44. Rebutan Tempat

1021 Kata
Sial! Hari ini ia terlambat. Kalau hubungannya dengan Tobias masih seperti dulu Hana tidak perlu khawatir untuk terlambat. Dengan kecepatan maksimal Hana mengayunkan kakinya. Bahkan ia merasa pahanya sudah keram. Cewek itu membungkuk, ia memegang lututnya sambil berusaha mengontrol napasnya. Tanpa ia sadari, sebuah tangan dengan cepat mengambil tasnya. Hana sudah panik saja takut ada copet, tapi pergelangan tangannya sudah diseret oleh orang itu. "Gerak cepet woy, gerbangnya udah mau ditutup." Rabian. Cowok itu mengambil tasnya dan menarik dirinya. Pintu gerbang Galena utama buka dan tutup secara otomatis. Dari jarak yang sudah dekat, gerbang itu hampir tertutup. Dengan satu tarikan kencang. Rabian menarik tangan Hana hingga mereka berdua terjatuh ke tanah. Napas Hana masih menderu sambil melihat pintu gerbangnya tertutup total. "Haha anjir lo. Kita hampir kegencet gerbang tadi." Rabian tergelak di sela-sela deruan napasnya yang tak teratur. "Tapi nggak kegencet, kan?" Hana berdiri. Sedikit terhuyung karena tenaganya belum seratus persen pulih. Ia menjulurkan tangannya ke Rabian. "Ayo, masuk." Rabian melihat telapak tangan cewek itu lalu tersenyum tipis. Sangat tipis hingga Hana tak menyadarinya. Kemudian ia menerima uluran itu untuk berdiri. Karena kondisi Hana yang belum seratus persen pulih, ia jadi terhuyung dan jatuh kembali. Hana memaki saat ia malah terjatuh ketika Rabian berhasil berdiri. "Sialan lo, Yan!" Cowok yang diteriaki namanya itu berlari sambil menjulurkan lidahnya. Membuat darah di kepala Hana mendidih, dan setan di dalam perempuan itu berbisik, Serang! *** Pagi-pagi sekali Tobias harus menemui gurunya untuk mengambil jadwal selama ia menjadi duta. Projek pertama lelaki itu adalah mempromosikan sekolahnya. Tobias melihat jam di pergelangan tangannya. Meskipun ia mendapat surat dispensasi jaga-jaga kalau terlambat masuk kelas. Tetap saja ia bahkan merasa rugi kalau tertinggal materi. Saat cowok itu tengah berjalan cepat. Ia mendengar suara yang tak asing. "Rabian, sialan! Sini lo!" Langkah kaki Tobias terhenti. Suara yang terdengar dari lantai dasar membuat Tobias tergerak untuk menoleh ke bawah. Benar saja. Hana tengah berlarian mengejar teman barunya itu. Tobias melayangkan tatapan datarnya. "Udah punya teman baru rupanya." *** "Gue masuk ekskul jurnalistik." Hana berucap saat ekor matanya menangkap Rabian yang tengah membaca kartu keanggotaan miliknya. "Gue bisa baca kali." Hana berdecih. Matanya tetap fokus ke papan tulis untuk menyalin. "Lo daftar ekskul apa?" Rabian menaruh kartu itu kembali ke dalam tempat pensil Hana kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas meja. "Ya, apa lagi. Gue dipersiapin ikut OSN Matematika, lomba matematika." Terdengar helaan napas dari cowok itu. "Padahal gue nggak minat ikut gituan." "Terus kenapa lo mau masuk Galena kalau nggak mau ikut itu. Anggap itu sebagai bayaran karena lo dikasih kesempatan masuk sini." "Gue udah nolak. Emang nggak mau masuk sini awalnya." Hana menaruh pulpennya. Atensinya penuh ia berikan kepada Rabian. "Ada sesuatu yang menarik di sini. Jadi gue terpaksa masuk." Senyum miring tercetak di wajah Hana. "Kalau ada yang menarik, ya lo nggak bakal kepaksa namanya. Aneh." Rabian mendorong pipi Hana. Membuat cewek itu kembali melihat ke depan. "Lo fokus nulis aja sana. Nanti catetan lo gue liat. Gue mau tidur." "Mana bisa gitu—" "Hoam!" Rabian menguap kemudian mengambil satu buku untuk menutup wajahnya. Hana bergeleng tak percaya. Saat ia tengah melihat papan tulis. Entah bagaimana ia bisa ke arah Tobias tepat saat Tobias melihat ke arahnya. Cewek itu mengangkat alis bertanda, "Apa?" Namun, Tobias dengan tatapan khasnya tidak memberi respon dan membuang muka. Melihat itu Hana tidak mengambil pusing dan kembali menyalin materi dari papan tulis. Pelajaran sejarah hari ini tidak dihadiri oleh guru mata pelajaran tersebut. Anak murid hanya disuruh menyalin materi kemudian boleh istirahat. Hana berniat menyelesaikan cepat agar bisa cepat juga istirahat. "Selesai!" ucapnya sambil menutup buku itu. Ia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Sikunya menyenggol Rabian. "Nih gue udah. Gue taro di sini ya. Besok pokoknya bawa. Awas lo kalau lupa," ancam Hana. Saat ia Hana berbalik, cewek itu sedikit terkejut karena keberadaan Tobias. "Anjir ngagetin lo!" omel Hana. "Mau ke kantin sekarang, kan? Mumpung masih sepi." Cewek itu mengangguk. "Iya. Tapi nggak usah ngagetin dong." "Gue nggak ngagetin." "Nggak ngagetin apaan? Orang lo tiba-tiba nongol di depan gue," gerutu Hana sambil berjalan keluar kelas yang diikuti Tobias. Di meja, Rabian membuka matanya. Ia melihat buku tulis yang ditinggalkan Hana. Tubuh cewek itu sudah tenggelam di balik pintu. Rabian memutar pulpen di tangannya. Menimbang pilihan yang akan dia ambil. Mungkin memang ini yang pertama ia bersikap seperti ini dan mungkin akan terlihat kekanakan. Namun, ia tidak mau melewatkan kesempatan. Untuk itu Rabian menaruh pulpennya kemudian berlari keluar kelas. Tujuannya adalah kantin. *** Saat Tobias hendak mengambil nampan sebuah tangan sudah menjulur di tangannya. Keberadaan orang itu bahkan membuatnya harus mundur selangkah lagi. "Lo nggak punya sopan santun dalam hal inikah?" Orang itu memasang senyum tengilnya. "Kita temen sekelas belum pernah ngobrol loh. Sadar nggak sih?" "Nggak nyambung sama apa yang gue tanya sebelumnya." Orang itu tertawa. "Nggak apa-apa kali sekali-kali gue nyelak sama lo gini." Mendengar perdebatan kecil di belakangnya membuat Hana menoleh ke belakangnya. "Loh, Rabian? Tumben lo ke kantin. Biasanya lebih milih tidur di kelas." Tobias berdiri di depan Rabian. Tepatnya kembali berdiri pada tempatnya semula. Cowok itu mengambil nampan kasar. Kemudian berbisik sinis kepada orang di belakangnya. "Tempat yang bukan milik lo nggak seharusnya lo rebut. Kayaknya lo perlu tau itu." Dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya, Rabian melangkah mundur sekali. Ia menatap punggung Tobias dari belakang. Setelah mengambil makan siangnya hari ini. Rabian mengikuti Hana dari belakang. Tobias dan Rabian kembali rebutan kursi saat Hana sudah duduk. "Tempat duduk kan masih banyak. Kalian ngapain sih?" tegur Hana. "Gue duluan yang di sini," tunjuk Tobias pada kursi di samping Hana. "Rabian lo kenapa nggak di kursi sebelahnya aja sih?" "Tapi makanan gue udah ada di situ." Rabian membela diri. Hana menggeser nampan milik Rabian. "Sekarang makanan lo udah pindah ke situ." Tobias langsung menempatkan nampannya di tempat yang sudah kosong itu. Kemudian ia duduk di kursi sebelah Hana dengan melempar tatapan mengejek kepada Rabian. "Lo kok ngebela Tobias banget sih. Kalian pacaran?" tanya Rabian blak-blakan. Membuat Hana tersedak karenanya. "Gue pacaran atau enggak. Bukan urusan lo juga," jawab Tobias. "Ya urusan gue dong. Kalau kalian pacaran kan gue nggak mau ganggu. Tapi kalau nggak pacaran, berarti gue masih punya kesempatan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN