Bab. 9

1226 Kata
    "Saya tidak akan memberitahumu sekarang, Rania. Tugasmu, menjaga diri selagi saya pergi. Tetaplah di sini sampai saya kembali." Tuan Liem melangkah ke sisi ujung balkon dan menopang satu tangannya di atas dinding pagar besi. Sementara aku masih berdiri di tempat yang sama.   "Lama nggak perginya?" Aku mulai khawatir setelah mendengar ucapannya soal orang-orang jahat itu.   "Saya tidak bisa pastikan. Tetapi saya akan usahakan secepatnya untuk kembali."   "Emangnya Tuan mau ke negara mana?"   Tuan Liem diam, seperti ragu memberitahuku.   "Kemana?" Aku mendesak.   "Tiongkok, China."   "Boleh ikut?"   "Rania!"   "Ma-af."   "Berhenti bersikap menyebalkan. Tetaplah di sini dan ikuti aturan. Jangan melanggar apa yang saya perintahkan. Larangan pertama, jangan pernah melarikan diri atau menghubungi pihak polisi!   Tuan Liem marah padaku. Dia mengancam dan itu membuatku kembali takut. Ya, memang salahku sudah membuatnya hilang kesabaran.   Pelan-pelan aku mendekati Tuan Liem, seharusnya aku berterima kasih padanya karena dia tidak menyakitiku, dia justeru membuatku merasa nyaman di dekatnya.   "Tuan, kenapa Tuan membeli saya trus ngelindungin saya? Saya nggak mau di sini, Tuan. Bisa Tuan antar saya ke panti aja? atau ke manapun selain dikurung di tempat ini. Saya juga mau ketemu Tante Ratih, saya rindu."   "Siapa Ratih?" tanya Tuan Liem, wajahnya menatapku ingin tahu.   "Dia tante saya, Tuan. Sebelum saya kenal si penjual itu, dengan Tante Ratih lah saya tinggal."   Tuan Liem tidak menjawab apapun lagi. Dia pun tak bertanya lebih banyak. Kami larut dalam keheningan. Menatap langit tanpa cahaya dan menikmati pekatnya malam.   Aku melirik Tuan Liem, dia tampak tidak seperti biasa. Dia gelisah. Sorot matanya menunjukkan pedih, seakan ada masalah yang tengah ia hadapi saat ini. Aku tidak mengerti pikiran orang dewasa, apa yang ingin mereka lakukan.   "Rania, ada satu alasan kenapa saya menjadikanmu sebagai gadis pengecualian. Biasanya para gadis yang sudah dibeli akan dikarantina dan dipaksa bekerja. Jika gadis-gadis itu menolak atau membantah, mereka akan dikurung hingga bertahun-tahun atau mengajukan diri untuk dihukum gantung." Tuan Liem mengela napas berat, seperti ada beban yang harus ia keluarkan.   "Kamu bertanya kenapa saya akan melindungi?" Dia menatapku tajam. "Karena sinar matamu mengingatkanku pada seseorang. Garis wajah cantikmu sangat kukenal."   Aku mengerjap tak percaya, bagaimana bisa?   "Pacar Tuan Liem, ya?" Aku asal bertanya.   Sudut bibir Tuan Liem tertarik ke atas, dia sangat tampan kalau tersenyum seperti itu. Matanya menyipit menatapku dan bertanya seakan aku benar-benar anak kecil di hadapannya. "Pacar itu apa?"   Giliranku 'nyengir kuda'. "Pacar itu ... kekasih." Kini aku tergelak, dan pipiku terasa menghangat.   "Anak seusiamu apa sudah paham apa itu sebuah hubungan antar kekasih, Rania?"   "Eeh, nggak, Tuan. Saya nggak pernah pacaran. Tapi kalo naksir cowok sih, pernah." Aku menjawab dengan cepat, ya, aku cukup mengerti soal jatuh cinta. Tapi menjalin hubungan dekat tentu saja tidak pernah.   "Menurutmu, apa itu cinta?" Tuan Liem sungguh bersemangat menanyaiku. Kini punggungnya bersandar di tembok dengan kaki menyilang.   Aku bingung menjawab apa. Definisi kata cinta itu sangat luas.   "Cinta itu ... Hemm ...," ucapku ragu, aku benar-benar kebingungan. Tapi akhirnya aku mengatakan apa yang aku rasakan soal rasa cinta.   "Cinta itu ... tidak menyakiti."   Gelungan rambutku tiba-tiba terlepas, karena licin dan tidak diikat kuat. Tergerai bergelombang sedikit melayang saat tersapu angin malam. Kulihat ... Tuan Liem menatapku tidak berkedip dalam beberapa detik.   "Tuan ...." Aku memanggil, "Kenapa Tuan nanya-nanya soal cinta?"   Tuan Liem mengeluarkan sesuatu di saku celananya. Lalu membuka dompet mungil berwarna gelap dengan sangat hati-hati. Sebuah foto cetak ia ambil dan ia tunjukkan padaku.   "Lihat baik-baik wajahnya," kata Tuan Liem.   Aku tertegun cukup lama saat memandangi wanita dalam foto cetak itu. Dia ... mirip denganku, khususnya sorot mata dan warna rambut. Bedanya, dia seorang wanita dewasa, mungkin juga sudah menikah.   "Siapa dia?" Aku hendak memegang foto itu tapi Tuan Liem segera menarik tangannya dan mengembalikan foto dalam dompet.   Bibir Tuan Liem bergerak lambat menjawab pertanyaanku.   "Wanita di foto ini ... ibu saya." Suaranya bergetar.   Aku sadar sekarang, kenapa Tuan Liem mengistimewakanku di sini. Dia mengingat sosok ibunya di wajahku.   Tapi ... kenapa ada kemiripan di antara kami?   ***         Pagi-pagi sekali Kak Jihan sudah merongrongku untuk bangun. Menyuruhku mandi, lalu sarapan. Kulihat, Kak Jihan sendiri sudah rapi dengan seragamnya.   "Buruan, Rania." Kak Jihan memaksaku. Dengan malas aku menyeret langkah ke kamar mandi.   "Saya masih ngantuk, Kak. Semalem abis begadang sama Tuan Liem."   "Ngapain?" Kak Jihan tampak terkejut tapi kurasa dia sangat penasaran.   "Ngapain lagi, Kak. Ngobrol sambil nongkrong di balkon. Apa dia sudah berangkat?" Aku betanya sebelum menghilangkan dari balik pintu kamar mandi.   "Ke mana?"   Kak Jihan tidak tahu? Seperti tidak mungkin Tuan Liem hanya memberitahuku tanpa mengabarkan para pelayannya.   "Tuan Liem mau ada urusan katanya, ke Tiongkok." Aku langsung menutup kamar mandi, meninggalkan tanda tanya di kepala Kak Jihan.   Seperti hari sebelumnya, para pelayan wanita berseragam ini mendandaniku dengan cekatan. Rapi dan hasilnya sangat cantik. Aku mengenakan baju rok terusan yang mengembang. Rambut terurai sedikit diberi jepitan di atas kepala. Penampilan yang pas untuk anak seusiaku, tidak terlalu berlebihan.   Aku mencari Kak Jihan untuk menemaniku makan. Ke mana ia? Biasanya wanita itu tidak pernah jauh dariku hingga datang waktunya ia beristirahat.   "Jihan lagi di ruang sebelah sama Tuan Liem." Seorang pelayan bermata sipit mengatakan padaku saat aku bertanya padanya di mana Kak Jihan.   Sedikit mengangkat ujung rok lebarku, aku berlari kecil mencari Kak Jihan di ruang sebelah.   Mereka tidak terlihat di ruangan ini, kosong. Tapi samar-samar kudengar seseorang menangis dalam sebuah kamar.   Aku mendekat ke arah pintu kamar, mengendap-endap agar tidak bersuara. Sampai di depan pintu, benar saja, aku mendengar suara Kak Jihan. Tapi kenapa dia menangis?   "Saya mohon, Tuan. Jangan!" Suara Kak Jihan terdengar mengiba. Aku merasakan kekhawatiran dalam nada suaranya.   Aku bergeming, apa yang mereka bicarakan?   "Tuan, di sini nggak ada yang bisa melindungi selain Tuan Liem. Kumohon Tuan, jangan pergi," ucap Kak Jihan lagi sambil terisak-isak, "kasihan dia, Tuan."   "Tidak bisa, Jihan. Anak itu kamu yang jaga selama saya tidak ada. Tidak ada hal buruk, akan saya perintahkan beberapa orang anak buah saya untuk menjaga kalian dengan ketat." Itu suara Tuan Liem.   Jantungku berdegub kencang. Ada apa sebenarnya? Kenapa Kak Jihan sangat ketakutan?   "Saya takut kalau Tuan besar datang, dan tidak ada satupun yang mampu melawan bahkan berani menatap matanya sekalipun, Tuan. Anak itu bisa mati!"   "Jika anak itu mati, saya lah orang pertama jadi pemberontak." Suara Tuan Liem sangat menakutkan. Kedua kakiku terasa berat, aku ingin beranjak dari tempat ini tapi justru aku terduduk lemas.   Siapa yang di maksud Kak Jihan Tuan besar?   "Mari kita temui Rania. Mungkin dia sedang menunggu sekarang." Tuan Liem memerintah.   Aku langsung berdiri, dan tergesa-gesa berlari menuju ruanganku. Dadaku bergemuruh dengan napas tersengal. Mereka mungkin mendengar derap kakiku yang berlari kencang.   Saat Tuan Liem dan Kak Jihan menemuiku yang tengah duduk gelisah, mereka menatapku heran, dia mengatakan wajahku pucat. Tapi aku berusaha bersikap tenang dan berkata bahwa aku baik-baik saja, tidak perluh mereka merasa cemas.   "Rania, saya harus berangkat sekarang." Tuan Liem melihat arloji di pergelangan tangannya. "Jihan, jangan lupa pesan saya." Kali ini dia menatap Kak Jihan.   Aku menggigit bibir, sama seperti Kak Jihan, rasanya berat jika Tuan Liem harus pergi. Apalagi ia mengatakan tidak tahu pasti kapan akan kembali. Mungkin urusannya di Tiongkok sangat padat.   Tuan Liem menatapku lembut, sekarang aku tidak lagi berpikir macam-macam dengan laki-laki tampan itu. Karena aku sudah tahu alasannya   Mataku terpejam saat Tuan Liem mencium keningku lembut. Aroma tubuhnya seakan menempel di tubuhku, embusan napasnya juga ikut kurasakan. Aku tidak peduli Tuan Liem menganggapku sebagai apa, aku hanya ingin menikmati cinta darinya. Karena cinta ... tidak menyakiti.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN