TIGA BELAS

1219 Kata
Carissa sedang mengunyah satu-satunya benda yang bisa dimakan dari dalam kulkas. Parah sekali. Selain air mineral tidak ada apa-apa lagi di dalam kulkas dua pintu itu. Apakah Gemma jarang makan di rumah? Ia makan diluar terus? Tentu saja! ia tinggal seorang diri, tampak workaholic, tentu saja ia tidak punya kesempatan untuk masak. Carissa baru mengunyah sekitar tiga gigitan dari apel yang ia temukan ketika terdengar ketukan tidak sabar dari pintu depan. Laki-laki gila itu sudah pulang kah? Carissa beranjak dari sofa abu-abu di ruang tengah, mengengok ke arah jendela yang menampakkan kondisi selepas senja, lalu menghampiri dan membuka pintu depan. “Kenapa mengetuk pintu segala, sih?” Seruan Carissa tertahan. Napasnya seolah tercekat di kerongkongan ketika menyaksikan Rima dan Gibran berdiri di hadapannya. “Tante….” Carissa tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena telapak tangan Rima telah lebih dulu mendarat keras di pipi kirinya. Refleks Carissa menyentuh pipinya yang terasa panas dan menyakitkan. Gibran melenggang masuk ke dalam rumah melewati Carissa diikuti oleh Rima di belakangnya. Carissa tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti mertua dan iparnya itu masuk ke dalam rumah. Ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa Gemma tidak ada di rumah. Ia tidak lagi memiliki keberanian untuk mengatakan apapun. “Di mana Gemma?” Suara berat Gibran seolah dapat menggetarkan seisi rumah. Carissa tidak bisa menjawab karena Gemma tidak berada di rumah dan ia tidak tahu dimana sekarang pemuda itu berada. Gibran memandang lurus ke arah Carissa dengan tatapan yang seolah dapat membelah tubuh gadis itu menjadi dua bagian. “Aku tanya padamu, dimana Gemma?” “Ada apa perlu apa mencariku?” Suara Gemma terdengar dari arah pintu. Carissa menoleh ke sumber suara dan mendapati Gemma tengah menarik sebuah travel bag yang Carissa yakin diambil Gemma dari rumahnya. Itu pasti baju dan beberapa barang milik Carissa. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu, Gemma?” Rima memberondong putranya itu dengan nada yang sangat putus asa. “Sejak kapan Mami peduli dengan apa yang aku pikirkan?” Gemma yakin Rima telah mengetahui perihal akad nikah yang ia langsungkan tanpa memberitahunya siang tadi. “Kamu tega melakukan ini pada Mami? Kamu menikah diam-diam dan tidak memberitahu kami?” “Aku baru berencana mengantarkan undangannya malam ini.” Gemma menanggapi. “Tapi melihat sikap kalian, aku tidak yakin kalian mau datang besok malam di resepsiku.” Rima tampak tertekan. Gibran memegang bahu ibunya itu erat memastikan segala yang dilontarkan Gemma tidak membuat Rima kehilangan kesadaran. “Kau menukar keluargamu sendiri demi perempuan tidak jelas ini.” Gibran berseru. Pelan. Sengit. “Aku tidak sedang menukar apapun dengan siapa pun. Dan omong-omong perempuan tidak jelas yang kau maksud itu sekarang istri sahku. Suka atau tidak.” Gibran menatap mata Gemma lekat dan dibalas dengan tatapan tanpa keraguan. Gemma tidak berniat mundur sama sekali dalam pertempuran ini. Baginya ini adalah tentang dirinya mengendalikan hidupnya secara utuh melawan orang lain yang selama ini menegdalikan hidupnya semau mereka. Kali ini ia harus memenangkan pertempuran. Ia tidak akan membiarkan ada orang lain yang berbicara atas namanya. Tidak ibunya, apalagi abangnya. Carissa merasakan hawa mencekam mulai mencekik kerongkongannya. Dua kakak beradik itu boleh memiliki ciri fisik yang hampir sama, namun selain itu sesungguhnya mereka bagaikan dua kutub yang saling bertentangan. “Maafkan aku, Tante.” Carissa bersuara lirih. “Bawa Mami pergi dari sini, Gibran. Mami rasa tidak ada lagi yang harus dibicarakan.” Rima mengabaikan perkataan Carissa. Ia beranjak dengan Gibran masih merangkul bahunya erat. “Tidakkah sikapmu terlalu kasar?” Carissa bertanya pada Gemma setelah memastikan suara mobil Gibran redam di sudut jalan. “Kenapa kau minta maaf?!” Gemma membentak. Carissa sedikit tersentak dibuatnya. “Mereka menerobos masuk ke rumahku, berbicara kasar kepadamu, menamparmu, lalu kau yang minta maaf?” “Jadi kau menyaksikan semua?” “Aku tidak habis pikir dengan cara otakmu bekerja.” Gemma masih bersungut-sungut. Urat di pelipisnya tampak menegang. Napasnya memburu. Suasana hatinya jelas sedang tidak baik. “Sesungguhnya aku merasa sangat bersalah dengan apa yang telah kita lakukan ini, Gemma. Merasa bersalah pada keluargamu, pada Mikaila.” “Rasa bersalahmu tidak ada gunanya.” “Aku tahu itu tidak ada gunanya tapi....” “Sudah! Aku sedang tidak ingin berdebat.” Gemma berjalan menuju ke kamarnya dan sebelum pintu kamar itu menutup ia berujar, “Makanlah. Aku membelikanmu nasi goreng.” Carissa masih terdiam di tempatnya berdiri hingga lima detik kemudian. Ia lalu menghampiri sofa ruang tengah untuk memungut bungkusan plastik yang dilemparkan Gemma begitu saja ketika ia beradu mulut dengan Gibran. Aroma bumbu menguar dari kantung plastik. Carissa tersenyum tipis. Rupanya saat keluar tadi Gemma membelikannya makanan. *** Carissa terbangun dan menyadari ia tidak sedang berada di kamarnya. Untuk sepersekian detik ia sempat panik lalu kemudian perlahan-lahan ingatannya kembali pulih. Kemarin ia sudah menikah dengan Gemma. Ia telah pindah dan tinggal di rumah Gemma. Gemma Zaydan Maramis adalah suaminya. Tiba-tiba lambung Carissa seperti diremas menyadari seluruh kenyataan itu. Ia melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari.  Ia beranjak untuk ke toilet. Kamar Carissa tidak memiliki toilet. Satu-satunya kamar di rumah ini yang memiliki toilet adalah kamar Gemma. Langkah Carissa terhenti begitu mendengar suara gaduh dari salah satu ruangan. Ruangan yang dilarang oleh Gemma untuk dimasuki. Carissa mendekati pintu ruangan itu dan semakin yakin yang membuat kegaduhan di dalam sana bukan hanya sekadar seekor tikus. Suara besi saling beradu, suara seperti kayu dilontarkan ke dinding. Carissa tersentak mundur saat suara-suara itu makin intens. Apakah ada maling masuk ke rumah ini? Carissa bergegas menuju kamar Gemma, melupakan niat awalnya untuk pergi ke toilet, mengetuk pintu kamar Gemma pelan-pelan. Ia takut menimbulkan suara yang dapat memancing siapa pun yang berada di ruangan tadi keluar. “Gem…Gemma!” Carissa mengetuk pintu sambil terus memanggil nama Gemma dengan nada yang dikontrol serendah mungkin. Tidak ada respon dari kamar Gemma. Ia menduga Gemma tertidur nyenyak sehingga tidak bisa mendengar apapun, sementara  suara dari ruangan yang lain semakin menjadi-jadi. Dentingan besi terdengar nyaring. Suaranya seperti seseorang sedang memaku sesuatu. Carissa berjingkat ke arah dapur untuk mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai alat pertahanan diri. Ia tidak tahu di mana Gemma menyimpan pisau. Apakah di rumah ini bahkan ada pisau? Bukankah di dalam kulkas Gemma tidak ada apa-apa yang bisa dipotong dengan pisau? Carissa kembali ke ruang tengah, menyapu sudut-sudut ruangan dengan cepat lalu menemukan tas golf di sana. Ia bergegas mengampiri tas itu dan mengeluarkan salah satu stik golf. Carissa memberanikan diri mendekati sumber kegaduhan. Ia tertahan di depan pintu, ragu apakah akan membuka pintu tersebut atau bergegas kembali ke kamarnya. Ia sudah membulatkan tekad untuk menarik gagang pintu saat tiba-tiba pintu itu membuka dan seseorang keluar dari sana. “Arggghhh!” Carissa beteriak nyaring sambil memukulkan stik golf itu ke sembarang arah. “Hei! Hei!” Gemma menangkis setiap pukulan yang didaratkan Carissa di tubuhnya. Carissa berhenti melayangkan stik golf begitu menyadari sosok yang keluar dari ruangan itu adalah Gemma. “Kau ini sudah gila atau apa?!” Gemma merebut tongkat golf dari tangan Carissa. “Kalau stik ini kena kepalaku bisa bocor!” “Kau yang gila! Bikin apa malam-malam begini ribut-ribut di dalam?” Carissa hendak melongok ke dalam ruangan untuk melihat apa yang sebenarnya dilakuka Gemma, namun pemuda itu justru menutup pintu itu dan berdiri menghadang Carissa. “Aku sudah bilang, ini ruangan yang tidak bisa kau masuki!” desis Gemma. Carissa mundur beberapa langkah ketika menyadari tengah berdiri terlalu dekat dengan Gemma. Saat itu Carissa juga baru menyadari ternyata Gemma hanya mengenakan celana pendek selutut tanpa sehelai benang pun yang menutup bagian atas tubuhnya yang penuh keringat. Carissa segera mengalihkan tatapannya dari tubuh Gemma. “Apa yang kau lakukan di dalam sana sampai berkeringat begitu?” tanya Carissa. “Aku kira tadi pencuri.” Gemma tidak menjawab. Ia mengeluarkan kunci dari dalam saku celananya dan mengunci ruangan itu dari luar. “Kembalilah ke kamarmu dan tidur. Kau harus mngumpulkan tenaga untuk resepsi nanti malam.” Carissa masih mematung di tempat semula bahkan setelah Gemma menghilang di balik pintu kamarnya. “Dasar orang aneh!” gumam Carissa. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN