3. What's wrong with Tobias?

1091 Kata
“Untuk pertama kali,” tambah Syabil dengan mata yang masih tertancap pada layar ponsel. Hana beringsut mendekati Syabil. Menempatkan dagunya di atas bahu temannya. “Bantuin gue mikir. Dia kenapa gitu.” “Ya lo mikirlah, terakhir ketemu kalian ngapain, lebih tepatnya lo ngapain dia. Mungkin lo udah nyinggung Tobias.” Hana menarik dirinya. Meraih bantal kecil untuk dia peluk. “Normal aja, kok,” katanya penuh ragu. Ia berpikir sebentar. Memutar ulang kejadian kemarin. Kencan buta, menyuruh Tobias membayar, menyuruh Tobias menunggu dia, dan yang terakhir ... Apa sikapnya sudah keterlaluan? “Bil.” Syabil melirik ke samping. Mendapati mata Hana yang memohon. Membuatnya tidak tahan untuk menyeringai, “Lo takut nggak dijajanin lagi, ya?” *** “Udah ditanyain Om Danu.” Tobias kembali membahas. Hana yang tengah memilih sepatu kets hanya mengangguk. “I know. Tobias emang bisa diandelin.” Lelaki itu benar-benar membawa Hana membeli barang yang diperlihatkan kepadanya. “Terus kenapa marah?” “Mba, yang ukuran di atas ini ada nggak? Kekecilan.” “Oh, iya, Mba, saya carikan dulu.” “Kenapa marah?” Tobias bertanya kembali setelah perempuan berseragam tadi pergi. “Siapa yang marah?” Alisnya mengangkat satu. Respon Hana membuat Tobias terdiam. Baiklah, seharusnya Tobias tahu bahwa Hana tidak pernah benar-benar marah asalkan kemauannya dituruti. Setelah mendapatkan sepatu yang ia mau. Hana keluar dari toko itu menuju toko yang lainnya. Aktifitasnya itu akan berhenti sampai kedua tangan Tobias tidak bisa lagi membawa barang. “Oke, kita pulang.” Hana berjalan cepat. Meninggalkan Tobias yang kesulitan membawa barang milik perempuan itu. Tobias menatap punggung kecil itu dari belakang. Kalau orang lihat mungkin Tobias sudah disangka supir pribadi Hana, atau memang iya? Punggung kecil itu berhenti. Kemudian berbalik, membuat pemandangannya berganti menjadi wajah Hana yang menyipit. Hana menghampirinya. Sedikit berjinjit untuk membisikan sesuatu padanya. “Seperti biasa, bawa pulang ke rumah lo dulu. Besok gue ambil.” Pesan yang sering Tobias dapatkan. Hana menjauhkan wajah dari Tobias, memasang senyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya. Alasan Hana melakukan itu karena satu hal. Dia tidak mungkin membawa barang sebanyak itu ke rumah padahal ayahnya tidak memberikan uang jajan berlebih. Jika ayahnya tahu ia mendapatkan itu dari Tobias, bisa dihapus nama Hana dari kartu keluarga. Bagaimana tidak, karena seseorang yang mau disuruh-suruh oleh Hana adalah anak dari bos ayahnya di kantor. Jika ayahnya menjadi asisten ayah Tobias di kantor. Maka di rumah, Hana-lah yang menjadi bos untuk Tobias. “Turun di sini aja, ish, jangan deket-deket rumah. Nanti keliatan bokap gue.” Hana kembali mengomel. Sedangkan Tobias seperti biasa hanya mengangguk. Tanpa ucapan terima kasih atau salam perpisahan Hana turun dari mobil dan berlari menuju rumahnya. Meninggalkan Tobias dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan. *** Sebuah motor kawasaki berwarna hitam membelah padatnya jalan raya ibu kota. Memasuki salah satu sekolah bergengsi bertuliskan Galena Highschool. Beberapa siswi tertarik perhatiannya kepada sang pengemudi. Jenjang kakinya yang panjang dengan helm fullface yang ia kenakan membuat siswa yang lewat bertanya-tanya siapa dan dari kelas mana lelaki itu. Mengambil tempat untuk memarkirkan kuda besinya kemudian lekaki itu melepas helm yang ia gunakan. Ia menyugar rambut tembaganya ke belakang. Sepertinya tatanan rambutnya kembali berantakan. Lelaki itu tidak terlalu ambil pusing. Setelah turun dari motor, ia mengambil langkah lebar menuju kelas. Dari sudut mata ia dapat melihat banyak pasang mata mengarah padanya. Tobias sedikit tidak nyaman, membuat ia ingin cepat-cepat masuk kelas. Saat ujung sepatunya menuju ambang pintu, langkah Tobias terhenti karena siswi yang berada di hadapannya. “Gue mau ngomong—“ Tobias nyelonong masuk melewati siswi itu. Bukan karena tak mau mendengarkan, ia sudah tidak nyaman menjadi pusat perbincangan murid lain sepanjang koridor yang ia lewati. Hana menggeram kesal. Tobias tidak pernah berani mengabaikannya seperti itu. “Anggap tidak terjadi apa-apa,” sugesti Hana pada diri sendiri. Setelah berusaha mengendurkan ekspresi wajahnya, Hana kembali menghampiri Tobias yang kini sudah mengambil duduk di kursi barunya. “Gue tadi belum sarapan.” Tobias membuka buku paket. “Beli bubur, Bi.” Hana menelan salivanya, Tobias sama sekali tidak merespon. “Hana belum sarapan, kalo pingsan gimana?” Srek. Tobias menutup kasar bukunya. Membuat Hana terkesiap. “Tinggal makan. Urusannya sama gue apa?” Mata bulat Hana menyorot netra hitam legum Tobias. Raut wajah yang baru pertama kali Hana lihat. Namun, sekali lagi Hana meyakini dirinya bahwa Tobias tidak berubah. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi Hana menarik kakinya mundur. Perlahan menjauhi Tobias yang menatapnya dingin. Dihempaskan tubuhnya ke atas kursi. Membuat teman di sampingnya terlonjak. “Pake ‘Tobi-Hana’ nggak mempan. Apa perlu gue rayunya pake aku-kamu?” Hana bergidik, aku-kamu terlalu menggelitik telinganya. Setidaknya panggilan nama adalah kebiasaan mereka semasa kecil. “Udah, Na, lo kerjain cepet. Kita bagi tugas, lo nomor satu sampe sepuluh. Gue sisanya.” Mata Hana menyipit, tangan kanannya mengangkat kertas tugas yang diberikan Pak Roy. “Jumlah soalnya tiga belas. Lo main curang kalo gitu.” Kata ketua kelas mereka, Pak Roy tidak akan masuk hari ini. Itulah alasan mengapa kertas itu sudah menangkring cantik di atas meja para siswa. “Itu tiga soal essay, Na. Terus beranak. Lo udah enak sepuluh.” Gani menunjuk soal-soal yang ia bilang beranak. Hana melirik sekilas. Memang benar, setiap nomornya memiliki pertanyaan bercabang. “Ya udah, nanti aja ngerjainnya pas bel masuk. Gue mau ke kantin dulu.” “Dih, sekarang aja. Jadi nanti kita bisa santai-santai.” Gani memang jagonya melakukan negosiasi. Hana tak berkutik. Ini sangat menyebalkan bagi Hana, biasanya ia tidak perlu pusing membagi tugas seperti ini karena semuanya akan dikerjakan Tobias. Tanpa gadis itu sadari bahwa selama ini ia sudah banyak bergantung pada Tobias. *** Jam istirahat tiba, beberapa anak sudah mengambil antrean untuk mendapatkan makan siang. Dari tempat Tobias berdiri ia dapat mencium aroma ayam asam manis kesukaannya. Berangsur Tobias mendapat antrean paling depan. Mengambil piring saji kemudian memilih lauk kesukaannya. Namun, sebuah piring lain mendorong miliknya. Dari gelang yang melingkar di tangannya, Tobias bisa tahu siapa pemilik piring itu tanpa harus menoleh. Dulu, dia akan membiarkan lauk itu diambil oleh pemilik piring itu. Sayangnya, saat ini tidak demikian. Pipi Hana mengembung. Tobias benar-benar menantangnya. Dengan kasar Hana mengambil sendok lauk membuat penjaga kantin sedikit tersentak. “Mau diambilin?” “Nggak usah,” sergah Hana dengan muka yang masih menekuk garang. Seusai mengambil makan siangnya, ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Berusaha menemukan target utama. Tepat seperti yang ia perkirakan. Pojok dekat jendela. Baru saja Hana mengangkat satu kakinya bangku kosong di samping Tobias yang sudah ia bidik diambil orang lain. Hana lantas mempercepat jalannya. “Permisi, bangkunya udah ada yang punya," sindir Hana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN