13. Coretan Tinta

1198 Kata
Biasanya, Hana akan kesal jika mendapat perintah seperti itu oleh ibunya. Biasanya, Hana dengan seribu satu cara mengupayakan untuk tidak menuruti titah dari ibunya. Namun, kini senyum Hana merekah saat satu pesan masuk ke dalam gawainya. ‘Tolong temenin Tobias, ya, Han. Soalnya papanya Tobias kayaknya nggak akan pulang, tadi Ayah nelpon katanya harus ke Bandung. Perhatiin makannya. Inget, fotoin kasih ke Ibu!’ Kurang afdal memang kalau belum memberikan foto untuk bukti bahwa Hana menjalankan perintah dengan baik. Biasanya, Hana akan malas melakukan itu karena memang dasarnya ia tidak mau disuruh-suruh. Namun, kali ini berbeda dengan cara inilah ia bisa memiliki alasan mendekati Tobias. Untuk itu ketika sepulang sekolah lelaki itu menuju ke perpustakaan, Hana mengintil dari belakang. Hana yang hendak masuk ke dalam ruang perpus terhalang dengan tangan Tobias yang menghadang. “Lo ngikutin gue?” Mata Hana mengerjap. Satu tangannya refleks terangkat ke depan wajah Tobias. “Wait!” Sedangkan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menggulirkan layar ponselnya. “Nih,” Hana menunjukkan isi pesan dari ibunya, “jadi hari ini gue diperintah atasan untuk nemenin lo.” Tobias mendesah pelan. Ia berbalik dan melepas pegangan pintu. Membuat pintu otomatis itu tertutup sebelum Hana masuk. “Anjir! Tahan dulu kek,” gerutu Hana sambil mendorong kembali pintu perpustakaan itu. Aroma kertas menyeruak masuk ke dalam rongga hidung Hana ketika perempuan itu memasuki ruangan. Suasananya tampak lebih sunyi dibanding jam istirahat tadi. Hana menyipit, mencari keberadaan lelaki bertubuh jangkung. Tobias berdiri di antara rak berisi kumpulan sastra lama. Melihat itu Hana jadi teringat tugasnya untuk minggu depan. Tobias ke sini untuk mencari referensi tugas. Berbeda sekali dengan dirinya yang tampak acuh tak acuh dengan sekolah. “Mau pulang jam berapa?” “Lo kalo capek nunggu, pulang duluan aja.” Hana bergeleng cepat. Walau ia sangsi Tobias melihatnya. “Gue nemenin lo, itu jobdesk gue hari ini.” Tobias mengambil salah satu buku dan membawanya ke meja. Hana ikut menempatkan bokongnya di samping Tobias. Hana membuka aplikasi pengantar makanan. Mencari berbagai menu yang cocok disantap saat makan siang. “Mau makan apa, Bi?” “Nanti aja pas di rumah.” Hana mendesah panjang. Ia menutup layar ponselnya dan menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. Perempuan itu mulai suntuk. Apalagi saat Tobias sudah terfokus dengan bacaannya. Hana memperhatikan perubahan raut itu dari samping. Alisnya sesekali mengerut lalu mengendur. Ekspresi saat Tobias kesulitan memahami kata-kata dalam buku. Saat seperti ini Hana jadi menyadari perubahan apa yang ada pada Tobias dari tahun ke tahun. Alis Tobias sedikit lebih tebal dibandingkan mereka saat masih kecil. Kini, lelaki itu memiliki bentuk rahang yang tegas. Tingginya pun seperti tak terkendali. Dahulu, Hana lebih tinggi dari lelaki itu. Sekarang, tinggi Hana hanya sampai d**a lelaki itu. Hana mengeluarkan buku sketsa dan pensil hitamnya dari dalam tas. Kegiatannya saat merasa suntuk menunggu Tobias. Menggambar. Tobias melirik ke sampingnya saat tidak lagi mendengar ocehan gadis itu. Ia mengembuskan napas pendek saat melihat Hana dan buku sketsanya. Tanda bahwa perempuan itu sudah bosan menunggunya. “Pulang aja duluan.” Tobias bersuara. Membuat Hana yang tengah melukis bentuk alis terhenti. “Entar. Tanggung, nih.” “Gue tau lo bosen.” Hana sudah selesai dengan alis, ia beralih ke bentuk bibir. Ia menatap Tobias sebentar, lalu beralih ke kertasnya. “Gue udah lama nggak gambar lo. Jangan banyak gerak.” Mata Tobias yang asyik berjalan di atas tulisan menjadi berhenti. Ia mengangkat wajahnya dan melirik kertas sketsa milik Hana. Itu wajah dirinya. Detak jantung Tobias sedikit berpacu lebih cepat. Padahal Hana sudah sering melukis dirinya, tetapi entah kenapa Tobias selalu merasa dagdigdug saat melihat hasil lukisan itu. Hana Lovira, perempuan yang berhasil membuat konsentrasi Tobias hilang hanya karena coretan tintanya. *** Hana merenggut kesal tatkala anak lelaki bertubuh pendek itu masih asyik bergumul dengan bantal dan komik seriesnya. Ia tampak tidak terganggu saat Hana menarik ujung bajunya menyuruh ia bangkit. “Tobias, ih! Ayo, main sepeda!” Hana tidak kehilangan ide. Dengan susah payah ia menaiki kasur Tobias lalu membawa tubuhnya naik turun. Aksi loncat-loncatan Hana membuat Tobias terganggu. Tobias jadi tidak bisa membaca karena bukunya ikut bergerak. Lelaki itu berdecak tipis. Ia beranjak dari rebahannya dan beralih ke meja belajarnya. “Tobiii!” Hana terus merengek. “Nanti, setengah jam lagi.” Tobias memberi keputusan. Mulut Hana mencebik. Wajahnya kini sudah mirip seperti nyonya puff yang ada di film spongebob. Hana membaringkan tubuhnya di atas kasur Tobias yang dua kali lebih luas dari kasurnya. Mulai dari posisi telentang, tengkurep, hingga kayang sudah Hana lakukan. Namun, Tobias masih saja belum mengakhiri bacaannya. Tobias memang mudah Hana suruh-suruh, tetapi selain lelaki itu membaca komik. Karena hanya komik yang bisa membuat Tobias egois. Hana mulai beranjak dari kasur. Ia kini mengeksplore emari buku milik Tobias. Tangannya terhenti saat ia menemukan kertas kosong dan pensil. Hana tampak tertarik dengan dua benda itu. Ia duduk di lantai dengan membawa kertas dan pensil. Mulai menarikan pensilnya di atas kertas. Menghasilkan satu bentuk yang pertama kali ia buat. Dua orang anak kecil, laki-laki dan perempuan. Seorang anak laki-laki berkacamata dengan bola voli di tangannya. Di sampingnya anak perempuan yang berdiri dengan senyum lebar. Hana terkikik saat melihat hasil gambarnya. Ia berniat menggambar Tobias, tapi Tobias tampak aneh di lukisannya. Tanpa ia sadari, Tobias sudah di sampingnya. Melihat hasil gambar miliknya. “Kok Tobi jelek, sih!” protes Tobias. Hana tertawa geli melihat ekspresi Tobias. “Mirip tau.” Satu tangannya menutup mulut. “Enggak. Itu jelek.” “Biarin jelek.” Hana menjulurkan lidahnya. “Siapa suruh nggak mau main sepeda. Hana gambar Tobi mukanya jelek.” Tobias merampas kertas itu. “Ayo, main.” Dibuangnya kertas itu ke tempat sampah. Tobias berbalik dan berjalan dengan kaki dientakkan. Hana terkikik geli di belakangnya. Ia berlari kecil mengejar Tobias. “Besok Hana gambar yang ganteng, deh!” *** “Parah, sih, gambarnya lo buang. Padahal itu lukisan pertama gue.” Tobias merapikan buku yang berserakan di meja dan mengembalikannya ke rak buku. Hana turut merapikan peralatan gambarnya. “Gue buangnya sekali itu aja.” Tobias membela diri. Ia mengambil hasil karya Hana dan memasukkannya ke dalam tas. “Selebihnya selalu gue simpen.” Hana mengangguk setuju. “Iya, sih.” Perempuan itu mengetukan jarinya ke dagu. “Tapi, nggak pa-pa juga kalo lo buang lagi. Cuma yang pertama itu harusnya jangan. Kenang-kenangan tau!” “Muka gue jelek. Kakinya gede sebelah, tangannya panjang sebelah. Ngapain gue simpen.” Mendengar penuturan Tobias kembali membuat Hana tertawa. Membayangkan hasil gambar pertamanya yang hancur parah. Ditambah lagi objeknya adalah Tobias. “Tapi gambar gue makin hari makin bagus, ‘kan? Iya, ‘kan?” Hana meloncat untuk melihat ekspresi Tobias. Laki-laki itu hanya melirik. Karena Hana meloncat sambil berjalan mundur, perempuan itu tidak menyadari pintu di belakangnya. Tobias refleks memegang kedua bahu Hana dan menariknya mendekat. Hana terkejut saat tubuhnya ditarik. “Yang di kepala lo itu bukan mata tapi user-user. Jadi, jangan jalan mundur gitu.” Setelah mengatakan itu Tobias berjalan lebih dulu meninggalkan Hana yang tengah membeku di tempat. Wajah Hana memerah. Ada perasaan malu menyerang Hana. Entah, malu karena ia hampir menabrak pintu lalu ditarik cowok itu atau karena perkataan Tobias mengenai pusar kepalanya yang ada dua. Sialan! Bersahabat sejak kecil memang merugikan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN