11. Asumsi

1145 Kata
Tobias memang sengaja ingin mengerjai Hana. Padahal ia pikir gadis itu tidak akan menuruti perintahnya. Sempat tak percaya saat ia melihat perempuan boncel dengan rambut acak-acakan tengah membawa bola voli miliknya. Saat Hana memukulnya, Tobias tidak lagi menghalau, sepertinya memang dia sudah keterlaluan. Maka dibiarkannya Hana mencak-mencak. “Han, lo mau dikenalin sama Kak Radit?” Dagu Tobias menunjuk kakak kelasnya yang bertubuh tinggi atletis. Hana tak menjawab. Terdengar desahan kecil lolos dari mulutnya. Tobias penasaran, tetapi tidak ingin menanyakan. “Gue balik dulu, deh.” Tanpa perlu mendengar balasan dari Tobias, Hana berlalu. Ada rasa yang kuat untuk menahan Hana. Rasanya ia ingin menyuruh perempuan itu di sini untuk menontonnya latihan. Namun, sayangnya lagi-lagi Tobias ragu. Oleh karena itu, Tobias hanya terdiam melihat punggung itu pergi menjauh. Tanpa mau memanggilnya. Seperti itu. Selalu seperti itu. *** Hana menggeram. “Tapi gue kepo mau liat dia latihan!” Kakinya yang hendak berayun menjadi berhenti. “Masa balik lagi, sih.” Padahal perempuan itu sudah berada di depan gerbang sekolahnya. Jarak dua meter menuju halte. Hana mengetuk dagunya untuk berpikir antara pulang atau mengintip Tobias latihan. Angkutan umum yang menuju ke arah rumahnya terlihat sudah tiba di halte. Biasanya angkutan umum itu akan berhenti sekitar tiga menit. Butuh waktu tiga menit untuk Hana mengambil keputusan, lari menuju halte atau balik kembali ke gedung olahraga. Ketika waktu menunjukkan tiga menit kurang dua puluh detik, saat itu juga Hana memutuskan untuk melambaikan tangan pada bus yang akan menuju ke arah rumahnya. “Gue mau ngeliat Tobi latihan dulu.” *** Tobias sedikit terkejut kala ia melihat sosok itu muncul lagi. “Tobias!” seru Fajri, temannya yang berposisi sebagai setter. Saat ini giliran Tobias yang akan diberikan bola oleh Fajri. Namun, karena Tobias tak sengaja melihat Hana, lelaki itu jadi tidak fokus. “Oh, sorry.” Tobias berlari, lalu meloncat. Tangannya bagai cambuk langsung memukul bola yang diberikan Fajri padanya. “Nice serve.” Hana melihat spike keras milik Tobias. Sedikit meringis membayangkan tangannya yang memukul bola itu. “Nggak takut patah apa,” ringis Hana. Tidak hanya latihan spike, hari ini tim voli berlatih diving dan receive bola. Latihan itu selesai saat jarum jam menunjuk angka empat. “Sekian latihan kita. Dua minggu lagi kita ada pertandingan, diharapkan kalian bisa menjaga stamina. Persiapkan fisik dan mental kalian dari sekarang karena ini pertandingan penting untuk kita. Untuk kelas tujuh karena pertandingan pertama kalian, dan bagi saya adalah pertandingan terakhir di SMA,” kata Dika, kapten tim voli SMA Galena. Tobias meraih botol minumnya. Tangannya yang lain mengambil handuk kecil untuk mengeringkan keringat di wajahnya. Di balik tegukannya ia memicing mencari keberadaan seseorang. Apa dia sudah pulang? Tobias lantas merapikan peralatan miliknya. Setengah berlari ke luar gedung olahraga, berharap orang itu masih ada. Hana cepat pergi sebelum ia berpapasan lagi dengan Tobias. Dia belum memikirkan alasan yang akan digunakan tentang keberadaannya di sana. Ia duduk di halte depan sekolahnya menunggu bus yang akan mengantarnya pulang. Tobias di balik helm fullface-nya berhasil menemukan orang yang ia cari. Ia menghentikan kuda besi kesayangannya di depan gadis itu. “Pulang bareng.” Hana mengerut, itu kalimat perintah atau ajakan. “Gue hitung sampai tiga kalau nggak buru-buru naik gue tinggal, satu dua ti—“ Hana sontak loncat ke atas jok motor Tobias. “Sabar dong!” omel Hana. Tobias melirik ke belakang, lalu ia membuka jaketnya dan di lempar ke belakang. “Besok-besok pake celana panjang.” Setelah mengatakan itu Tobias langsung tancap gas. Membuat Hana bengong selama beberapa detik. Mencerna maksud perkataan lelaki itu. “Gue, ‘kan, cewe masa pake celana panjang. Ish, eror lo, ya!” Hana berseru di belakang punggung lelaki itu. Seharusnya motor itu berhenti di halte depan perumahannya untuk menurunkan Hana atau di depan rumah gadis itu sekalian. Namun, Tobias tidak membiarkan dirinya dinilai cukup baik dengan menurunkan Hana di depan rumahnya. “Tobias! Gila lo, ya! Gue jauh anjir jalannya.” Perlahan motor itu berhenti tepat di depan pagar rumahnya. “Mau turun di sini atau di depan pintu rumah gue?” Hana memegang bahu Tobias, sedikit berdiri untuk menarik satu kakinya. Setelah berhasil menginjak tanah, perempuan itu mengibaskan roknya yang sedikit kusut. “Enggak terima kasih, Tobias!” “Enggak sama-sama juga, Hana!” balas Tobias. Hana berdecih, Tobias yang menganggap sudah tidak ada urusan lagi langsung masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Hana mengacak rambutnya kesal, bisa-bisanya Tobias mengerjainya lagi. Jalan dari rumah Tobias ke rumahnya sudah cukup untuk membuat kakinya pegal-pegal nanti malam teringat waktu di mana ia rela berlari karena mengira Tobias sakit keras. Belum lagi rumah di perumahan elit ini memiliki halaman yang luas. Luas satu rumah di sini setara dengan dua rumah miliknya. Bahkan sepertinya lebih luas lagi. Sebuah truk besar melewati dirinya membuat Hana sedikit berjalan ke pinggir. Sepertinya rumah kosong di depan Tobias sudah ada yang menempati. Tambah satu sultan lagi di perumahan ini, pikir Hana. Awalnya, Hana tidak begitu mempedulikan siapa yang tinggal di sana. Namun, saat satu nama disebut, berhasil membuat langkah kakinya berhenti. “Ini nanti kasih ke Tobias, ya,” ucap seorang wanita paruh baya kepada seorang gadis yang Hana perkirakan seumuran dengannya. Tobias? Kenapa dia bisa kenal Tobias? Selama perjalanan pulang hanya satu pertanyaan itu yang berputar di kepala Hana. Bahkan saat Syabil melambaikan tangan kepadanya, Hana tidak melihat. “Hana!” panggil Syabil. Ia berlari menghampiri Hana yang sudah membuka pagar rumahnya. Hana menoleh ke samping, alisnya terangkat karena terkejut atas kehadiran tiba-tiba Syabil. “Dipanggil juga dari tadi,” gerutu Syabil. “Kok dia bisa kenal Tobias, ya?” “Hah?” “Kok bisa?” Syabil menepuk jidatnya. “Belum ketemu juga alesan Tobias berubah?” Hana menggeleng lemah. “Tapi hari ini Tobias punya tetangga baru.” Syabil terlihat sedikit antusias saat Hana memulai cerita. “Sultan juga?” Mata Hana memutar. “Ya, jelas.” Tangannya kembali melanjutkan aktifitasnya yang terhenti, membuka pagar. “Kenal Tobias?” tanya Syabil sambil membuntuti Hana. “He’eh.” “Punya anak cewe?” Syabil bertanya lagi. Hana duduk di kursi depan rumahnya, menunduk untuk membuka sepatu. “Iya.” Lalu ia mendongak. “Menurut lo gimana?” Syabil ikut duduk di samping kursi Hana. Wajahnya menekuk serius seperti berpikir keras. “Mungkin itu ada kaitannya sama perubahan Tobias.” Kursi yang Hana duduki berdecit kala perempuan itu menggeser mendekati Syabil. Ia memajukan wajahnya. Dengan raut penasaran itu Hana bertanya, “Gimana?” Syabil menggeser tubuhnya menghadap Hana. Tidak menyangka kalau Hana masih mendengarkannya setelah kemarin ia memberikan pendapat yang salah. “Lo yakin, nih, mau dengerin gue lagi?” Alisnya naik satu. Hana mengangguk cepat. “Iya!” Syabil berdehem. “Jadi, gini.” Wajahnya berubah menjadi serius. “Saling kenal dan jadi tetangga. Menurut n****+ yang gue baca, biasanya alur cerita kayak gini ujung-ujungnya mereka dijodohin.” Seharusnya memang Hana tidak perlu lagi meminta pendapat Syabil. “Dijodohin?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN