26. Tak Lagi Sama

1015 Kata
"Hana pulang!" Hana membuka pintu kamarnya. Melempar asal tas kemudian membuka lemari pakaian. "Han." Rika memanggil anaknya dari ambang pintu. "Sebentar." Tangan Hana mengisyaratkan tanda 'berhenti'. "Hana pake baju dulu," katanya sambil menutup pintu kamar. Usai berganti pakaian, Hana membuka pintu kamarnya kembali. "Udah selesai!" katanya sambil menampilkan senyum lebarnya. Rika terlihat menghela napas sambil bergeleng kecil. "Ibu cuma mau bilang. Kamu jangan lagi nginep-nginep di rumah Tobias." Kedua alis Hana terangkat. "Kenapa?" "Yaa, udah nggak boleh, Han. Kamu sama dia kan udah gede bukan anak kecil lagi." Hana hanya menatap bingung ke arah ibunya. Rika dapat melihat kerutan yang mulai timbul di kening anaknya itu. "Emang kalau udah gede kenapa? Kan rumah Tobias masih muat kalau aku nginep di sana." "Bukan masalah itunya." Rika sudah tak tahan, ia menepuk jidatnya. "Udah intinya jangan nginep ke sana lagi. Kamu udah gede," putus Rika kemudian berlalu ke dapur. Tapi, bukan Hana kalau tidak bisa mendapatkan jawaban yang jelas. "Iya, Bu. Tapi kenapa kalau aku udah gede?" cecar Hana lagi sambil mengintil dari belakang. "Kamu sama dia udah puber! Gak tau puber? Tau kan? Nah, itu bahaya. Masa yang kayak gini harus dijelasin." Hana tersenyum. Kemudian tiba-tiba tertawa. "Bu, emang Ibu pikir Hana bakal tertarik gitu sama Tobi?" Cewek itu menggerakkan jari tangannya ke kanan dan ke kiri. "Dia udah Hana anggap sebagai saudara," katanya sambil menepuk bahu Rika. "Udah ah. Ibu nggak usah khawatir gitu. Lagian sebelum 'ngapa-ngapain' juga Hana keburu ilfeel duluan keinget Tobias pernah ngompol di celana," tutur Hana sambil mengibaskan tangannya. "Tapi, Han—" "Ah, Syabil dah dateng tuh kayaknya. Hana izin main dulu, ya. " Tanpa mau mendengar penjelasan ibunya lagi. Hana langsung berlari ke luar rumah sambil melempar lambaian tangan. "Huh." "Kenapa lo?" tanya Syabil bingung. Hana menarik tangan Syabil ke luar rumahnya. "Dah, di rumah lo aja gue ceritain." *** Tadinya Hana mau langsung menuju halte untuk menunggu angkutan umum menuju sekolahnya. Namun, karena kebetulan hari ini ia bisa bangun pagi. Hana berencana berangkat bareng Tobias. Cewek itu akhirnya berbelok masuk ke dalam perumahan Tobias. Dari kejauhan Hana sudah melihat pagar rumah Tobias terbuka. Suara mesin motor cowok itu pun sudah terdengar di telinganya. Hana berlari menghampiri tujuannya itu. "Tobi! Berangkat bareng!" Tobias di balik helm fullface-nya sedikit terkejut. "Lo ngapain jauh-jauh masuk sini." "Mau bareng lo lah," kata Hana sambil menaiki motor besar milik Tobias. "Lumayan uang ongkos gue irit. Lo kan sekarang udah nggak mau dateng ke rumah gue. Ya udah gue yang ke rumah lo." Tobias bergeleng kecil. Segitunya Hana menginginkan uang ongkosnya tetap utuh. "Kak Tobias!" Suara yang familiar itu membuat Hana dan Tobias menoleh ke arah sumber suara. "Malam minggu jangan lupa, ya." Satu kata yang membuat senyum yang sedari tadi tercetak di wajah Hana memudar. *** Hana menggoyangkan kakinya di bawah meja. Malam minggu ada apa? Cewek itu entah mengapa merasa gelisah. Ia menggigit kukunya. "Gan." "Hmm" "Kalo misal nih ya. Ada cewek yang bilang ke cowok 'malam minggu jangan lupa, ya.' itu tandanya apa?" Kelopak mata Hana naik turun menunggu jawaban Gani. "Ya berarti mau malam mingguan. Gitu aja nanya," ucap Gani acuh tak acuh. Melihatnya membuat Hana berdecak kesal. "Si cowok nggak pernah malam mingguan sebelumnya." "Ya terus mentang-mentang nggak pernah malam mingguan nggak boleh sama sekali malam mingguan gitu?" Gani menaruh pulpennya dan memutar wajahnya ke arah Hana. "Lo lagi ngomongin Tobias?" Mata Hana membeliak. "Apa?! Si-siapa yang ngomongin Tobi haha kacau lo ya. Setiap gue ngomongin cowok tuh bukan berarti Tobias, ya." Gani mengangkat dua bahunya. "Lo kan selalu gitu." "Selalu apa—ish, tau ah. Males gue cerita sama lo." Cewek itu membuka bukunya kasar. Sikunya bahkan menyenggol tempat pensil Gani hingga terjatuh. "Dih, dateng bulan lo? Ngomel-ngomel terus," keluh Gani sambil mengambil lagi tempat pensilnya. Hana mencebikan mulutnya. Ngomong sama Gani memang bukan pilihan yang tepat. Diam-diam Hana melirik ke arah Tobias. Apa iya Tobias mau jalan bareng Viola? Pertanyaan itu bernari di benak Hana saat ini. *** Hana berdecak malas melihat meja Tobias sudah dikelilingi anak voli. Padahal niatnya makan siang bareng cowok itu. Terpaksa Hana harus bergabung lagi dengan teman-temannya yang lain. "Anak voli emang harus ngumpul gitu, ya?" tanya Hana kepada Dira. Dira ikut melihat objek yang dimaksud Hana. "Oh, itu. Mereka itu kumpulan anak-anak ambis. Lo tau kan mereka lagi bersaing sama anak basket?" "Owh." Hana mengangguk kecil. "Piala bergilir itu?" "Nah, itu," ucap Dira sambil menjetikkan jarinya. "Oh, iya ngomong-ngomong, lo nggak ikut ekskul?" "Enggak," jawab Hana enteng. "Emang boleh?!" Intan terdengar terkejut mendengar jawaban Hana. "Ck, gue ikut ekskul karya tulis. Tapi, ya cuma buat memenuhi syarat rapot doang." "Oh." Semua orang yang mendengar itu hanya mengangguk paham. Ekskul yang diikuti Hana memang ekskul terbelakang di sekolah mereka. Terkenal dengan ekstrakulikuler sisaan. Kenapa dibilang seperti itu karena kebanyakan yang masuk situ tidak punya minat dan bakat di bidang lain sedangkan sekolah mereka mewajibkan muridnya memiliki satu ekskul yang diikuti. Awalnya Tobias masuk situ juga bersamanya. Namun, saat ini ia sudah masuk tim voli dan meninggalkan ekskul karya tulis. "Denger-denger ekskul karya tulis mau dihapus." Mata Hana langsung bergulir ke arah Dira. "Kenapa?" "Karena nggak punya prestasi. Terus kayaknya berita kalau ekskul karya tulis diisi sama anak-anak yang cuma sekedar 'numpang nama' itu udah nyampe ke telinga Pak Rio." Pak Rio memegang bagian kesiswaan sekolahnya. Ah, kalau rumor itu beneran terjadi mau nggak mau Hana harus mencari ekskul lain. "Ekskul lain yang nggak sibuk ada nggak sih?" tanya Hana kemudian. Teman-temannya yang lain hanya bergeleng kepala. Ternyata memang benar kalau ekskul karya tulis diisi dengan anggota yang sebenarnya malas mengikuti ekskul, tidak punya bakat di bidang karya tulis, dan hanya masuk ke situ untuk mendapatkan persyaratan rapot alias numpang nama saja. "Lo mulai pikirin yang sesuai minat bakat lo deh," kata Intan sambil menepuk-nepuk bahu Hana. Hana berdecak. Bakat dia 'kan selama ini morotin uang jajan Tobias. Cewek itu mengacak rambutnya kemudian menempelkan pipinya ke atas meja. Seharusnya ia tidak perlu memaksakan diri masuk SMA Galena dari awal. "Han, cepet selesain makannya. Udah mau masuk kelas. Abis ini pelajaran fisika. Kuatkan dirimu menghadapi Pak Iqbal bestie." Ya tuhaann otak Hana nggak kuat!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN