi mengalihkan agar para wartawan tidak terlalu banyak bertanya.
Akhirnya, kami turun dari pentas dan segera duduk di kursi yang sudah disediakan, untuk menyaksikan acara fashion show. Para model berjalan berlenggak lenggok memperagakan batik keluaran terbaru dari toko kami.
Panggung untuk fashion show didesain di tengah dan para undangan duduk mengelilingi.
Aku merasa ada sepasang mata yang tengah menatap tajam. Dan benar saja, Bang Arman duduk tepat berseberangan denganku. Bu Rahma sudah kelihatan lebih baik. Ia duduk diapit Ima dan Ella, sedangkan Pak Wahyu duduk di sisi kirinya.
"Sepertinya mantan suamimu sedang memperhatikan kamu tuh, Kania," ujar Mas Abi.
"Ah, biarkan saja, Mas. Nggak usah diacuhkan," ucapku sambil berdiri. "Aku ke toilet dulu ya."
Aku berjalan menuju toilet yang terletak di sudut belakang ballroom. Toilet ballroom ini sangat bersih dan harum. Sesuai dengan kelas hotel yang termasuk hotel ternama di kota ini.
Selesai buang air, kubasuh tangan di wastafel. Bayangan wajah di cermin itu memang sangat berbeda. Biasanya pantulan bayangan wanita di cermin itu mengenakan kaos dan celana jeans juga topi caping di kepala. Tidak ada waktu untuk merias wajah. Aku pun tidak pandai dan tak biasa.
Kutarik tisu toilet di dinding. Sambil berjalan, kukeringkan tangan kemudian membuangnya di tempat sampah di sisi pintu.
Deg.
Bang Arman sudah berdiri di depan pintu.
"Ngapain kamu di sini, Bang?"
"Aku nungguin kamu, Dek."
Aku tertawa sinis. "Ngapain nungguin aku? Nggak ada kerjaan kamu." Aku berusaha untuk melewatinya, hanya saja ia seperti sengaja menghadang dengan berdiri di depan pintu. Sehingga menyulitkan untukku melangkah.
"Minggir, Bang. Aku mau lewat."
"Tunggu dulu, Dek. Abang mau bicara."
"Apa lagi yang kamu mau bicarakan sih, Bang?"
"Kenapa kamu bohongi abang, Dek?"
Dahiku berkerut. "Bohong? Bohong apa?"
"Kenapa kamu nggak pernah jujur kalau kamu itu sebenarnya kaya?"
Mendengar pertanyaan lelaki di depanku ini, aku hanya bisa mendengus.
"Supaya apa mengaku kaya pada kamu dan keluargamu yang matre itu, huh?"
"Tapi, setidaknya kamu dan keluarga kamu nggak berhak membohongi kami."
Kami bertemu pandang. Kilatan mata itu seperti menyimpan rasa marah atau kecewa. Entahlah!
"Sebenarnya kami nggak mau membohongi kalian. Kamu nggak ingat, Bang, ketika awal kamu datang ke rumah dengan keluargamu, ibumu bilang apa?"
Bang Arman tertunduk diam.
"Ingat 'kan, Bang? Dan kami dengar apa yang ibumu katakan. Itu alasan yang membuat kami untuk berpura-pura miskin. Dan terbukti, kalian menghina kami habis-habisan."
Lelaki berkulit putih itu tidak mampu menjawab.
"Sudahlah, Bang. Aku nggak ada waktu membahas ini. Awas, aku mau lewat!" Kutabrakkan bahu ke dadanya, kemudian berlalu pergi meninggalkan Bang Arman.
Aku cepat berjalan untuk bergabung bersama Bapak, Ibu dan Mas Abimanyu. Kebetulan aku melintasi tempat Bu Rahma dan anak-anaknya duduk. Wanita itu cepat menundukkan pandangannya begitu bertemu pandangan denganku.
Ternyata sejauh ini harta dan kekayaan yang masih memegang peranan penting, agar manusia bisa dihargai.
"Nduk, besok uang hasil penjualan kebun sawit kita akan ditransfer oleh pembelinya," tukas Bapak. "Setelah itu, kita akan mengatur waktu untuk segera membeli kebun teh mantan mertuamu yang sombong itu."
"Baik, Pak. Aku sudah nggak sabar melihat ibunya Bang Arman pingsan lagi."
"Nanti belum lagi kalau kita menagih utang toko mereka, Pakde," timpal Mas Abimanyu. "Jangan-jangan, mereka bisa langsung kena serangan jantung. Hahaha ...."
❣ Bersambung ❣