Carissa sedang menggendong bayi Aisya saat Nurma mendatanginya. Ia menepuk punggung Carissa lembut. Ia sering melakukan itu, tepukan menenangkan, memperlakukan Carissa seperti anak perempuannya sendiri. Dua orang anak Nurma sudah menikah dan mengikuti suami masing-masing tinggal di luar kota.
"Apakah sudah tidur?"
"Iya, Bu. Kasihan nangis terus. Mungkin dia rindu dengan ibunya."
Nurma tersenyum. Carissa memiliki hati yang jauh lebih lembut dibandingkan kapas. Ia bisa melihat mata wanita muda itu sembab setiap kali menggendong bayi-bayi di panti. Ia pun tak jarang melihat mata Carissa berbinar ketika sedang main bersama anak-anak. Sejak ditinggal mati oleh Roni Kalalo Carissa resmi menjadi yatim piatu dan Nurma semakin prihatin dengan kondisinya.
"Nona, besok mungkin kita sudah akan kehabisan s**u dan makanan bayi." Nurma berbicara dengan sangat pelan. Bukan karena takut jika Aisya akan terbangun tapi lebih kepada ia mengerti kondisi Carissa yang sedang kesulitan keuangan setelah kakeknya meninggal dan memutus semua suplai bantuan domestik untuk panti.
Carissa sedikit terkejut. Ia tahu cepat atau lambat Panti kembali memerlukan biaya. Ia sudah mengambil seluruh gaji bulan ini dari akun bank-nya dan memasukkan setiap rupiahnya dalam amplop coklat. Setelah meletakkan Aisya di box bayi ia merogoh amplop itu dan menyerahkannya pada Nurma. "Sekalian untuk bahan makanan. Belanjakan saja semuanya."
"Baik, Nona." Nurma berbalik setelah menerima amplop itu namun langkahnya terhenti oleh suara Carissa.
"Pengurus Panti belum digaji."
"Jangan khawatirkan soal itu, Nona." Nurma tersenyum.
"Tapi ini sudah bulan kedua." Seperti ada sebongkah batu di d**a Carissa saat ia mengucapkannya.
"Yang penting anak-anak bisa makan dengan baik. Urusan gaji kita pikirkan nanti."
Nurma menghilang di balik pintu ruang bayi meninggalkan Carissa dengan pikiran yang berkecamuk. Hampir dua bulan Opa meninggal dan selama itu pula Panti hidup dari tabungan Carissa, gajinya, hasil meminjam sana-sini. Dan sekarang Carissa sudah tidak punya sepeser pun.
Kesejahteraan pengurus panti harus menjadi prioritas agar mereka dapat mengasuh anak-anak dengan optimal. Selain itu mereka pun memiliki keluarga di rumah yang butuh biaya. Carissa merasa berdosa karena selama dua bulan ini tidak mampu memberikan gaji untuk pengurus pantinya.
Sudah dua hari berlalu sejak kemunculan Gemma di ruang tamu rumahnya. Apakah memang ia sedang tenggelam dan butuh diselamatkan seperti kata lelaki itu?
Ia menghargai keputusan Gemma untuk membantunya, namun di lain pihak ia merasa bersalah pada Gemma dan seluruh keluarganya. Ia merasa egois memaksa seseorang yang tidak ingin bersamanya menikahinya hanya untuk menyelesaikan masalah yang tengah ia hadapi. Tapi jika hal itu tidak dilaksanakan, ia merasa egois pada anak-anak dan pengurus panti yang terabaikan. Tinggal menunggu waktu panti ini tidak memiliki sepeserpun untuk membeli bahan makanan dan anak-anak akan kelaparan. Yatim piatu dan kelaparan. Kombinasi sempurna dari neraka yang dapat diciptakan oleh dunia.
Carissa benar-benar kalut. Saat itu ia hanya ingin menuruti kata hatinya untuk mengambil ponsel dan mencari kontak Gemma di sana.
***
Gibran menerobos masuk ke dalam kamar Gemma. Ia tahu adiknya ada di sana. Sejak kejadian makan malam yang berakhir Mikaila menyiramkan air di wajah Carissa, Gemma tidur di rumah orang tua mereka. Memastikan kondisi ibunya baik-baik saja dengan semua kekacauan yang telah ditimbulkan oleh Gemma.
Gemma sedang mengerjakan sesuatu di laptop saat abangnya itu masuk.
"Apakah sekarang orang-orang merasa tidak perlu mengetuk pintu dulu sebelum masuk?" Gemma melepaskan kacamatanya.
"Kau sudah memesan gedung pernikahan!?" Gibran menyembur tanpa menjawab pertanyaan Gemma.
"Ya."
"Kau gila!"
"Itu yang membawamu ke kamarku? Untuk mengataiku gila?"
Gibran menatap mata adiknya nyalang. Yang membawanya kemari adalah bayangan wajah Mikaila bersimbah air mata pada makan malam penuh tragedi itu. Carissa beranjak dan pergi meninggalkan rumah mereka. Gemma berlari menyusulnya namun sempat dicegah oleh Mikaila sebelum tangan gadis itu dicampakkannya.
"Tolong cegah dia Gibran!" Mikaila histeris.
Sebelum Gibran sempat mengejar Gemma, pemuda itu sudah kembali dengan napas yang tersengal. Tampaknya ia tidak bisa menemukan Carissa.
"Untuk apa lagi kalian masih di sini? Pertunjukan sudah selesai. Bubar!" Bentak Gemma. Suaranya menggema. Matanya menghujam kornea Mikaila. Gadis itu mengerut.
"Setelah sama-sama dewasa kita tidak banyak bicara," gumam Gibran. "Aku harap malam ini kita bisa bicara selayaknya dua orang dewasa berbicara."
Gemma diam. Menganalisa kata-kata kakaknya. Merasakan denyut di pipinya yang lebam oleh tinju Gibran beberapa hari yang lalu.
"Aku memang tidak tahu apa tujuan gadis itu memintamu menikahinya. Tapi gosip itu sudah beredar. Seorang gadis asing menerobos ruang meeting pemimpin cabang, menodongkan pistol mainan dan meminta kau menikahinya. Gadis asing yang sebelumnya tidak kau kenal."
"Aku terkejut kau tau versi panjangnya," sinis Gemma.
"Yang membuatku tidak habis pikir adalah kenapa kau mau menerima permintaannya? Kau memesan gedung pernikahan dan wedding organizer di saat seharusnya tidak lama lagi kau bertunangan dengan Mikaila." Gibran memperbaiki letak kaca matanya.
"Kau cerewet sekali, Gibran. Langsung saja bicara ke intinya. Aku sudah hampir tiga puluh tahun. Aku berhak memutuskan apa yang ingin aku lakukan dalam hidupku. Aku…."
"Ya! Itu dia!" Gibran memotong ucapan adiknya. "Aku menghabiskan waktu berhari-hari untuk memikirkan apa yang terjadi denganmu dan menemukan bahwa kau melakukan semua ini dengan alasan yang sangat egois dan kekanakkan."
Gemma kembali terdiam. Mencerna setiap kata yang meluncur dari bibir Gibran.
"Selama ini segala yang kau jalani adalah pilihan Mami. Sekolahmu, jurusan di Fakultas, profesimu, Mikaila. Semua adalah pilihan Mami dan karena kau tidak bisa menolaknya."
Gemma menelan ludah dengan susah payah dan membenarkan setiap kata yang diucapkan Gibran.
"Kau tahu kenapa kau tidak bisa menolak? Karena kau tidak punya pilihan. Oh, tentu saja kau punya, tapi pilihanmu sangat buruk dan kemudian menyadari bahwa pilihan Mami selalu lebih baik."
"Persetan dengan kau, Gibran," desis Gemma.
"Sekarang kau memiliki pilihan. Mikaila atau gadis itu. Tapi ingatlah, pilihanmu tidak pernah lebih baik daripada pilihan Mami."
"Apa maksudmu?!" bentak Gemma.
"Aku pikir kau memang sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu sendiri tapi ternyata aku salah. Kau memilih gadis yang tidak jelas asal-usulnya itu."
Gemma menahan gejolak dalam dadanya. "Aku memilih Carissa suapaya kau punya kesempatan dengan Mikaila. Aku tahu kau tergila-gila padanya sejak pertama kali bertemu. Ambillah, aku sudah bosan padanya!"
"Kau!" Gibran tidak menyangka serangan balik yang dilancarkan oleh Gemma.
Sebelum salah satu dari mereka kembali membuka suara, Rima muncul di ambang pintu.
"Ada apa ini? Kenapa teriak-teriak?"
Gemma berjalan keluar dari kamar dan melewati Rima tanpa menatapnya, "Tanyakan saja pada anak kesayangan Mami itu."
"Gemma. Tunggu dulu!"
Ia tidak memperdulikan panggilan memohon ibunya. Ia berjalan terus ke arah mobil dan memutuskan untuk menyetir pulang ke rumahnya sendiri.
Dalam perjalanan ia memikirkan setiap kata-kata Gibran. Setiap kebenaran yang dijejalkan oleh Gibran ke dalam telinganya. Sejak dulu ia memang tidak memiliki pilihan. Tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih. Sekolahnya, jurusan di Fakultasnya, pekerjaannya sekarang. Ia benci pada Gibran dan benci hidup di bawah bayang-bayang Gibran.
"Kenapa kau memilih jurusan seni? Ambillah sekolah bisnis atau akuntansi seperti Gibran."
"Lihatlah Gibran sudah bekerja. Kenapa kau masih menganggur?"
"Apa yang kau lakukan dengan kayu-kayu itu? Cobalah cari pekerjaan supaya kau bisa seperti Gibran."
Suara Rima melayang-layang dalam kepalanya seolah ibunya itu benar-benar ada di jok belakang dan meneriakinya.
Gemma sudah tergila-gila pada kayu sejak SMA. Ia sering pergi bersama Opa Maxi jauh ke dalam hutan untuk memotong-motong kayu besi dan membantu membuat rumah panggung Woloan. Ia sudah terampil membuat peralatan rumah tangga sederhana seperti rak buku ketika SMA dulu. Namun tentu saja semua hal itu bertentangan dengan keinginan maminya. Maka, Gemma mengambil akuntansi dan bekerja di Bank.
Lain cerita tentang Mikaila. Suatu ketika Rima membawa seorang temannya yang memiliki anak gadis. Ia akan menjodohkan gadis itu dengan putra kebanggaaannya, Gibran. Karena Gibran sudah cukup dewasa untuk menjalin sebuah hubungan serius dan karena Gibran sudah mapan. Lebih dari semua itu, karena Rima menginginkan menantu perempuan yang sempurna untuk mendampingi anaknya yang juga sempurna.
Hari itu, pertama kalinya rencana yang disusun Rima tidak berjalan sesuai keinginannya. Hal itu terjadi karena alih-alih menaruh perhatian pada Gibran, Mikaila terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Gemma.
Mikaila sendiri bukanlah tipe gadis yang disukai Gemma, tipikal gadis barbie seperti itu sama sekali tidak menarik buatnya, namun demi melihat mata Gibran yang tidak pernah lepas sedetikpun dari Mikaila, Gemma memutuskan untuk menyambut perasaan Mikaila.
Gemma tahu keputusannya saat itu murni menuruti ego. Tapi, jauh di lubuk hatinya ia bahagia bisa memberi Mami dan Abangnya sedikit pelajaran. Namun lama-kelamaan ia benar-benar mencintai Mikaila. Lagipula tidak susah mencintai gadis cantik, bukan?
Gemma berhenti menyetir saat memasuki gerbang perumahannya. Ponselnya berdering. Nama Carissa muncul di layar. Ia menyengir sebelum menjawab, "Kau memutuskan untuk menikah denganku?" []