Lolita lalu masuk ke dalam ruangannya dan mengganti pakaiannya yang sudah basah kuyup, ia juga tak lupa untuk menelpon supir di rumahnya agar mengambil mobil yang ia tinggalkan di jalanan, ia terpaksa meninggalkan mobilnya demi karirnya.
Lolita melihat jam yang melilit di tangannya dan sudah menghabiskan waktu 25 menit itu artinya 5 menit lagi ia akan keluar dari tim bedah yang di bimbing langsung oleh dokter senior yaitu Dokter Diandra jika tidak sampai ke hadapan dokter senior itu. Sungguh malang sekali nasibnya, sehingga harus melakukan cara apa pun agar sampai di rumah sakit, meski meminta tolong kepada orang lain.
Setelah berpakaian rapi, Lolita lalu masuk kedalam ruangan Diandra dan melihat Diandra sedang duduk bersantai, Lolita menggelengkan kepala melihat pembimbingnya ini hanya duduk bersantai sedangkan Lolita harus berjuang melewati derasnya hujan karena satu ancaman dari wanita tersebut.
"Aku sampai harus basah kuyup dan gelisah, dia malah asyik-asyikan nyantai, aku tidak terima seperti ini, jika dia bukan pembimbingku, aku pasti akan mempermasalahkannya." Lolita bergumam, namun tidak di dengar Diandra.
"Hampir saja kamu saya keluarkan dari tim saya, kerja yang bagus karena kamu sampai di sini tepat waktu," kata Diandra dengan tatapan yang mengintimidasinya. Diandra memang wanita yang tegas.
"Maaf, Dok, di jalan sangat macet," kata Lolita berusaha meredam emosinya karena butuh perjuangan ia bisa sampai di rumah sakit tepat waktu dan Diandra memilih tak mau tahu perjuangannya.
Diandra lalu melemparkan riwayat medis ke hadapan Lolita, melihat perlakuan Diandra ia sudah begitu biasa, karena setiap hari harus melihat perawan tua itu marah-marah atau mengamuk.
"Periksa pasien itu, bagaimana kondisinya laporkan ke saya, jika kamu menemukan sesuatu yang ganjal kamu harus langsung mengoperasinya dan saya tidak butuh alasanmu, menjadi seorang dokter itu tak mudah seperti menjadi seorang selebriti, seorang dokter jika telat sedikit saja nyawa pasien terancam, apa kamu memahami itu?" tanya Diandra dengan nada yang agak meninggi. Sungguh Lolita sudah biasa meski ia sering kali hampir melawan perkataan Diandra.
"Saya paham, Dok.”
“Kalau begitu, kamu bisa pergi dan jangan kembali jika kamu tidak mendiagnosa pasien itu, serahkan ke saya jika kamu sudah memeriksanya,”
“Baik, Dok. Saya permisi," kata Lolita sembari membawa riwayat medis pasien di tangannya keluar dari ruangan sang pembimbing.
Ketika hendak masuk ke dalam ruangan di mana pasien yang harus ia tangani, dokter Richard menahannya dengan menarik lengan Lolita.
"Ada apa, Dok?" tanya Lolita keheranan karena melihat Richard begitu menatapnya penuh kagum.
"Apa Dokter Lolita punya waktu malam ini?" Richard seperti akan kehilangan nafas ketika menanyakan hal itu kepada Lolita. Karena ia merasa gugup jika harus bertatap muka dengan Lolita yang di anggapnya terlalu sempurna.
"Saya tidak punya waktu, Dok, karena saya dines malam hari ini, permisi," kata Lolita sembari melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan pasien. Richard memukul kepalanya pelan karena tidak juga berhasil mengajak Lolita untuk keluar.
Richard terlalu terobsesi kepada Lolita, sehingga sering kali ia berbuat jahat demi mendapatkan perhatian wanita cantik itu. Sering kali, Lolita membuatnya tidak fokus bekerja. Sebenarnya yang di miliki Richard bukan cinta, namun obsesi.
Rasa cinta yang terlalu berlebihan adalah sesuatu yang berbahaya. Ia rentan bikin seseorang jadi terobsesi. Memang sih, cinta mengandung sekian persen obsesi. Tapi kalau kadarnya terlalu banyak, Richard tidak akan mendapatkan kehidupan cinta yang seimbang dan sehat.
Lolita melihat pasien yang selalu meremas perutnya, karena kesakitan, Lolita lalu menghampirinya bersama suster Ana, yang sudah di tunjuk menjadi asistennya. Lolita berusaha memberikan suntikan, agar sakit perut Ibu itu menghilang.
"Ibu sering merasa sakit di mana?" tanya Lolita sembari memperbaiki posisi kacamatanya yang agak menurun dari posisi seharusnya. Ibu itu kembali tenang ketika obatnya masuk ke dalam tubuhnya.
Karena pasien merasakan kesakitan yang luar biasa dan tak bisa menjawab pertanyaannya, Lolita lalu mananyakan hal yang sama kepada wali pasien.
"Apa Nyonya Rohanawati ini istri, Bapak?" tanya Lolita sembari melihat riwayat medis pasien.
"Iya, Dok, saya suaminya, sudah beberapa hari ini istri saya sering sakit di perut kanan bawah dok, jika sakitnya datang kadang napasnya seakan terkunci," jawab wali pasien dengan sesekali melap wajah istrinya yang keringatan karena menahan sakit.
"Biar saya periksa dulu ya, Bu," kata Lolita hendak menaikkan baju pasien tapi suster Ana mengambil tugas itu, menjadi dokter memang tidak muda.
Lolita lalu menekan perut kanan bawah pasien dan pasien merintih kesakitan, ia lalu memukul-mukul perut pasien lembut dan juga merintih kesakitan, ia lalu menekan perut kiri bawah tapi pasien biasa saja dan tak merasakan sakit, yang pasien rasakan hanya sakit yang luar biasa di perut kanan bawahnya. Sejenak Lolita berpikir sejenak.
“Dok, saya permisi, saya akan mengambil alat medis lainnya,” kata suster Ana. Lolita menganggukkan kepala.
"Pasien terkena penyakit Appendicitis Akut (Radang usus buntu) dan sudah pecah harus segera di lakukan operasi, suruh suster Ana untuk menyiapkan ruang operasi untuk sore ini," kata Lolita sembari mengecek jantung pasien.
"Baik, Dok,” jawab suster.
"Pak, istri bapak mengidap penyakit usus buntu, ini adalah operasi ringan jadi bapak tidak usah khawatir, pasien kesakitan karena usus buntunya sudah pecah dan takutnya akan menyebar jika tidak di lakukan operasi secepatnya," kata Lolita menjelaskan dengan santun kepada wali pasien agar mengerti.
"Lakukan yang terbaik saja, Dok, buat istri saya," kata wali pasien pasrah.
"Baiklah … mulai detik ini, Ibu tidak boleh makan apa pun sampai sore nanti.” Lolita menjelaskan.
"Istri saya sejak semalam tidak pernah makan, Dok, karena setiap menelan, istri saya merasakan sakit luar biasa," kata wali pasien.
"Bagus, kita bisa mengoperasinya satu jam dari sekarang, Pak,” Lolita mengangguk.
“Beritahu Suster Ana agar menyiapkan ruang operasi, satu jam lagi saya akan mengoperasinya, dan laporkan riwayat medis pasien Rohanawati kepada Dokter Diandra," kata Lolita sembari memberikan riwayat medis kepada suster.
Lolita keluar dari ruangan bangsal dan menghela napas, sesaat kemudian Richard kembali menghampiri Lolita.
“Dok, apa pekerjaannya sudah selesai?” tanya Dokter Richard.
“Belum, Dok, ada apa lagi?” tanya Lolita, yang sudah terbiasa di ganggu Richard ketika ia sedang bekerja hanya sekedar mau mengajaknya makan bersama.
“Ini saya belikan minum untuk Dokter Lolita, silahkan di minum dan tidak usah takut, itu halal dan tidak ada racunnya sama sekali,” kata Richard, seraya memberikan kotak minuman untuk Lolita. Lolita menerimanya, karena sudah sering mengecewakan Richard ketika ia menolak ajakan makan bersama dari pria tampan itu.
“Dok, ruang operasinya sudah siap,” kata suster Ana.
“Baiklah. Saya ganti baju dulu,” jawab Lolita.
“Anda ada jadwal operasi?”
“Iya, Dok, pasien saya harus operasi usus buntu,” jawab Lolita. “Baiklah. Saya permisi kalau begitu, saya harus mengganti pakaian saya,” kata Lolita, berjalan meninggalkan Richard yang tengah duduk diam.