8. Ingin Dikejar

1105 Kata
“Kembali ke Hana yang dulu. Nggak usah peduli! Bodo amat sama Tobias!” tegas Hana pada dirinya sendiri. Dengan wajah menekuk kesal Hana mengayunkan kakinya berniat keluar dari ruangan membosankan ini. Namun, sebuah suara kembali menahannya. “Jangan bilang lo ke sini buat ketemu sama gue?” Pertanyaan itu entah mengapa terdengar seperti ledekan. “Haha.” Hana tertawa garing. Ia membalikkan badannya untuk menatap lelaki yang tengah menopang dagu di atas meja. “Siapa bilang? Jangan mentang-mentang lo banyak yang ngelirik terus gue disamain sama cewe-cewe itu!” Tobias mengendikkan bahunya. “Gue nggak maksud gitu. Ya, emangnya kenapa kalau ke sini buat ngomong sama gue?” “Enggak, ya!” Hana membantah. “Gue udah niat mau baca, terus ketemu lo. Ya, udah sekalian aja ngobrol. Nggak usah ge’er.” Tangannya asal menyambar sebuah buku. Diabaikannya Tobias yang tampak mengerutkan dahi. “Alah, pasti dalam hatinya, tumben Hana baca. Cih!” dumel Hana sambil membawa bukunya ke salah satu meja panjang yang berseberangan dengan meja Tobias. Padahal memang dia tidak ada niatan mau membaca. Hana sedikit terperangah saat ia membaca judul pada buku bersampul hijau, Aksara Sunda. Apa Tobias tadi melihatnya? Hana mengutuk dirinya dalam hati. Memang dia mengambilnya asal, tetapi setidaknya buku yang ia ambil asal itu bisa dibaca. Ia benar-benar terlihat bodoh hari ini. Eh, kemarin juga, sih, saat ia menyangka Tobias sakit parah. Ah, intinya saat Tobias berubah Hana menjadi terlihat semakin bodoh. Di meja tempat ia duduk terdengar suara riuh rendah orang yang berbisik. “Dia sering ke sini, tapi pake kacamata. Sekarang enggak, keliatan beda, ya.” “Iya, ganteng ternyata. Tapi, pake kacamata juga manis, sih.” “Kalem lagi. Damage-nya nggak nahan.” Telunjuk Hana bergerak untuk menggaruk telinganya. Udara dingin yang awalnya ia rasakan berubah menjadi hawa panas. Hana beranjak. Sedikit mengentakkan bangunnya membuat kursi yang ia gunakan bergeser. “AC-nya nggak nyala apa, ya. Kok panas!” Tidak peduli dengan anggapan Tobias, perpustakaan memang bukan habitat Hana. “Udah selesai bacanya?” Tobias berdiri menghalangi jalan Hana. “Bukan urusan lo!” Bahu Hana sedikit menyenggol lengan Tobias. Perempuan itu berjalan dengan mengentak-entakkan kakinya. Netra Tobias setia mengamati punggung kecil itu hingga menghilang. Biasanya ia akan berlari mengejar Hana yang terlihat kesal. Berusaha membujuk perempuan itu hingga kembali baik. Namun, kali ini sisi hatinya yang lain dengan keras menyuruhnya untuk tetap pada sikapnya yang sekarang. *** Tobias selalu bersikap bahwa perubahannya terjadi begitu saja. Tidak ada alasan, atau memang iya? Hana memutuskan untuk masuk ke kedai makanan di lingkungan kantin. Ada dua kedai di dalam kantin itu. Kedai dengan makanan yang sudah disediakan atau bisa dibilang kita sudah membayar biaya makan siang saat awal semester. Ada juga kedai yang menyediakan makanan lain yang harus kita beli. Menu di sekolahnya saat ini adalah ikan. Lauk yang tidak ia suka. Maka dari itu Hana memutuskan untuk membeli bakso sebagai makan siangnya. Setelah memberikan daftar pesanannya, ia duduk di salah satu meja di dekat taman. Kedai ini memang berada di luar ruangan. Berbeda dengan kedai yang satunya lagi. Hana mengetukkan jarinya, seharusnya ia tidak membeli ini. Keuangannya sedang krisis, dan ATM berjalannya sudah hilang. “Gans parah. Kemaren gue liat pas dia latih tanding sama anak kelas tiga pas pulang sekolah.” Pesanan Hana sudah datang. Ia langsung menyantap makanannya. “Terus dia, ‘kan, katanya kalem, tapi pas lewat depan gue lagi duduk dia bilang misi dong. Anjir baper gue.” Hana mendecih, jangan bilang yang dimaksud Tobias. “Apa dia suka sama gue, ya?” Sontak Hana terbatuk. Jus jeruk yang ia seruput tersedak. Ia memukul dadanya untuk menghentikan batuknya. “Enggak anjir! Pas gue panggil juga dia nengok kok terus nunduk sekilas gitu. Et, emang dianya sopan aja.” Hana seperti tengah dihantui oleh Tobias. Setiap tempat yang ia kunjungi selalu terdengar nama lelaki itu. Dengan cepat ia memakan bakso di mangkuknya. Sekali teguk ia menandaskan jus jeruk di gelas. Beberapa orang melihatnya dengan pandangan ‘selaper itukah?’ Hana beranjak dari duduknya. Melangkah menuju kelas. Di sepanjang lorong ia selalu mengucapkan, “Kalian ngomongin Tobias, ‘kan? Iya, ‘kan?” Responnya macam-macam. Ada yang langsung bergeleng cepat dan pergi, mungkin memang benar. Ada yang menatap sinis. Ada yang membalasnya dengan ucapan, “Tobias siapa lagi, kenal juga enggak.” Respon yang terakhir yang disukai Hana. “Bagus! Nggak perlu kenal cowo itu. Apalagi sampe suka.” “Kayak nggak ada cowo lain aja,” balas mereka. “Iya sumpah! Valid no debat! Gue suka respon lo!” Hana menunjuknya dengan jari telunjuk dan ibu jari yang terbuka. Perempuan itu berjalan mundur sambil tertawa girang. Ia tidak menyadari kalau sebentar lagi ia akan menabrak seseorang di belakangnya. “Yang ngomongin Tobias emang cewe aneh!” Dug! Tepat saat kalimat terakhir ia ucapkan, punggungnya menyentuh tubuh seseorang. “Kenapa nama gue disebut?” Refleks Hana berbalik. Selangkah mundur menciptakan batasan. “Apa lo? Jangan ngajak ngomong gue. Nggak mood!” Tobias mengendikan bahunya acuh. Ia berlalu masuk ke dalam kelas. “Tobias gue lagi marah sama lo!” Hana teriak. Sayangnya, teriakan ia tidak dipedulikan dengan lelaki itu. “Tobias gue udah nggak mau ngomong lagi!“ “Udah nggak mempan, Han.” Tangan Intan melingkar di bahu Hana. “Tobias bukan adek kecil lo lagi.” Sonia terkekeh di ujung kalimatnya. Bahkan teman-temannya saja paham dengan kondisinya. Hana mendesah pelan. “Ayo, masuk, bentar lagi bel.” Dira memberikan titah kepada teman-temannya yang masih berdiri di luar kelas. Rasanya Hana enggan memasuki ruang kelasnya. Namun, dorongan dari Intan dan Sonia memaksa tubuhnya untuk masuk ke dalam satu ruangan yang sama dengan Tobias. Bagi teman satu kelasnya, Hana dan Tobias lebih seperti adik dan kakak di mana Hana sebagai kakak yang otoriter. Awalnya mereka juga bingung dengan perubahan Tobias. Sempat berpikir kalau Hana dan Tobias bertengkar. Sampai di satu kesimpulan bahwa Tobias ingin berubah menjadi lebih dewasa. Bu Dwi sudah memasuki ruang kelas mereka. Hana meminta tukar tempat duduk dengan Gani. Ia kini duduk di posisi pojok. Dari arah Tobias duduk tubuh Hana terhalangi tubuh Gani. Dalam diam Tobias melirik ke arah Hana. Katanya Hana marah padanya. Hal yang sebenarnya paling ia takuti. Namun, sekali lagi ia harus bertahan dengan sikapnya. Hana susah payah menjaga pandangannya untuk tidak berlari ke arah Tobias. Ia harus konsisten dengan ucapannya bahwa ia sedang marah. “Tumben, Han, fokus ke depan?” celetuk Gani di sampingnya. “Diem lo. Gue lagi cosplay jadi anak baik.” Jawaban Hana membuat Gani terkekeh geli. Yang tidak Tobias tahu bahwa selama ini Hana tidak pernah benar-benar marah padanya. Hana berlari hanya untuk dikejar. Sayangnya kali ini tidak akan ada yang mengejarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN