Sesampainya di dalam kelas aku hanya bisa diam. Menunggu dosen yang tak kunjung datang. Aku mengeluarkan ponselku lalu mulai mengecek semua akun jejaring sosial yang kupunya. Banyak sekali notif di sana, jadi kusempatkan membalas mereka satu persatu untuk mengisi rasa suntukku.
"Hei, pengumuman! Dosennya nggak masuk lagi hari ini. Katanya kita disuruh ngerjain latihan dari bab satu sampe bab tiga. Dikumpulin minggu depan." teriak Donny, di depan kelas.
Semua orang berseru senang. Eh, tidak. Tidak semua orang hanya sebagian orang. Dan salah satunya itu aku. Moodku tambah buruk kali ini. Kalian bayangkan saja. Ah, rasanya aku malas membahas semua kesialanku di hari ini. semuanya begitu absurd dan tidak layak untuk kugerutui.
"Gua udah jauh-jauh dateng trus dosennya kaga ada yang masuk. Parah lu!" teriak Vira. Lengkap dengan suaranya yang begitu memiliki aksen Betawinya yang khas.
"Lha? Kok gue? Ngomong sana ama dosennya. Hahahaha emang enak." kata Donny, sambil tertawa senang.
"Ah, kutukupret! Udah, lo ikut gue aja vir yuk kantin!" kataku.
"Elu bukannya barusan udah makan yak?" tanyanya. Heran.
"Emang ada larangan kalo gue nggak boleh makan lagi?" tanyaku dengan tatapan sinis.
"Ya kaga ada si, yaudah dah gua ikut sama elu." katanya.
"Gue ikut!" teriak Lissa dan Mira barengan.
Kami menuju kantin kampus. Kampusku bukanlah kampus yang sangat elit seperti kampus-kampus swasta di luaran sana. Tapi kampusku juga tidak kampungan. Hm, bagaimana aku menjelaskannya ya? Intinya kampus ini kampus menengah ke atas. Eh, elit juga berarti ya?
"Gokana yuk, Guys!" kata Mira.
"Yuk!" Vira menyauti. Dilanjutkan Lissa. Dan aku hanya mengangguk.
Sesampainya di koridor kampus aku melihat seseorang yang berhasil membuatku menghantikan langkahku.
"Eh, Za, Ayo!" kata Lissa. Dia menarikku.
Aku mengucek mataku, memperbaiki penglihatanku, sepertinya aku melihat sosoknya tadi namun ternyata tidak ada siapapun. Aku memang payah. Kenapa akhir-akhir ini aku selalu membayangkan dia hadir lagi. lagian kalau dia benaran hadir lagi, mampukah aku untuk menerimanya?
Aku buru-buru mengalihkan pandanganku. Tak ada gunanya memikirkan apa yang memang seharusnya tidak boleh kupikirkan.
Setelah memesan makanan, aku mengambil ponselku. Mengirim pesan lewat Line kepada Aris untuk datang. Siapa tahu dia bisa menghilangkan rasa badmood-ku. Tak lama kemudian makanan yang kupesan datang seiring Aris yang juga datang bersebelahan dengan pramusaji yang membawa pesanan kami. Sontak teman-temanku tertawa melihat keadaan Aris yang benar-benar patut ditertawakan (menurut mereka). Tapi menurutku yang masih badmood ya nggak ada lucu-lucunya. Malah kesal karena dia baru datang.
"Hai, Beibs, maaf gue telat. Eh lo kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?" tanya Aris. Langsung duduk di sampingku.
"Yelah Aris, kalo udah ketemu Za, kitamah jadi nyamuk dah betiga." celetuk Vira.
"Hahaha. Hai, Guys!" seru Aris.
Lalu Vira, Lissa dan Mira kembali mengobrol. Sedangkan Aris kini menatapku penuh tanda tanya. Dia memandangku dari jarak yang amat dekat. Sengaja tuk menggodaku. Aku hanya bisa mendorongnya. Mood-ku masih buruk tak mau melayani candaannya.
"Kamu kenapa sih, Sayang?" tanyanya lagi. Nahkan. Kalau udah pake aku-kamu repot deh.
Aku tidak mungkin menceritakan masalah Ical. Itu tak ada gunanya. Bahkan kalau aku tetap nekat mengatakannya aku yakin itu hanya akan menjadi bumerang untuk hubungan kami. Lagian aku malas menceritakannya. Untuk apa?
"Dosen gue dua-duanya nggak masuk coba, bayangin gue udah capek-capek ngebut sama lo sampe rambut gue berantakan, ampe elo dikejar satpam tapi ternyata dosennya nggak dateng dua-duanya. Kan parah. Kesel tau nggak!" seruku. Lalu meniup poni di depan wajahku.
"Oh, hahaha gue kira lo kenapa. Udahlah, Beibs ngapain sih mikirin masa lalu? Liatnya yang pasti-pasti aja." kata Aris. Menaik turunkan alis.
Aku terdiam. Kata-kata Aris seperti menusukku. Pelan namun dalam. Tak sengaja tapi aku malah merasa. Aduh apa yang terjadi kepadaku?
"Udah dong, jangan cemberut mulu.." kata Aris sambil mencolek-colek daguku.
"Mending lo mesen deh daripada godain gue mulu." perintahku padanya.
"Siap, Tuan Putri!"
Siap tuan putri! Siap tuan putri! Siap tuan putri! Siap tuan putri! Siap tuan putri! Siap tuan putri! Siap tuan putri! –kata-kata itu begitu familier ditelingaku.
***
"Za! Sini!" teriak Ical di pojok kantin. Di samping kanan dan kirinya masih ada teman-temannya yang masih menggunakan seragam basket sama sepertinya.
O, iya, apa aku sudah cerita kalau kami berbeda kelas? Aku akan menjelaskannya. Dulu awal masuk ke sekolah ini. Kami memang sudah di pisah. Ada pemerataan anak murid agar di dalam kelas tidak ada yang satu SD karena ditakutkan mereka yang satu SD akan membuat geng dan tidak bisa akrab dengan orang luar. Karena kelas kami memiliki 8 kelas untuk kelas 7-nya. Dan ada 7 teman SD-ku yang memilih bersekolah di SMP ini, jadi kami semua terpisah.
Waktu itu Ical sangat kesal, aku juga namun Ical yang lebih menunjukkan kekesalannya. Dia bahkan berani mendatangi Kepala Sekolah. Kau tahu? Di sekolah kami ruang kepala sekolah adalah ruang paling menakutkan melebihi ruang BK. Tapi tak ada perubahan. Kepala sekolah tidak mau mengubah keputusannya hanya karena Ical. Kami sama-sama sedih.
Awalnya aku yang terus-terus menasihati Ical. Selalu menghiburnya dengan bilang 'kitakan masih bisa sering ketemu.' Tapi itu semua tak bertahan lama, beberapa hari kemudian akulah yang mengeluh. Aku kesepian dan bilang kalau aku tidak mau pisah dengan Ical. Aku tak bisa bergaul dengan teman sekelasku. Jadi, hari itu juga Ical menarikku tuk kembali ke kelasku. Dan mengenalkan aku pada seorang siswi yang setelahnya duduk bersamaku dan menjadi teman dekatku di kelas. Itulah ical.
Itulah ical. Icalku yang selalu menjadikanku prioritas utama. Dia selalu tau cara membuatku bahagia. Tapi dia juga mahir membuatku mengeluarkan air mata. Rasanya sejak saat itu aku memang sudah tak bisa jauh dari Ical. Dimanapun aku berada yang Ical selalu ada untukku walau hanya bayangannya difikiranku.
Aku mendekati Ical.
"Do, pindah lu sono!" teriak Ical, tak berperasaan pada temannya yang kutau bernama Edo.
Aku hanya bisa tertawa melihat Edo yang sedang enak-enaknya makan disuruh pindah tapi mau bagaimana lagi? Akukan emang nggak mau deket-deket cowok lain selain Ical. Emang nggak bisa akrab dan sedikit saat di dekat mereka.
"Ah, ganggu gua ae lu, lagian gua heran sama lu bedua. Masih betah aja temenan. Nggak langsung jadian aja gitu." kata Edo.
"Diem lu! Ngomong sekali lagi gua pites lu!" kata Ical.
"Dih? Galak? Za, laki lo tuh!" teriaknya padanya. Aku hanya bisa tertawa.
"Kamu mau makan apa, Za?" tanya Ical.
"Mau nasi goreng." kataku.
"Eh, Do, Gas, Bas jagain temen gua. Awas aja kalo dia kenapa-napa." Kata Ical mengancam teman-temannya.
Icalpun membalik badannya. Tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Cal!" panggilku.
Ical menoleh.
"Nggak mau pake telor." kataku.
"Siap, Tuan Putri!" katanya sambil bergaya hormat bak tentara-tentara yang ada di televisi.
Aku hanya bisa tertawa melihat sikapnya. Yang acuh tak acuh memanggilku tuan putri di hadapan semua orang. Dan anehnya aku bahagia. Ntah, untuk alasan apa.
***
"Za?" Aris melambai-lambaikan tangannya di hadapanku.
"Eh? Kenapa Ris?" tanyaku bingung sendiri.
"Lo kenapa si kok ngelamun gitu?" tanyanya.
"Nggak tau nih, Ris, kepala gue tiba-tiba sakit." kataku. Aku tidak berbohong. Memang kenyataannya begitu.
Aris mengecek keadaanku dengan cara menempelkan punggung tangannya di atas keningku. "Badan lo panas banget Za, ayo gue anter pulang." katanya berseru panik.
"Udah lo makan aja dulu." Kataku.
"Apaan si Za, gue udah kenyang. Ayo kita pulang. Eh, Vir, Mir, Lis kita cabut duluan, Nih buat bayar. Punya gue makan aja." kata Aris.
Dan kamipun menuju parkiran.
"Kita nggak bisa pulang naik motor Za, muka lo pucet banget." kata Aris.
"Sebentar." kata Aris. Langsung lari menghampiri temannya. Sementara aku duduk sambil memegang keningku. Pusing sekali.
Tapi mataku lagi-lagi melihat seseorang yang sangat mirip dengan Ical. Ah, mungkin ini karena efek kepalaku saja. Dan ada apa denganku? Kenapa aku tidak punya perasaan begini? Aku membayangkan laki-laki yang telah meninggalkanku disaat kekasihku dengan khawatirnya mencari kendaraan agar kami bisa pulang dengan kendaraan yang nyaman.
Tak lama kemudian Aris kembali. Dia membantuku berjalan ke atas sebuah mobil sedan berwarna hitam pekat. Tanpa mengatakan apapun lagi Aris langsung mengantarkanku pulang. Maafkan aku Aris.