DUA PULUH ENAM

1379 Kata
Tepat pukul empat sore Tira sudah siap untuk berangkat ke pernikahan sahabat Hendra. Ia memutuskan untuk mengenakan jumpsuit berwarna silver dengan bahan satin dan detail ponco brokat. Tira terlihat santai namun tetap anggun dengan penampilan tersebut. Seperti Athena, Tira juga merupakan tipe perempuan yang bisa menyesuaikan penampilan. Tira memilih mengenakan jumpsuit karena tahu akan berangkat menggunakan sepeda motor. Terbayang kan seperti apa ribetnya jika naik sepeda motor mengenakan dress? Sebenarnya Tira sudah menawarkan untuk menggunakan mobilnya saja, namun Hendra menolak, dan Tira menghargai itu. Hendra memang belum memiliki mobil pribadi. Lelaki itu memilih untuk membeli rumah terlebih dahulu, sebab bagaimanapun juga tempat tinggal merupakan kebutuhan primer, sedangkan mobil merupakan kebutuhan tersier. Hendra bukan berasal dari keluarga berada. Bahkan hingga saat ini ia masih menyisihkan gajinya untuk biaya pendidikan sang adik. Itulah mengapa Hendra lebih mementingkan kebutuhan dibanding keinginan. Banyak orang berkata bahwa biaya hidup sekarang sangatlah mahal, padahal bukan biaya hidup yang mahal, tapi gengsinya. Saat ini banyak sekali pegawai dengan gaji UMR yang setiap hari selalu menium kopi ternama berlogo hijau hanya untuk pamer. Padahal itu bukan kebutuhan namun gaya hidup. Dalam kasus lain, sebagian orang selalu membeli gawai keluaran terbaru karena tak mau kalah saing dengan yang lain. Padahal semua kebutuhan sudah bisa dipenuhi oleh gawai lama. Tak heran jika Indonesia dijadikan sasaran empuk bagi beberapa negara produsen karena perilaku masyarakatnya sangat konsumtif. Tira dan Hendra akhirnya sampai di wedding vanue dengan konsep garden party. Tak seperti pesta pernikahan pada umumnya, konsep garden party atau pesta kebun dilaksanakan di luar ruangan. Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari konsep garden party sendiri, salah satu kekurangan yang paling mencolok adalah si yang empunya acara harus memastikan bahwa pada hari pelaksanaan tidak akan turun hujan, sebab jika itu terjadi, acara benar-benar gagal total. “Mbak entar kalau nikah mau pakai konsep apa?” tanya Hendra sambil melihat sekeliling. “Belum kepikiran ke situ.” Jawab Tira asal. Hendra hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Tira. Ia pun langsung mengajak Tira untuk bersalaman dengan sahabatnya yang menjadi pengantin hari ini. “Echa, selamat, akhirnya nikah juga lo.” Sapa Hendra saat sedang bersalaman dengan sahabatnya, Echa. “Thankyou, lo kapan nyusul?...” Kalimat Echa terhenti saat ia menyadari bahwa Hendra datang dengan Tira, “Eh……” mata Echa melirik ke arah Tira kemudian kembali lagi ke Hendra. Hendra seolah memberi kode “Diam!” kepada Echa. Echa pun hanya tersenyum penuh makna. “Hallo, selamat ya atas pernikahannya. Saya Tira, temannya Hendra.” “Hallo mbak, terima kasih ya. Hendra sering cerita lho tentang mbak.” “Eh?” Tira sedikit bingung. Hendra langsung mengalihkan pembicaraan antara Tira dan Echa, “Udah yuk mbak, masih banyak yang mau salaman sama pengantin baru.” Mereka berdua lantas menuju pondokan untuk mengambil zuppa soup dan duduk di kursi tamu. Sejujurnya Tira suka sekali dengan konsep pernikahan yang seperti ini, ia pun tertarik dan sedikit bertanya-tanya tentang Echa kepada Hendra. “Lo udah lama sahabatan sama Echa?” “Udah, Mbak. Saya sahabatan sama dia dari SMA. Udah tau banget baik buruknya dia, pun sebaliknya. Kebetulan Echa juga seorang psikolog professional, jadi saya sering banget curhat dan konsultasi sama dia.” “Oh, dia psikolog?.....” Kalimat Tira menggantung, seolah ia teringat akan sesuatu. “Iya, sudah banyak selebriti papan atas yang konsultasi sama dia, cuma ya Echa gak pernah kasih tau identitasnya sih.” “Oh…..” Tira hanya mengangguk, namun siapapun tahu bahwa ia sedang memikirkan hal lain. “Kenapa? Mbak mau konsultasi juga?” “Saya? Hahahahaha enggak lah, hidup saya udah bahagia kok. Gak ada yang perlu dicemasin.” Saat sedang asik berbincang, beberapa teman SMA Hendra menghampiri mereka berdua. Tira dengan mudah berbaur walau usia mereka lebih muda darinya. Menjadi wanita karier membuat Tira sudah terbiasa bertemu dengan berbagai jenis orang, dari yang tua hingga yang muda, dari yang kalem hingga ceriwis, semuanya sudah pernah Tira hadapi. Itu lah mengapa Tira sangat mencintai pekerjaannya. Ia suka menjadi wanita karier. Bahkan jika suatu saat ia ditakdirkan untuk menikah, Tira tak ingin berhenti menjadi wanita karier, ia akan tetap bekerja. Namun bukan berarti menjadi Ibu Rumah Tangga adalah hal yang buruk. Bagi Tira, baik menjadi Ibu Rumah Tangga ataupun wanita karier, keduanya sama-sama mulia, keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Intinya adalah setiap perempuan berhak untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya. Jangan sampai pernikahan justru menjadi “tembok” yang menghalangi perempuan untuk terus berkembang, apalagi sampai merenggut mimpi dan cita-citanya. ****** Hari ini jam pelajaran Ekonomi terpaksa harus kosong karena sang Guru harus mendampingi murid yang sedang mengikuti cerdas cermat tingkat provinsi. Ya, setiap tahunnya SMA Pelita Bangsa memang selalu mengikutsertakan murid-murid berprestasi dalam perlombaan, baik dalam bidang akademis maupun non akademis. Sehingga para murid di kelas XII IPS 1 hanya diberi tugas untuk mengerjakan Lembar Kerja Siswa (LKS). Seperti anak IPS pada umumnya, jam kosong adalah pelajaran terbaik di sekolah. Semua murid bekerja sama untuk mengerjakan LKS agar cepat selesai. Anak IPS mencerminkan sikap bangsa Indonesia sekali, bukan? Ya, bergotong royong. Selesai mengerjakan tugas, anak-anak sudah asik dengan kegiatan yang lain. Ada yang mendengarkan lagu, bernyanyi dan bermain gitar, atau sekedar scrolling timeline i********: seperti Dean. Athena tak sengaja melihat layar ponsel Dean saat ia sedang memberi like pada postingan seseorang, “Eh, itu siapa De?” “Sarah, anak IPA. Kenapa? Lo kenal?” Athena menggeleng, “Enggak sih, tapi gue kayak tahu itu punggung siapa deh.” Dean mendekatkan ponselnya kepada Athena, “Siapa? Hebat banget lo bisa nebak orang cuma dari punggungnya.” “Kayak…Archen.” “Oh, iya, mereka emang sekelas. Widih, segitu naksirnya ya lo sama Archen sampai tahu bentuk punggungnya. Eh, tapi gue penasaran deh, kok bisa ya mereka foto berdua. Kalau denger dari cerita lo kan katanya Archen anti banget tuh jalan berdua bareng cewek.” Athena hanya mengendikkan bahu, karena sejujurnya ia pun tidak tahu dan ingin tahu kenapa mereka bisa jalan berdua, “Lo kenal Sarah darimana, btw? Kok bisa saling follow-followan di i********:?” “Gue sekelompok sama Sarah waktu ospek, ya sekedar kenal doang sih gak dekat. Apalagi kita gak pernah sekelas kan. Jadi ya gitu deh, paling cuma sekedar say hi doang kalau ketemu. Tapi kalau mereka sampai jalan bareng gini, berarti mereka deket dong, Na?” Athena hanya diam, sibuk dengan sejuta pertanyaan yang terlintas di benaknya. Dean langsung menyadari ada yang tak beres dengan Athena. “Na, jangan bilang lo cemburu?” “Emang gak boleh ya kalau gue cemburu?” “Gimana ya, Na, gue mau jelasin tapi gak enak sama lo…” “Ihhhh, jelasin aja. Gue kan gak pengalaman sama hal-hal kayak gini.” “Sejujurnya lo gak berhak sih buat cemburu, karena toh secara status lo kan cuma temannya Archen, bukan pacar. Jadi gak ada hal yang bisa melegalkan lo untuk cemburu. Ibaratnya nih selagi kalian gak berkomitmen, ya Archen bebas dekat dengan cewek manapun, begitu juga dengan lo.” “Berarti status ‘pacaran’ itu penting banget ya, De?” “Buat gue sih penting banget.” “Tapi gue percaya Archen kok.” “Tapi jujur deh, lo juga butuh kejelasan, kan? Gue sendiri pun bertanya-tanya hubungan kalian tuh apa sih. Udah pergi ke luar kota, beberapa kali pulang bareng, bahkan lo udah dikenalin ke tantenya, dan Archen pun udah lo kenalin ke orangtua lo.” Perkataan Dean seperti panah yang langsung menancap di hati Athena. Ia langsung tersadar kalau selama ini hubungannya dengan Archen sangat menggantung. Namun Athena merasa bahwa masih banyak hal yang tidak ia ketahui tentang Archen. Athena belum cukup “mengenal” Archen. Tanpa disadari Kheanu tiba-tiba saja sudah muncul di samping Dean, menghentikan pembicaraan yang cukup serius itu. “Lagi ngomongin Ujian Nasional ya kalian? Serius amat.” “IH! HOBI BANGET SIH MUNCUL TIBA-TIBA, KAYAK HANTU TAU GAK!” Dean sangat terkejut dengan kedatangan Kheanu yang tiba-tiba. “Apaan sih lo lebay banget, masih muda udah jantungan.” Kheanu kini beralih ke Athena, “Na, bisa gak kalau khusus minggu ini les private nya diganti hari ini aja? Soalnya Jumat nanti gue ada acara.” “Acara apa?” Tanya Athena. “Temen tongkrongan gue ulang tahun, Na, hehehehe. Gak enak kalau gak ikut rayain.” Begitulah Kheanu, selalu setia kawan. “Hari ini ya???” Athena berpikir sejenak, “Oke, hari ini gue gak ada acara apa-apa kok. Mau belajar dimana?” “Di rumah gue aja gimana?” Dean langsung menyambar secepat kilat, “HEH! JANGAN MACEM-MACEM YA LU!” “Ya ampu, De, De, jangan negatif thinking mulu napa sama gue. Hari ini di rumah gue ada nyokap dan adek gue kok. Lagian kita juga belajarnya di ruang tamu, bukan di kamar.” Dean melotot ketika mendengar Kheanu menyebut kata ‘kamar.’ “Gimana, mau gak, Na?” “Boleh…” Dean langsung melihat ke arah Athena. “Tenang, gue pernah ikut karate kok waktu SD, jadi kalau ni orang macem-macem biar gue keluarin jurus seribu bayangan.” Lanjut Athena. Sudah jelas apa yang terjadi selanjutnya, ya, Kheanu tersenyum penuh kemenangan di hadapan Dean. Dan Athena hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN