22. Selalu Ada

1017 Kata
Hana menonjok gulingnya dengan kesal. Tobias sinting. Itulah kalimat yang ia tempelkan di guling. "Sialan lo!" Satu tinjuan mendarat di guling itu. "Bisa-bisanya lo bilang masalah gue nggak ada apa-apa!" "Lo belum pernah ngerasain ketar-ketir di akhir bulan karena kuota abis kan!" "Orang kaya nggak tau diri lo, Bi!" "Aaaa!" Dilemparnya guling itu ke atas kasur. Terdengar ketukan pintu dari arah luar. "Hana kamu ngapain di dalam. Kok berisik?" Cewek itu meringis dalam hati. Tidak mungkin ia memberitahu kalau sedang mengamuk dengan guling. "Nggak ada apa-apa, Bu." "Kalau nggak ada apa-apa tidur cepet. Besok nggak bisa bangun pagi kalau begadang." Hana berdecih, sejak kapan ia bisa bangun pagi. Mau tidur jam berapa pun bangunnya tetap kesiangan, pikirnya. "I-iya, Ibu, Hana tidur." Tanpa mau membuat ibunya mengoceh lebih lama, Hana buru mematikan lampu kamarnya. Merebahkan diri di atas kasur dan membuang gulingnya ke lantai. "Tidur di bawah lo Tobias Sinting!" Napas gadis itu masih menderu kesal. Bibirnya mencebik. Emosinya tidak akan hilang selama kalimat Tobias masih terngiang di kepalanya. Hana pastikan besok Tobias akan mendatanginya untuk meminta maaf. Dan menarik kembali perkataannya itu. "Liatin aja gue diemin lo sampe mampus. Gue anggep tembok. Cih, nggak akan mudah berdamai sama gue. Dia pikir sahabat gue dia doang." *** "Kok Tobi belum dateng juga sih." "Tau deh," celetuk Gani. "Yang deket sama Tobias kan elo, Han." Hana mengibaskan tangannya, Gani memang tidak bisa di ajak bicara. Cewek itu beranjak dari duduknya. Melongok ke luar jendela kelasnya mencari seseorang. Bagaimana dia bisa menunjukkan kemarahannya jika Tobias saja tidak datang. "Han, lo ngapain diri di bangku gue sih. Kotor tuh," protes Tia. "Sabar, Ti, gue bentar doang," kata Hana sambil menempelkan dahinya ke jendela kelas. "Ah, itu dia!" "Han, turun lo ish!" Hana buru loncat dari bangku Tia. "Bawel lo!" seru Hana sambil melewati cewek berambut kriting itu. Target Hana sudah terlihat. Ia langsung mendudukkan dirinya di kursi. Berpura-pura membaca buku dan tidak memedulikan kehadiran Tobias. "Noh, Tobias dateng--ak." Gani meringis karena mendapat cubitan di pinggang dari cewek di sebelahnya. "Nggak sekalian lo teriak depan kelas?" bisik Hana tajam. Gani merengut. "Lo dari tadi nyariin dia." "Siapa nyariin? Gue?" Hana menunjuk dirinya. "Lo halu, Gan. Gue nggak nyariin dia sama seka—" "Wajah Tobias kenapa tuh?" Ucapan Hana terpotong. Netra mata cewek itu reflek bergulir ke arah Tobias. Matanya sukses membulat melihat luka memar yang menghiasi wajah sahabatnya itu. Tobias tidak pernah bertengkar sebelumnya. Apa dia bertengkar dengan Thomas? Karenanya? Hana hampir berlari ke arah Tobias sebelum ia menyadari bahwa misinya hari ini adalah membuat Tobias memohon permintaan maaf kepadanya. Untuk itu Hana kembali duduk di tempatnya. Memposisikan tubuhnya menghadap depan. Hari ini, misinya harus berhasil. *** Nyatanya, Hana memang ditakdirkan menjadi pribadi yang plin-plan alias tidak punya pendirian. Pendirian yang ia pegang dari tadi malam harus ia singkirkan kala melihat luka di wajah Tobias. Tanpa banyak bicara, Hana menyeret Tobias menuju UKS. Awalnya Tobias sedikit memberontak. Namun, ia membiarkan saat genggaman lembut milik perempuan itu melingkar di pergelangan tangannya. "Duduk situ," titah Hana. Tobias melirik bingung kursi di depannya. "Ck, malah bengong." Hana menurunkan bahu Tobias. Membuat lelaki itu duduk di atas kursi yang ia sediakan. Hana mengambil kotak P3K. Menarik kursinya mendekat kepada Tobias. "Lo sengaja, ya, ngeliatin wajah begini biar orang pada takut." Hana mulai mengolesi luka Tobias dengan obat merah. "Gue bisa sendiri," ucap Tobias. Satu sudut bibir Hana terangkat. "Kalo bisa, pasti udah lo lakuin." Dalam hatinya, Hana ingin sekali bertanya mengenai luka-luka itu. Sesekali ia melirik raut wajah Tobias. Terkadang cowok itu meringis saat Hana menekan terlalu dalam lukanya. Dari posisi Hana saat ini, ia bisa melihat kehampaan di pancaran mata cowok itu. Hana mengerjap, rasanya ia seperti sulit bernapas. Dijauhkannya wajah dia dari Tobias. Tobias mengerut. "Lo kenapa?" "Eungh? Enggak apa-apa." Hana bergeleng cepat. Ia juga tidak paham. Mengapa perasaan sendu yang ia lihat dari Tobias terasa menyakitkan hatinya. Tobias berdiri. "Lo belum makan siang, kan? Nggak usah lama-lama di sini." "O-oh iya." Hana kelabakan merapikan kotak p3k. Tobias ikut membantu merapikan kursi yang habis mereka pakai. Usai merapikan ruang UKS, mereka berjalan bersisian menuju kantin. Sepanjang perjalanan mereka berdua terdiam, bergulat dengan pikiran masing-masing. "Duduk di mana, Bi?" tanya Hana ketika kakinya sudah menginjak lantai kantin. "Han." Tangan Tobias menahan pergelangan tangan cewek itu. Hana sedikit terkesiap. "Soal yang kemaren. Maaf gue udah ngomong yang kelewatan." Kelopak mata Hana bergerak. Tak menyangka bahwa Tobias mengucapkan maaf kepadanya. Cewek itu berdehem. "Emangnya lo kemaren ngomong apa?" Harusnya Tobias paham, kalau Hana tidak akan mudah melepaskannya. Ada sedikit ego yang menahan Tobias mengakui kesalahannya. "Ya, omongan gue. Kalo gue ada salah." "Iya paham. Tapi yang mana?" Hana melipat kedua tangannya di depan d**a. Alisnya terangkat saat Tobias melemparnya tatapan tajam. "Ya, lo kan, cewek suka baperan. Barang kali omongan gue ada yang buat lo sakit hati. Gue minta maaf." "Haha lucu. Masa mau minta maaf nggak jelas sama kesalahannya." Raut wajah Tobias sudah berubah. Dalam hati Hana tergelak melihat kekesalan yang tercetak jelas di depannya. "Ah, terserah lah." Tobias mengibaskan tangannya. Ia melengos masuk ke dalam kantin. Ia menyesal sudah menurunkan sedikit egonya kepada Hana. Seharusnya ia tidak gampang luluh dengan sikap baik cewek itu. Pasti ada maunya kalau seorang Hana Lovira memperlakukan dirinya baik seperti tadi. "Loh?" Hana mengintil dari belakang. Cewek itu loncat-loncat berusaha membuat Tobias melihatnya lagi. "Lo tadi minta maaf. Maaf soal apa?" "Apa sih. Ga jadi." "Dih, cowok nggak boleh gampang ubah omongan. Lo minta maaf tadi. Maaf buat apa?" cecar Hana sambil terus meloncat dan berjinjit. Karena ketidakseimbangannya, cewek itu hampir menabrak orang di belakangnya. Untung saja Tobias reflek menarik bahu Hana. Cewek itu tersentak. Wajahnya berjarak beberapa senti dengan tubuh Tobias. Aroma pinus milik Tobias menyapa indra penciuman Hana. "Maafin temen saya, Kak," ucap Tobias sopan. "Lo hampir nabrak kakak kelas," bisik Tobias tepat di telinganya. Suara berat Tobias entah mengapa memberikan sensasi aneh bagi Hana. Tubuh Hana membeku. Merasa tidak ada respon dari cewek di depannya, Tobias memiringkan wajahnya. Ia menarik ujung rambut gadis itu pelan. "Aak!" "Kok bengong sih." Alis Tobias terangkat. "Ayo, ambil makan." Hana menatap punggung Tobias yang berjalan menuju stan makanan. "Gue kenapa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN