Semua orang menatapku, intens. Aku melihat mereka berkumpul di halaman gedung, memakan buah tanaman, dan meminum air tampungan dari banyak ember berderet persis di bawah atap.
“Hei, tahanan baru, ya?” tanya salah satu dari banyak orang yang memperhatikanku. Tatapan mereka sinis, namun ada juga yang menatap iba. Aku seperti terbuang dalam penjara, bergabung dengan para kriminal berjenis kelamin wanita. Mereka terlihat kelaparan, aku membayangkan bisa saja kami di sini saling serang untuk saling memakan.
Wanita muda yang mengajakku ke sini rupanya ia memiliki tempat penampungan air tersembunyi. Ia membisikkan kata-kata agar aku tidak menghiraukan siapa pun yang mengajakku bicara.
“Ditanya malah diam!” rutuknya, hendak menggamit bajuku. Namun wanita muda yang membawaku melotot galak.
“Kalau ada cewek datang ke sini, ya pasti tahanan baru, bego! Pake ditanya!” jawabnya, masih menarik tanganku.
“Lu yang bego!” seru wanita berbadan tambun yang menanyaiku tadi. Kesal.
Aku diam. Mengikuti langkah wanita yang membawaku. Hingga akhirnya kami sampai di dekat semak-semak. Wanita itu menyimak semak-semak itu lalu ia mengeluarkan ember kecil bekas cat dinding yang terlihat sangat kotor. Namun di dalam ember tersebut air hujan memenuhinya, kotoran sudah mengendap dan air itu terlihat bening.
“Buruan, Minum. Dikit lagi langit gelap. Kita gak bakal bisa liat apa-apa lagi,” perintahnya. Sebelumnya, ia lebih dulu meminum air dalam ember bekas cat itu, dengan posisi badan berjongkok. “Embernya jangan digoyang, biar kotoran yang mendapat nyampur lagi,” ingatnya.
Aku mengangguk setelah dia menyuruhku minum. Kuikuti caranya tadi, duduk berjongkok seperti kuda. Aku sudah kehausan sekali, maka dengan rakus aku minum air itu sebanyak mungkin.
“Jangan lupa embernya kamu simpan lagi di balik semak itu,” katanya, “ember itu harta berharga yang harus kita jaga. Semua penghuni gedung ini, punya harta berharga Masing-masing.”
Aku mengerti, setelah minum, kuletakkan kembali ember itu di tempatnya semula. Tidak lupa menutupnya dengan sulur-sulur tanaman di atasnya.
“Siapa nama Lo?” tanyanya, saat kami hendak kembali ke gedung. Kami melangkah pelan sambil berbincang.
“Aku Rania, kamu sendiri?”
“Gue Aulia, umur gue delapan belas taon.”
Aku terkejut, menatapnya tak percaya. Usia kami seumuran.
“Kita seumuran,” kataku, senang akhirnya aku memiliki teman sepantaran.
Aulia tersenyum getir, sekilas ia menatap langit yang mulai menggelap. “Banyak gadis seusia kita tinggal di sini, dan mereka semua jadi mangsa di setiap datangnya pesta. Hati-hati.”
Aku mengangguk. Soal pesta, aku sudah mengetahuinya dari Silvia.
“Kamu kenal Kak Silvia?” tanyaku penasaran, aku pikir, semua orang pasti tahu siapa wanita tinggi kurus itu.
“Silvia, dia ketua tahanan di sini.” Aulia mengatakannya, dan aku baru sadar, pantas saja Silvia tahu banyak hal tentang orang-orang yang ditahan di gedung ini.
“Bagaimana orangnya? Apa dia baik?” pancingku, aku ingin mengetahuinya dari Aulia, bagaimana sifat dan karakter wanita itu selama ini.
Aulia menghadap ke arahku, ia menepuk pundak ku kuat-kuat, seraya mengatakan, “Lebih baik hati-hati sama dia.”
***
Malam semakin pekat. Sialnya, kenapa di lantai tiga tidak memilih penerangan lampu teplok seperti di lantai satu dan dua. Rasanya aku merasa benar-benar dibuang oleh para mafia itu, aku di asingkan di lantai tiga yang memang tak berpenghuni.
Dulu, semua tahanan memiliki kamar tahanan masing-masingnya, setiap kamar berjumlah 15-20 orang. Semua dibagi rata, namun setelah banyaknya anggota yang suka menggantung diri di lantai tiga, maka para tahanan menjadi ngeri sendiri, mereka bilang lantai tiga lantai setan. Sebab banyak kasus kematian terjadi di sana, dan mayat-mayatnya pun masih berada di sebuah gudang di sayang kanan ujung, mayat-mayat itu dibiarkan sampai menjadi tengkorak.
Dua tahun berada di gedung ini membuat Aulia cukup memahami apa yang terjadi. Ia masih terbilang baru, wanita-wanita lainnya yang menyebut mereka senior adalah mereka yang bertahan hingga 5 sampai 10 tahun.
“Mereka yang bertahan lama, biasanya diistimewakan oleh beberapa mafia yang menyukai mereka. Jadi, beruntung jika ada mafia yang menyukai kita, meski terkurung, kita tetap masih bisa hidup.”
“Apa salah satu dari mafia itu ada yang menyukaimu?” Iseng saja kutanyakan itu padanya.
“Ada, namanya Deri. Dia bilang, kalau ingat gue, dia inget keponakannya yang cantik di rumahnya. Bang Deri itu berengsek, tapi gue bersukur sih dia suka sama gue, seenggaknya gue bisa hidup sampe sekarang.”
Aku menelan ludah. Deri? Mendengar nama itu membuatku mual, apa mungkin Deri yang Aulia maksud itu Om Deri?
Aku tak berani menyatakan lebih lanju. Mungkin saja Deri yang lain, bukankah mafia-mafia itu berjumlah banyak? Mungkin saja sebuah kebetulan mereka memiliki nama yang sama. Namun jika Deri itu Om Deri, tamatlah riwayat Aulia.
“Rania, kenapa lo sampai di tahan di sini?” tanya Aulia, sejak tadi ia tak menanyakan apa-apa padaku.
Karena ditanya, aku akhirnya menceritakan awal kejadian. Aku ditipu oleh Bang Junet dan temannya, menceritakan itu membuatku menyesal, mengapa aku percaya begitu saja pada anak Bu Darmi, seharusnya aku tak sebodoh itu.
“Begitulah ceritanya, hingga Tuan Liem Xingsheng mengatakan dia sudah membeliku dengan harga mahal. Apa itu menurutmu masuk akal?” Aku melihat ke arah Aulia, ia duduk di sampingku bersandar menghadap jendela yang terbuka. Cahaya bulan purnama memasuki kamar, bias menerpa wajah kami.
“Gue gak yakin Lo dibeli oleh Tuan Liem,” sangkal Aulia, dan itu terdengar masuk akal. Aku sendiri tak mempercayainya, tetapi apa yang kualami selama berada di dekat Tuan Liem, dia seakan membenarkan ucapannya. Aku menceritakan semuanya pada Aulia, tentang bagaimana sikap baiknya terhadapku, para pelayan yang menaruh hormat, dan aku mengenal Kak Jihan di sana. Mendengar aku menyebut nama Kak Jihan, Aulia baru menyadari bahwa ceritaku benar.
“Apa cerita Lo bisa dipercaya?” Aulia meyakinkan.
“Ya, aku gak bohong. Apa gunanya menyebarkan cerita palsu? Apa kepalsuan itu bisa membuatku selamat dari sini?”
Aulia tersenyum sini. “Gue hampir gak bisa percaya sama siapa pun di gedung ini. Gedung ini sudah mirip kayak haremnya sang Raja. Mereka saling sikut, saling menjelekkan, dan berusaha menunjukkan keistimewaan masing-masing. Demi bisa bikin para mafia jatuh cinta dan akhirnya membebaskan mereka. Cuih!” Aulia meludah sembarang, kamar ini seperti tanah atau rerumputan baginya. Jelas ia menunjukkan emosi dalam dirinya.
Hening merajai, kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aulia masih sinis menantang langit terang di luar jendela, sedangkan aku masih memikirkan banyak hal di gedung ini. Silvia, pesta, air tampungan, dan berapa jumlah wanita tahanan di gedung ini sebenarnya.
Aku ingin bertanya pada Aulia tentang Silvia, namun kuurungkan saat kami tiba-tiba dikejutkan oleh suara gaduh dari lantai bawah.
“Apa yang terjadi?” Aku beranjak dari duduk dan refleks ingin melihat kegaduhan di bawah sana. Namun dengan cepat Aulia menahanku.
“Tetap diam aja di sini,” ingatnya, “jangan pernah urusin yang bukan urusan lo.”
“Ta-tapi ....”
“Rania, kunci selamat di gedung ini, yaitu dengan cara sembunyi. Apa pun yang terjadi. Jangan sering menonjolkan diri di antara mereka. Cewek-cewek di gedung ini semuanya kesetanan.”
“Apa maksudnya?”
“Nanti juga bakal tahu,” jawab Aulia, “tempat ini lebih mengerikan dari yang Lo bayangin sebelumnya.”
Itu mengerikan. Apa ada yang lebih mengerikan lagi dari sekadar mendekap di dalam sebuah kamar bau tanpa makanan dan minuman? Rasanya aku ingin cepat mati saja, tetapi kata-kata Silvia terus terngiang, tetap semangat berjuang, dan jangan pernah berpikir tuk mengakhiri hidup.
Suara gaduh di lantai bawah kurasa semakin menjadi. Jeritan, raungan, teriakan-teriakan keras serta umpatan itu tak terhindarkan. Kurasa hampir seluruh gedung ini mereka bertengkar.
“Lebih baik kita tidur,” ajak Aulia, ia mulai lelah, membaringkan tubuh kurusnyanya di lantai.
Aku ikut berbaring di sampingnya. Kami seperti anak kembar yang sedang menunggu keajaiban. Kulirik Aulia menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala, menjadikan lengan tangannya sebagai bantal. Lagi-lagi aku meniru gaya kerennya, Aulia terlihat tomboy sekali.
Baru saja mata kami memejam. Menikmati kesunyian di kamar ini, Silvia datang tanpa permisi.
Wajahnya tegang, ia menatapku lekat.