4. Balap Liar

1911 Kata
Sorang gadis berpenampilan seksi dengan tshirt ketat warna putih dan rok jeans biru mudanya mengangkat satu tangannya ke atas sambil memegang sebuah bendera kecil. Di samping kanan dan kirinya, dua orang laki-laki sudah siap di atas motor mereka masing-masing. Mereka terlihat fokus menatap jauh ke arah depan, tangan kanannya menarik gas dengan kasar, sementara kakinya menginjak pedal rem untuk menahan laju motornya. Beberapa kali terlihat mereka saling pandang dengan tatapan sinis. Keduanya saling menggeber seolah menunjukkan dialah yang paling hebat. Suara mesin motor honda CBR 150R dan Kawasaki Ninja terdengar begitu keras dan bising memekakkan telinga. Tak hanya mereka yang di sana, tapi juga beberapa orang sudah berkumpul dan hendak menyaksikan siapa yang lebih hebat diantara keduanya. Malam yang gelap dan sedikit gerimis seolah tidak menyurutkan mereka untuk menyaksikan aksi balap liar yang kerap dilakukan oleh beberapa genk motor di daerah Jakarta selatan. “3… 2… 1…!” teriak gadis itu sambil melempar bendera kecil ke udara, lalu dengan cepat ia memutar tubuhnya ke arah depan. Kedua motor itu melesat dengan cepat tepat ketika gadis itu selesai menghitung mundur. Keduanya berusaha mengungguli satu sama lain. Semua pandangan mata pun mengikuti ke mana arah mereka melaju. “Cayoooo Bar…!” Teriak seorang lelaki yang sedari tadi berdiri di samping Bara, laki-laki yang mengendarai CBR 150R. “I love you Rangga!” Gadis manis yang memberi aba-aba start tadi rupanya berada di kubu Rangga. Beberapa menit kemudian terlihat dari kejauhan kedua sepeda motor yang tengah berkompetisi itu semakin mendekat. Keduanya begitu gigih dan saling susul untuk mencapai garis finish terlebih dahulu. Keriuhan mulai terdengar ketika keduanya hampir sampai di garis finish. Sama sekali tidak ada yang bisa menebak siapa yang akan menjadi pemenangnya karena jarak antara keduanya begitu tipis. “Ayo Bara…!” teriak seorang gadis dengan jeans belel dan tshirt hitamnya. Ia adalah kekasih Bara yang baru dipacarinya satu tahun belakangan ini. “Yeeee…!!” teriaknya ketika Bara menyentuh garis finish lebih dulu. Gadis itu langsung menghambur ke arah Bara begitu Bara memarkirkan sepeda motornya di barisan motor lain. “Ah sial!” pekik Rangga yang kecewa atas kekalahannya kali ini. Sorry, maksudnya kekalahannya selama ini. Karena menurut catatan sejarah balap liar, Rangga sama sekali belum pernah berhasil mengalahkan Bara. Rangga melepas helm yang menutupi kepalanya dan kembali bergabung dengan teman-temannya yang lain. Wajahnya terlihat begitu masam. “Udah… ngaku kalah aja deh lo sama gue… lo ngga bakal bisa ngalahin gue,” ledek Bara sambil melingkarkan tangannya ke pundak Dara, kekasihnya. Walaupun Bara lebih unggul, sebenarnya mereka hanya berselang satu atau dua detik saja saat mencapai garis finish. Ini sudah kelima kalinya Rangga beradu cepat dengan Bara, tapi rupanya keberuntungan belum berpihak pada Rangga. “Waahhh! Parah lo,” ucap Dimas. “Tuh Ngga, ngga bisa gitu dong Ngga.” Dimas yang berada di pihak Rangga berusaha membelanya. “Sikat aja Ngga…” ucap Iqbal mengompor-ngompori. Sementara Bara hanya tertawa mendengar keributan mereka. “Jangan seneng dulu lo… habis ini kita adu lagi. Kali ini pasti gue yang bakal menang,” ucap Rangga percaya diri. Rupanya Rangga masih penasaran dengan kekalahannya. “Siapppp…! Kapan aja lo mau gue layanin! Iya ngga Beb?” Dengan nakalnya Bara mencium bibir Dara di depan teman-temannya. “Wah, sial!” celetuk Iqbal yang masih jomblo seumur hidupnya. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya karena ia bisa dengan jelas melihat pemandangan yang begitu menggoda iman itu. Rangga mengambil sebungkus rokok dari dalam saku celananya. “Eh, bagi korek dong,” Dengan cepat Iqbal melemparkan korek api zippo yang sedari tadi dipegangnya ke arah Rangga. Lalu kembali menghisap batang rokoknya. Sial, belum juga Rangga berhasil menyalakan rokoknya, dua buah mobil bak terbuka dengan bagian belakangnya terdapat kursi besi yang saling berhadapan berhenti tak jauh dari mereka. Petugas satpol PP kembali melakukan razia balap liar yang kerap terjadi. Tanpa komando, semua yang berada di sana segera berlari menuju ke sepeda motor masing-masing dan meninggalkan tempat tersebut dengan cepat. Suasana kalang kabut. Suara deru motor saling bersahutan. Semua berusaha menghindari petugas yang dengan cepat dan tangkas menghalau mereka yang hendak kabur. Karena memarkir motornya cukup jauh dari tempat mereka duduk, Rangga dan beberapa temannya berhasil diciduk oleh petugas. Mereka digelandang untuk naik ke atas mobil satpol PP dan menuju ke kantor untuk diberikan pembinaan. Dengan santainya Rangga mengikuti arahan petugas tanpa melawan. Ia seolah sudah pasrah dengan apa yang akan dihadapinya. Walaupun sebenarnya ia tahu apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang salah dan dilarang, tapi ia tidak bisa menghindarinya. Balap liar adalah hobbynya. Hampir setiap weekend tiba, Rangga selalu menghabiskan waktu malamnya di arena balap liar yang kerap berpindah tempat untuk menghindari razia. Rasa penasarannya untuk mengalahkan Bara di jalanan beraspal membuatnya tak pernah absen. Ia tidak habis pikir kenapa ia tidak bisa mengalahkan Bara, padahal dengan mudahnya Rangga selalu bisa mencapai garis finish lebih dulu dibandingkan dengan yang lain. *** Di sebuah ruangan yang cukup besar, semua yang terjaring razia tengah malam itu dikumpulkan di sana. Dengan duduk di atas lantai tanpa alas, mereka menunggu orangtua atau keluarga mereka menjemputnya. Tentu saja dengan surat pernyataan untuk tidak melakukan hal serupa. Dengan jaminan pihak keluarga, mereka yang terjaring razia bisa dibebaskan dan bisa kembali ke rumah masing-masing. “Rangga Putra Mandala…” panggil salah satu petugas dengan suara yang keras dan lantang. Rangga pun langsung berdiri dan keluar dari ruangan menuju ruang tunggu. Dilihatnya kedua orangtuanya tengah duduk menunggunya. Raut wajah mereka sudah pasti menunjukkan kekecewaan. Rangga tertunduk sambil mendekat ke arah mereka. “Mah… Pah…” ucap Rangga lirih. Gunawan, ayah Rangga hanya bisa mengembuskan napasnya perlahan. Sementara Diana yang duduk disampingnya terlihat cemas. Ia mengelus bahu suaminya untuk menenangkan. Diana berharap Gunawan bisa menahan amarah dan kekecewaannya terhadap putranya itu. Rangga Putra Mandala adalah putra sulung dari Gunawan Sanjaya, pengusaha sukses asal Jakarta, sekaligus pemilik perkebunan teh terbesar di daerah Brebes, tempat kedua orangtua Ayu bekerja. Rangga yang sedikit arogan, kekanak-kanakan, dan selalu membuat masalah membuat kedua orang tuanya putus asa. Sudah berulang kali Rangga tertangkap Satpol PP, berulang kali pula kedua orangtuanya harus menanggung malu menjemput putra sulungnya itu di kantor Satpol PP. Entah harus bagaimana lagi Gunawan dan Diana lakukan untuk membuat putranya bisa berubah. Sebagai seorang anak sulung yang memiliki satu orang adik, kedua orangtuanya berharap Rangga bisa memberi contoh yang baik untuk adiknya. Apalagi nantinya Ranggalah yang akan mewarisi sebagian perusahaan dan perkebunan milik keluarga mereka. Di dalam mobil saat kembali ke rumah, ketiganya hanya terdiam tanpa banyak bicara. Sesekali Rangga menoleh ke arah Gunawan yang duduk dibalik kemudi, sementara Diana duduk di jok belakang, tepat di belakang Gunawan. Entah apa yang kedua oratuanya pikirkan saat ini. Rangga pun menyadari, kedua orangtuanya sudah sangat kecewa dengan kelakuannya. *** “Duduk!” ucap Gunawan singkat ketika mereka sudah sampai di dalam rumah. Sebuah rumah dua lantai yang cukup besar dan mewah dengan halaman yang luas. Gunawan duduk di sofa ruang tamu, diikuti oleh Diana yang duduk di sampingnya. Gunawan berusaha menahan amarahnya sesuai permintaan Diana saat mereka menuju ke kantor satpol PP pagi itu. Percuma saja Gunawan bersikap keras pada Rangga, nyatanya selama ini Rangga tidak juga menunjukkan perubahan. “Ya Pah…” jawab Rangga yang langsung duduk di depan Gunawan. “Papah ngga ngerti sama kamu. Mau jadi apa kamu? hah?!” tanya Gunawan memulai bicaranya. Masih terdengar sedikit emosi dari nada bicaranya. Gunawan menatap dalam wajah Rangga yang sepertinya tidak menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan. “Jujur Papah sudah sangat kecewa sama kamu.” “Maafin Rangga Pah…” ucap Rangga pelan. Ia kembali tertunduk dan tak berani manatap ayahnya. “Percuma kamu minta maaf kalo kamu masih terus mengulangi. Malu Papah punya anak tapi kelakuannya buruk kaya kamu! Contoh itu adik kamu……” “Udah Pah…” kata Diana cepat. Ia kembali mengelus bahu suaminya untuk menahan perkataannya. Diana tidak suka jika Gunawan membanding-bandingkan kedua putra mereka. Menurutnya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Sikap Rangga pun tidak semuanya buruk. Masih banyak sisi positif yang ia miliki. Walaupun Rangga terlihat urakan dan semaunya sendiri, tapi jiwa sosialnya sangat tinggi. Ia tidak akan ragu untuk membantu siapa pun yang membutuhkan bantuannya, terlebih orang-orang yang ia kenal. Rangga melirik ke arah samping, menunjukkan sikap keberatannya. Walaupun hubungan dengan adiknya selama ini cukup baik, tapi ia pun tidak suka jika dibanding-bandingkan dengannya. “Papah udah ngga tau lagi harus gimana ngadepin kamu. Papah sama Mamah sudah mengambil keputusan. Minggu depan Papah akan masukin kamu ke pesantren di daerah Brebes,” ucap Gunawan dengan tegas. Rangga langsung menoleh ke arah Gunawan. Perkataan ayahnya benar-benar membuatnya syok. “Tapi Pah---?” “Ngga ada tapi-tapian. Ini udah jadi keputusan Papah! Papah pengen kamu jadi anak yang berguna!” ucap Gunawan sedikit menaikkan intonasinya, lalu segera pergi meninggalkan Rangga dan Diana sebelum ia berubah pikiran. “Pah?!” panggil Rangga keras. Ia ingin mengajukan protes karena ayahnya memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi atau sekedar menanyakan kesanggupannya. Namun Gunawan tetap berjalan menuju kamarnya tanpa memperdulikan Rangga yang terus memanggilnya. “Udah lah Ngga…” Diana mendekat dan duduk di samping Rangga. “Kali ini kamu turutin apa kata Papah kamu ya? Lagi pula masuk pesantren kan bukan sesuatu yang buruk. Di sana kamu bisa belajar ilmu agama, kamu juga belajar mandiri. Di sana pun kamu juga bakal punya banyak teman kok,” lanjutnya. “Iyaa… tapi ngga bisa gitu juga dong Mah. Ngga bisa mendadak kaya gini. Paling ngga tanya dulu kek, atau seenggaknya bilang dari jauh-jauh hari biar Rangga ada persiapan. Rangga kan juga banyak urusan yang harus diselesein,” ucap Rangga beralasan. “Memangnya urusan apa yang belum kamu selesein? Kuliah kamu aja berantakan, kamu ngga pernah masuk, IP kamu jeblok. Mau jadi apa kamu? Memangnya selama ini kamu pikir Mamah ngga tau kalo kamu juga ngerokok? Aroma dari tubuh kamu tiap kamu pulang ke rumah itu ngga bisa bohong.” Perkataan Diana membuat Rangga terdiam dan tak bisa berkutik. Semua yang dikatakan Diana memang benar. Diana yang selama ini terkesan membela Rangga, rupanya kini berada di pihak Gunawan. Rangga yang tercatat sebagai mahasiswa semester tujuh di Universitas swasta memang terkesan tidak perduli dengan kuliahnya. Ia menganggap kuliah hanya sebagai formalitas. Toh, tidak memiliki pendidikan tinggi pun tidak akan berpengaruh dengan kehidupannya. Ia tetap akan menjadi salah satu pewaris bisnis keluarga sanjaya. “Pokoknya Mamah pengen, setelah kamu keluar dari pesantren, kamu jadi pribadi yang baru, jadi pribadi yang lebih baik. Mamah ngga pengen tuh denger kamu balap-balap motor lagi, dirazia-razia lagi. Kalo perlu ngga usah kamu main lagi sama temen-temen kamu yang ngga jelas itu. Cuma bikin pengaruh buruk buat hidup kamu. Memangnya siapa nanti yang rugi? Ya kamu sendiri. Papah juga sudah bilang sama Mamah, kalo kamu ngga mau nurut, terpaksa Papah ambil alih semua fasilitas yang udah papah kasih ke kamu, motor, kartu ATM, kartu kredit…” Kali ini Diana benar-benar kehilangan sedikit kesabarannya. Ia ingin Rangga mulai memikirkan masa depannya. Diana pun kelak ingin Rangga membangun rumah tangga dan menjadi teladan yang baik untuk anak-anaknya. “Iya Mah…” ucap Rangga pelan. Sepertinya ia memang tidak punya pilihan lain. Diana sudah menasehatinya panjang lebar, itu artinya Rangga sudah sangat keterlaluan menurut Diana. Kehilangan semua fasilitas yang sudah kedua orangtuanya berikan menjadi momok mengerikan untuk Rangga. Apalagi selama ini Rangga sudah terbiasa hidup mewah. “Ya udah, sekarang kamu bersihin badan kamu, habis itu sarapan. Bi Minah udah siapin nasi goreng di meja makan buat kamu.” Tanpa menjawab, dengan malas Rangga segera beranjak dari tempat duduknya. Ia meraih tas slempang kecilnya yang ia letakkan di meja sebelum naik ke kamarnya di lantai dua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN