2. Pinangan

2168 Kata
Pagi itu udara di daerah perkebunan masih begitu dingin, kabut menyelimuti sebagian perkebunan teh hingga menuju perkampungan, membuat jarak pandang hanya beberapa meter saja. Hujan semalam membuat jalanan perkampungan yang sebagian besar masih berupa tanah menjadi becek. Namun tidak mengurangi semangat para buruh perkebunan yang mengais rezeki dari hamparan pohon-pohon teh di bawah bukit. Mereka sudah terbiasa dengan suasana dingin, kabut, bahkan hujan, termasuk kedua orangtua Ayu. Sanjoko dan Triningsih sudah bersiap dengan pakaian tebal, sepatu boot dan topi caping mereka. Tak lupa sebuah keranjang rotan berukuran besar sudah mereka gendong dalam pundaknya untuk menampung hasil petikan. “Bapak sama Ibu berangkat dulu ya...” Sanjoko berpamitan kepada ketiga anaknya. Kinanti pun sudah siap dengan seragam merah-putihnya dan bersiap berangkat ke sekolah setelah menghabiskan sarapannya. “Nanti kalo mau keliling jangan lupa pake sweater yang tebel ya nduk. Kamu kalo kedinginan kan suka flu,” pesan Triningsih kepada putrinya itu. “Iya Bu….” Setelah Sanjoko dan Triningsih berangkat, Ayu kembali melanjutkan menyuapi Kinanti. Sebelum berangkat, seperti biasa Ayu menitipkan Haikal dulu ke rumah bibinya, lalu mengantarkan Kinanti ke sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Tak lupa ia memakai sweater tebal yang Triningsih rajut sendiri sebagai hadiah ulangtahun untuknya ketika berusia tujuh belas tahun. Ia pakaikan juga jaket tebal pada adik perempuannya itu agar tubuhnya tetap hangat. Setelah mengantar Kinanti, Ayu langsung mengayuh sepedanya menuju peternakan. Jalanan yang licin dan becek membuat Ayu harus lebih berhati-hati agar tidak terpeleset, apalagi dengan roda sepeda yang sudah tipis dan halus. Roda luar sepedanya seharusnya sudah harus diganti yang baru, tapi belum ada biaya untuk menggantinya. Sepeda itu adalah sepeda bekas yang ayahnya beli di kota empat tahun lalu, tidak terlalu bagus tapi masih bisa dipakai, dengan noda karat di beberapa bagian. “Ayuuuuuu…!” terdengar teriakan seseorang memanggilnya. Ayu menoleh ke sumber suara. Terlihat Dian mengayuh sepedanya lebih cepat mendekati Ayu. Seorang gadis dengan rambut lurus digerai sebahu dan berkulit sawo matang. Dian memiliki penampilan yang agak tomboy dengan celana kulot dan kaos lengan panjangnya. Dian adalah sahabat Ayu dari kecil. Mereka saling mengenal ketika duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Satu lagi sahabat mereka, bernama Ratna. Ratna adalah putri dari mandor perkebunan tempat kedua orangtua Ayu bekerja. Ialah yang paling beruntung diantara mereka bertiga. Saat ini Ratna lah yang masih bisa melanjutkan pendidikannya ke universitas. Ia hijrah ke Jakarta sekitar empat tahun yang lalu setelah lulus dari SMA, ia kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negri di Jakarta. Tidak ada perasaan iri dalam hati Ayu dan Dian. Justru mereka bangga, paling tidak ada salah satu sahabat mereka yang memiliki pendidikan yang tinggi. “Kamu udah sehat Dian?” tanya Ayu melihat rona wajah Dian yang terlihat ceria. “Alhamdulillah… Eh, tau ngga Yu? Ratna sebentar lagi mau lulus kuliahnya. Dia mau pulang ke kampung. Wah… akhirnya kita bisa ngumpul lagi kaya dulu,” kata Dian dengan semangat dan terlihat begitu senang dengan kembalinya sahabat mereka, karena selama ini Ratna jarang pulang ke kampung selama ia kuliah di Jakarta. “Alhamdulillah…” Ayu terlihat ikut senang mendengarnya, senyum langsung mengembang di bibirnya. “Kamu kata siapa Dian?” “Barusan saya ketemu ibunya Ratna di pasar. Dia cerita katanya dua minggu lagi mau ke Jakarta, Ratna mau diwisuda katanya.” Terihat Dian tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Wah, seneng banget dengernya Dian. Akhirnya cita-cita Ratna jadi Sarjana sebentar lagi kesampaian. Tapi, kira-kira Ratna mau disini aja atau mau cari kerjaan di Jakarta ya?” tanya Ayu penasaran. Bekerja di kota sebenarnya adalah cita-cita Ayu dari dulu. Ia ingin menjadi seorang arsitek. Namun, cita-citanya hanya sebatas angan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja keluarga mereka pas-pasan. “Kayaknya sih Ratna bakal kerja di Jakarta. Soalnya ibunya pernah cerita, dulu Ratna pernah kerja praktek di perusahaan periklanan. Nah, trus sama bosnya itu Si Ratna disuruh kerja di situ juga habis dia lulus nanti. Tapiiii… Ah ndak tau ah…! atau mungkin Ratna pulang kampung trus dikawinin.” Candaan Dian membuat gelak tawa keduanya. “Ya udah lah, yang terbaik aja buat Ratna. Yang penting mah temen kita ada yang sukses, Ayu mah seneng. Siapa tau Ratna bisa ajak kita buat kerja di kota.” “Eh ngomong-ngomong makasih ya Yu kemarin udah gantiin anter s**u, kalau ndak bisa-bisa aku kehilangan pelanggan.” “Iya sama-sama.” Mereka terus berbincang sambil mengayuh sepeda masing-masing menyusuri jalanan tanah diantara perkebunan teh hingga sampai di peternakan milik babeh Rojali. Kabut sudah mulai menghilang, udara terasa sedikit lebih hangat dengan kemunculan mentari yang masih malu-malu. Mereka memarkir sepedanya di halaman sebuah gudang kecil tempat pengolahan s**u berukuran 6x4 meter di dekat kandang sapi. Seperti biasa mereka menata botol-botol s**u ke dalam keranjang sepeda. Tanpa buang waktu mereka segera kembali ke perkampungan dan berpisah di ujung desa. *** “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Ayu yang sedang menemani Kinanti belajar segera beranjak dari tempat duduknya untuk membukakan pintu. “Eh bu Parja… mari Bu silahkan masuk. Nanti ya bu, Ayu panggilkan ibu dulu. Ibu sedang memasak di dapur.” “Iya Yu… ngga papa kok, bilang ibu suruh selesaikan aja dulu masaknya,” ucap bu Parja, “Nih ada sedikit kue, tadi pagi sengaja cobain resep baru, mudah-mudah enak ya,” lanjutnya. “Wah, repot-repot Bu, makasih banyak ya Bu.” Bu Parja duduk di kursi yang berada di ruang tamu, hanya ada lima kursi di sana. Rumah keluarga Ayu memang tidak terlalu besar dan merupakan bangunan semi permanen. Ruang keluarga dan ruang makan pun hanya dibatasi sekat triplek dengan dua kamar yang berjejer di samping ruang keluarga, tapi cukup nyaman untuk ditinggali Ayu dan keluarga. Ayu menghampiri Triningsih. Ia sedikit heran dengan kedatangan Bu Parja. Tidak seperti biasa Bu Parja datang bersama suami dan anaknya. Memang seringkali bu Parja datang berkunjung ke rumah mereka, tapi ia selalu datang seorang diri untuk bertemu dengan Triningsih. Bu Parja adalah tetangga Triningsih sebelum Triningsih menikah dengan Sanjoko, hingga akhirnya Triningsih diboyong ke rumah yang sekarang mereka tinggali. “Bu... ada Bu Parja di depan. Sini Bu biar Ayu lanjutin masaknya.” Ayu menghampiri Triningsih dan mengambil sutil yang tergeletak di atas tutup panci terbalik di samping kompor. Ia melanjutkan untuk menggoreng tempe. “Ini kamu cuci juga ya… nanti Ibu aja yang masak sayur beningnya,” ucap Triningsih sembari memberikan baskon kecil berisi bayam. “Ya Bu. O ya Bu, aneh deh. Tumben banget Bu Parja dateng sama Pak Parja sama Mas Bagus. Ngapain ya Bu?” tanya Ayu heran. Triningsih pun juga terlihat heran. Ia mengerutkan dahinya. “Masa sih? Wah ibu ngga tau. Mungkin habis pergi kali, trus pulangnya mampir kesini.” Jawab Triningsih. Ia bergegas menuju ke ruang tamu untuk menemui bu Parja. Triningsih dan bu Parja terlihat sudah begitu akrab, walaupun usia mereka terpaut beberapa tahun. “Habis dari mana ni Mba? Tumben nih kesini sama Bapak sama Mas Bagus.” Triningsih mengambil posisi duduk di dekat Bu Parja setelah menyalami pak Parja dan Bagus. “Dari rumah aja.” Bu Parja memperbaiki posisi duduknya sedikit menyerong ke arah Triningsih. “Ini Mba, ada yang mau Mas Parja bicarakan. Bapaknya Ayu ada ndak?” tanya bu Parja. “Ada kok Mba. Sebentar ya… kayaknya sih tadi di belakang rumah.” Triningsih pun segera berjalan menuju pintu dapur yang terhubung ke halaman belakang. Di belakang rumah terdapat sebuah bangunan kecil yang terpisah dengan bangunan utama dengan tembok yang mengelilinginya tanpa atap. Di tempat itu mereka biasa gunakan untuk mencuci piring atau mencuci pakaian. Dilihatnya Sanjoko sedang memperbaiki tali timba yang putus di dekat sumur. “Pak… ada Bapak sama Ibu Parja di depan, katanya mau ada yang diomongin,” ucap Triningsih sambil mendekat ke arah suaminya. “Yang bener Bu?” Sanjoko terlihat kaget sekaligus khawatir. “Ya bener lah Pak… masa Ibu bohong.” “Jangan-jangan mau nanyain pinjaman kita. Aduh, gimana ini Bu. Bapak lagi ndak pegang uang,” ucap Sanjoko panik. “Mana Ibu tau Pak… tapi ngga mungkin lah Mba Santi mau nagih hutang. Apalagi sampe bawa-bawa Mas Bagus ke sini. Udah cepatan, ngga enak kalo Pak Parja nunggu kelamaan.” Walaupun Santi adalah teman baik Triningsih ketika mereka masih bertetangga dulu, tapi ia tetap merasa canggung dengan Pak Parja, suami Santi. Pak Parja terlihat begitu tegas dan berwibawa. “Wah, jangan-jangan mereka dateng mau melamar Ayu Bu.” Terlihat senyum mengembang di wajah Sanjoko. Kalau benar begitu, betapa beruntungnya ia bisa berbesanan dengan keluarga Pak Parja. Tapi pada intinya, Sanjoko menginginkan Ayu untuk cepat menikah. Menurutnya usia Ayu sudah cukup matang, terlebih ia sudah begitu piawai dalam pekerjaan rumah dan mengurus adik-adiknya. “Hust, bapak ini… jangan suka berharap Pak, nanti takut kecewa. Kan Pak Parjanya belum bilang apa-apa.” Triningsih mengingatkan suaminya agar tidak terlalu berharap banyak. Pak Parjo adalah orang terpandang di kampung sebelah dan status ekonomi keluarga mereka jauh di atas keluarganya, mana mungkin mereka mau berbesan dengan Sanjoko dan Triningsih yang hanya buruh pemetik teh. “Ya udah Pak, ganti baju dulu. Ngga enak bapak pake celana kolor pendek begitu.” “Iya Bu iya, nih Bapak ganti baju dulu.” Triningsih kembali menemui keluarga Pak Parja dengan membawa kursi kayu ke ruang tamu sebagai tambahan. “Assalamualaikum, Pak Parja, Ibu, Mas Bagus. Maaf sudah menunggu lama.” Sanjoko keluar dari kamarnya dan langsung menyalami ketiganya, lalu duduk di kursi kayu yang disediakan Triningsih. “Waalaikumsalam, engga kok Pak Sanjoko.” Jawab Pak Parja. Ayu yang sedari tadi sudah selesai menggoreng tempe masih berada di dapur. Ia duduk di kursi kayu panjang yang terletak di samping pintu menuju ruang makan. Kursi kayu dengan beberapa tambalan yang menunjukkan sudah beberapa kali kursi itu diperbaiki. Diam-diam Ayu penasaran dengan kedatangan mereka. Ia sengaja mendekatkan telinganya ke arah pintu. Walaupun terdengar lirih, tapi Ayu bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. “Apa kabar nih Pak Sanjoko? Sehat?” sapa Pak Parja dengan ramah. “Alhamdulillah… sehat Pak,” jawab Sanjoko yang terlihat sungkan. Pak Parja memajukan posisi duduknya dan memulai pembicaraan maksud dan tujuannya datang kerumah Sanjoko dan Triningsih. “Gini Pak Sanjoko… Saya orangtua Bagus, datang kesini pertama ingin bersilaturahmi. Yang kedua, kebetulan istri saya dengan ibu Triningsih ini kan udah cukup dekat hubungannya. Bisa dibilang kami sudah sedikit banyak mengenal keluarga pak Sanjoko. Jadi, kita datang kemari bermaksud untuk meminang nak Ayu untuk putra semata wayang kami, Bagus.” Bagus hanya tersenyum seolah mengiyakan semua yang dikatakan ayahnya. Terlihat rona bahagia di wajah Sanjoko, sekaligus tersanjung dengan tujuan mereka datang kesini. “MasyaAllah pak Parja. Saya merasa tersanjung dengan maksud dan tujuan Pak Parja dan keluarga datang kemari. Benar begitu Bu?” Sanjoko memandang Triningsih seolah ingin memperkuat pernyataannya. “Betul pak.” Jawab Triningsih singkat. Ayu yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka cukup kaget dengan maksud dan tujuan mereka. Di sisi lain ia senang dengan pinangan itu karena Bagus bukanlah lelaki sembarangan. Bagus berasal dari keluarga berada. Ia pun seorang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, tapi disisi lain ia tidak mempunyai perasaan lebih kepada Bagus. “Lalu bagaimana ya pak? Apakah Pak Sanjoko dan Ibu Triningsih menerima pinangan kami?” tanya Pak Parja. “Waduh… saya sebenarnya bingung harus jawab apa Pak. Mmm, kita ini kan dari keluarga yang………….” “Sudah Pak, sudah… buat saya, semua manusia itu sama di mata Allah,” ucap Pak Parja memotong pembicaraan Sanjoko. Ia tahu apa yang akan Sanjoko katakan. “Oh iya Pak. Kalau saya pribadi, sudah pasti saya sangaaat senang, dan InsyaAllah menerima nak Bagus sebagai calon suami Ayu, karena kita juga sudah mengenal nak Bagus sudah lama. Tapi keputusannya tetap saya serahkan kepada Ayu, karena Ayu yang nantinya yang akan menjalani rumah tangga.” Jawab sanjoko. “Betul itu pak… saya juga setuju,” ujar Pak Parja membenarkan. “Coba Bu, bisa tolong panggilkan Ayu?” Ayu yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka menjadi salah tingkah. Dengan cepat ia berpura-pura membereskan tumpukan alat masak yang sudah selesai dicuci. “Yu, dipanggil Bapak… ada yang mau Bapak bicarakan,” kata Triningsih. “Bicara apa ya Bu?” tanya Ayu pura-pura tidak tahu. “Udah, ikut aja. Nanti juga tahu. lalu Triningsih pun kembali ke ruang tamu diikuti Ayu di belakangnya. Ayu terlihat gugup dan duduk di samping Bu Parja sesuai arahan ibunya. Sementara Triningsih duduk di samping Ayu. Sanjoko menceritakan maksud dan tujuan keluarga pak Parja datang kemari kepada Ayu, sekaligus menanyakan kesanggupan Ayu atas pinangan itu. Ayu terlihat malu dengan wajah sedikit memerah. Ia pun akhirnya mengangguk menandakan bahwa ia menerima pinangan Bagus. “Alhamdulillah.” Semua berucap syukur dan lega. Sebenarnya Ayu masih ragu, tapi ia tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya. Ia begitu tahu dengan apa yang kedua orangtuanya inginkan. Ayu berusaha menerima lamaran Bagus dan akan mulai belajar mencintainya. Keluarga Ayu masih percaya jika menolak lamaran seseorang maka nantinya ia akan sulit untuk mendapatkan jodoh. Itulah kenapa kedua orangtuanya selalu wanti-wanti kepada Ayu untuk tidak menolak siapapun yang meminangnya, asalkan dia dari keluarga baik-baik. Lagi pula saat ini Ayu tidak memiliki kekasih, rupa Bagus pun juga tidak jelek, apalagi pekerjaan Bagus terbilang cukup mapan. Ia adalah seorang guru SD yang sudah pegawai negri di kampungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN