Tugas lain seorang ibu negara ala ala, selain wajib jadi pantner tempur bapak negara, kapan pun dan sebanyak yang dia mau, adalah membantu bapak president pakai baju, kalo bersiap tugas kerja. Jadi setelah tempur pagi pagi, kami mandi, setelahnya, aku rapi pakai baju, ya menyiapkan baju kerja bapak negara. Dianya santai menunggu sambil menerima telpon dalam kondisi masih handukan.
“Bajumu Yang!!” jedaku.
Dia mengangguk dan masih menerima telpon, lalu dengan satu tangan membuka lilitan handuk untuk memakai boksernya. Astaga.. udah tempur masih aja bikin gemes si Dodo. Aku jadi cengar cengir sendiri. Aku menggeleng waktu suamiku bertanya lewat tatapan matanya. Masa iya bilang si Dodo masih buat gemes, yang ada aku di pepet lagi di lemari. Kapan rapi tugas emak emak rasa ibu negara hari ini?. Lalu aku mengawasinya lagi yang melanjutkan memakai celana panjangnya, dan membantunya saat kesulitan mengancingkan celananya. Baru bagian pakai kemeja bagianku. Lamanya telepon doang, sampai selesai aku mengancingkan kemejanya, tidak selesai selesai. Waktu aku selesai memasangkan dasi baru selesai juga telponnya.
“Yang kamu gak usah ke tempat Reza ya!!, kerja di rumah aja, aku gak bisa antar kamu, pakai aja ruang kerjaku di rumah” perintahnya tepat aku membantunya pakai jas.
“Kamu sibuk?” tanyaku tepat dia bercermin memperbaiki letak jas yang dia pakai.
Suamiku menganggguk lalu mengacak rambut basahnya. Aku memberikan sisir padanya.
“Makasih” jawabnya lalu menyisir.
Aku mengawasinya lagi, dia tuh kalo mode kerja, pasti rapi dan klimis, aku rasa Barra putra kami menirunya yang rapi.
“Aku harus meeting dengan Greg dan ayahmu, nanti suruh Nino jemput anak anak ya” perintahnya baru menjawab pertanyaanku.
“Aku aja Yang, bang Nino lagi hibernasi, aku gak enak” pintaku.
Dia berdecak dan masih menyisir rambut.
“Di mana mana ibu negara mesti di kawal, kamu diam aja di rumah, kalo Nino gak mau, aku yang telpon Noni” katanya.
Aku menghela nafas. Aku jadi seperti Noni yang mesti keluar dengan suami.
“Pakai bedak gak?” tanyaku setelah dia konsen dengan rambutnya.
Dia tertawa. Lagian rambut laki sepanjang apa sih?, masa nyisir aja lama banget. Mesti banget keceh, bikin sewot.
“Kalo pakai bedak, bikin aku tambah ganteng, gak apa Neng?” jawabnya sambil menyerahkan sisir.
Aku memutar mataku.
“Anakmu 3, masih aja usaha keceh” dumalku beranjak mengambilkan parfumnya.
Obat keceh satu lagi setelah sisir.
“Eh jangan banyak banyak…aku kewangian, nanti cewek cewek betah dekat aku” cegahnya saat aku menyemprotkan parfum.
Aku langsung cemberut dan dia terbahak.
“Yaelah Yang, mama Inge bilang, kalo suami jalan dan pulang kerja jangan cemberut, jauh rezeki” ledeknya.
“Lagi bikin kesel, bilangnya cewek trus, emang kurang cewek yang kelilingin kamu?” omelku.
“Mana ada?” sanggahnya.
“Lah, aku, Tata, kak Non, kakak kembar?” jawabku.
Dia tertawa dan aku melengos sampai dia menarik lagi pinggangku dan meraup wajahku.
“Kurang tempur nih kamu, jadi sewot trus” ledeknya.
Aku jadi tertawa.
“Yuk!!, asal jangan jadi kerja” jawabku.
Dia terbahak.
“Ajakanmu masuk daftar tunggu dulu ya, nanti malam aja, aku mesti jadi bapak negara dulu, love you Neng!” jawabnya lalu menciumku sampai aku kehabisan nafas.
Dia terbahak lagi waktu aku mendorong tubuhnya menjauh.
“Ayo antar aku, keburu kesiangan!!” ajaknya.
Aku menurut setelah menaruh botol parfum. Mikir takut kesiangan sih, gak mikir kalo tadi kelamaan tempur.
“Asalamualaikum!!” pamitnya sebelum masuk mobil dan aku sudah mencium tangannya.
“Walaikumsalam” jawabku.
Dan berlalulah bapak negara. Baru aku bebas tugas, setidaknya dua jam kedepan. Aku masuk ruang kerja suamiku untuk mengurus pekerjaanku sendiri setelah menyuruh bibi masak makan siang untuk anak anakku pulang sekolah. Harus ayam goreng, lama lama anak anakku seperti upin ipin, gara gara ayah Ninonya.
“NENG!!, NENG!!!”
“YA!!!” balasku dan menemukan kak Noni muncul di pintu ruang kerja dengan wajah manyun.
Ini ibu ratu keluarga kerajaan, yang jadi tetangga sebelah rumahku, istri sepupu suamiku, yang di awal aku ceritakan. Dia yang selalu menemani ayahku olah raga pagi dan mengecek kesehatan ayahku.
“Kenapa kak?” tanyaku melihatnya masih manyun lalu duduk di sofa ruang kerja.
“Bosen Kez, laki gue molor trus kalo gue lagi halangan” keluhnya.
Aku tertawa lalu melanjutkan pekerjaanku membaca laporan via email dari Kirana, anak buahku.
“Memang belum rapi?, perasaan kita hampir barengan dapatnya” jawabku.
“Udah sih, nih gue udah mandi” jawabnya sambil menunjukan rambut setengah basahnya.
Aku tertawa.
“Kesel jadinya, masih molor aja laki gue, kampret emang” umpatnya kesal dan membolak balik majalah wanita yang dia ambil di kolong meja.
Aku tertawa lagi. Lebih berat jadi ibu ratu sih daripada ibu negara. Ibu Ratu memang sudah tidak repot urus putri kerajaan, karena sudah besar dan di larang juga oleh paduka raja. Tapi ya itu, harus layani paduka raja luar dalam, kalo lagi halangan, rajanya memilih tidur karena karena tidak bisa meminta di layani ibu ratu di ranjang.
“SAYANG, NONI AKU!!!” suara raja.
“Tuh bangun” seruku yakin suara suami kak Non yang teriak teriak.
Ibu Ratu alias kak Non hanya memutar matanya lalu melanjutkan menatap majalah yang dia pangku.
“Astaga Yang..aku di tinggal” keluh raja sakit jiwa alias bang Nino.
Aku tertawa melihat penampilannya yang berantakan khas orang bangun tidur. Cuma pakai celana piama dan kaos dengan rambut berantakan.
“Ngapain aku nonton kamu tidur” jawab kak Non malas.
Pasti setelah ini mulai drama receh khas mereka yang buat gemes.
“Yaelah, aku ngapain bangun, gak ada kerjaan” jawabnya lalu duduk di sebelah kak Non yang masih cemberut.
Kak Non bergeser. Aku jadi menonton.
“Malah geser, gimana aku bisa cium kamu” protesnya.
“Bau ih!!” tolak kak Non.
“Mana ada bau, biasanya kamu yang malah ciumin aku lagi tidur” tolak bang Nino dan menarik kak Non lalu menciumi pipinya.
Aku tertawa melihat kak Non merona.
“Malu sama Neneng” keluhnya menjauhkan wajah suaminya.
Dia berdecak.
“Neneng ada bukan ABG seperti dulu, udah ngerti urus si Dodo” jawabnya lalu berusaha menciumi pipi kak Non lagi.
Aku terbahak.
“Udah ih!!, mau ngapain cari aku?” omel kak Non.
Baru bang Nino berhenti tapi bertahan memeluk tubuh kak Non.
“Aku belum bilang sayang sama kamu hari ini, aneh Non, masa aku buka mata, wajah cantikmu gak aku lihat” keluhnya.
Baru kak Non tertawa. Recehkan?, udah tua loh, anak mereka udah perawan.
“Coba bilang dulu!!” perintah kak Non.
“Sayang Noni…cantik banget sih?, kapan kamu jelek?” keluh bang Nino setengah merengek.
Kak Non tertawa lagi.
“Sayang Ino…coba cium!!” pintanya.
Hadeh benerankan cipokan. Aku jadi menatap laptopku, bisa basah kancutku, melihat mereka cipokan sampai bang Nino menindih kak Non di sofa.
“AYAHHHHHH!!!”
Baru aku lihat salah satu putri kembar mereka masuk ruangan kerja, lalu tolak pinggang di hadapan kedua orang tuanya yang masih cipokan. Maura Queens Sumarin, alias kak Ara biasa anakku memanggilnya.
“Astaga yah, kunci mobilku mana?” keluh Maura galak.
Baru orang tuanya berhenti cipokan lalu bangkit terduduk.
“Ganggu aja sih Ra!!” protes ayahnya.
Maura berdecak.
“Aku ada kuliah jam 1 siang yah!!. Kunci mobilku” rengek Maura.
Aku jadi menonton lagi.
“Kamu kenapa gak absen subuh di mussola?, udah Kimmy sama bunda gak absen, masa kamu ikutan” protes ayahnya.
“Aku datang bulan juga” jawab Maura.
“Datang bulan sih padangan” keluh ayahnya.
Aku dan kak Noni tertawa.
“Pertama bunda, terus Kimmy gak temanin ayah absen, trus kamu?, beruntun gini, ayah kesepian” protesnya lagi.
Maura ketawa.
“Bunda udah rapi tuh” jawab Maura.
Bang Nino menatap kak Non.
“Emang iya Non?” tanyanya.
Kak Non mengangguk sambil tertawa, baru bang Nino bersorak. Ampun dah.
“Tuh ayah bisa ngamar lagi, buruan kunci mobilku” rengek Maura lagi.
“Kimmy?” tanya ayahnya.
“Ada supir pribadi, lagian heran, ayah terima bang Timmy kerja di kantor GW apa jadi supir online Kimmy sih?, banyakan ngawal Kimmy di banding kerja gambar” keluh Maura.
Bang Nino berdecak.
“Kamu iri?, cari pacar lain, yang gak mesti kuliah di Amrik, jadi bisa ayah suruh jadi driver ojek kamu, atau ayah aja yang antar kamu kuliah?” jawab bang Nino.
“OGAH!!, emang aku dede Tata, buruan yah, nanti macet” rengek Maura lagi.
“Di laci meja rias bunda” jawab bang Nino menyerah.
Maura langsung beranjak.
“Hei!!, MAURA!!” cegah bang Nino.
Maura menggeram lalu berbalik.
“Apa lagi Yah…” rengeknya protes.
“Cium ayahlah!!, gitu aja mesti di pinta, mau ayah tahan mobilmu?, apa kartu kreditmu?” omel bang Nino.
Maura tertawa lalu setengah berlalu menghampiri lagi ayahnya, lalu duduk di sebelahnya dan menciumi wajah ayahnya.
“Sayang ayah…kangen aku ya?” ledek Maura masih memeluk kepala ayahnya manja.
“Udah tau nanya, makin besar makin pelit cium ayah, mending kamu kecil yang bentar bentar cari ayah cuma minta di cium doang” omel bang Nino lagi.
Maura tertawa lalu menciumi wajah ayahnya lagi.
“Tuh aku rapel, kurang gak?” tanya Maura lagi.
“Cium ayah murah Ra, banyak yang pengen, kamu di kasih freepass malah di sia siain” omelan lanjutan.
Bukan cuma Maura yang tertawa, aku dan kak Non juga.
“Cewek cewek lain selain bunda, aku, Kimmy sama dede Tata, dapat freepass juga gak?” gurau Maura.
“Dapatlah!!” jawab bang Nino.
“Enak aja!!” kak Non bereaksi.
Bang Nino tertawa.
“Lah Adis, Puput, sama keponakanku masih ciumin aku” jawab Bang Nino.
Baru kak Non tertawa.
“Udah ya ayah keceh badai paripurna tanpa penyaringan, aku kuliah dulu” pamit Maura.
Baru bang Nino mengangguk.
“Bunda gak di cium?” todong kak Non.
Maura menurut menunduk mencium pipi bundanya.
“Mama Zia, love you, asalamualaikum!!” pamit Maura memberikan ciuman jauh padaku.
“Walaikumsalam!!” jawab kami orang tua.
“RA!!” jeda bang Nino lagi.
Maura menggeram lagi lalu berbalik sambil tolak pinggang.
“Pakai switer, kaosmu kelewat ketat. Awas handphonemu jangan mati, sama buruan pulang jangan ngayap ngayap kalo selesai kuliah” pesan bang Nino.
Maura menghela nafas.
“Okey yah!!” jawabnya lalu buru buru keluar takut ada pesan lanjutan dari ayahnya yang sakit jiwa.
Kapan sih bang Nino berhenti paranoid?, walaupun membiarkan Maura membawa mobil sendiri, setelah suamiku mengajarkannya menyetir, itu pun butuh perang badar dengan bang Nino, mobil Maura di pasang GPS supaya bisa tau Maura kemana aja. Kadang Maura dablek juga sih, sering tidak jawab panggilan ayahnya, udah tau ayahnya sakit jiwa.
“Kamu juga sih sembunyiin kunci mobil anakmu” protes kak Non.
“Lah kalo gak gitu, dia bakalan langsung berangkat kuliah, masa aku gak di cari, kalo aku kangen anakku gimana?, subuh tadi aku gak lihat dia, sampai aku tunggu lama di mussola gak nongol juga, aku udah tau pasti dia halangan, jadi gak absen subuh. Jadwal dia beruntun setelah Kimmy” jawab bang Nino.
Sakit jiwakan?, seorang ayah, kayanya bang Nino doang yang hafal jadwal menstruasi anak gadisnya. Dia bilang biar tau jadwal anak gadisnya PMS, jadi bisa tau kapan anak anaknya bad mood. Segitu sayangnya pada dua gadis kembar putri mereka.
“Non, bobo lagi yuk!!” ajaknya.
“Eh bang, Reno bilang minta tolong jemput anak anak” cegahku.
Kalo mereka masuk kamar, pasti lama keluar lagi, apalagi anak anak mereka kuliah.
“Reno ngapain?” tanyanya.
“Ada kerjaan, jadi minta tolong abang” jawabku lalu cengar cengir.
“Sana mandi, jemput anak anakmu!!” perintah Noni.
“Dapat upah gak?, males ah kalo gak di upahin” jawabnya.
Aku tertawa berdua kak Non.
“Dapat dong…tapi malam ya, aku ada kerjaan” jawab Noni.
“Jangan bohong Non, aku lagi gak ada kerjaan” rengeknya.
Kak Non mengangguk baru dia tertawa.
“Mandi ah!!, ayo Non temenin!!” ajaknya bangkit.
Kak Non menggeleng.
“Cuma bakalan nangkring di tempat tidur, dan bukan mandi, anak anakku siapa yang jemput?, gak usah alibi” jawab kak Noni.
Aku terbahak berdua bang Nino.
“Tau dia Neng, kalo mau di modusin” komen bang Nino.
Kak Non memutar matanya.
“Yah….”
Kami serentak menatap pintu masuk, dan tampak Kimora, putri mereka yang satu lagi, di ikuti lelaki tampan berjas rapi.
“Halo sayang…” sambut bang Nino.
Kimmy atau Kimora Queens Sumarin memeluk ayahnya. Lelaki muda tampan yang mengekornya tersenyum menunggu.
“Aku jalan kuliah dulu ya sama bang Timmy” pamit Kimmy.
Bang Nino tertawa waktu Kimmy mencium pipinya.
“Tim, gambar dari om Saga udah kamu kerjakan belum?” tanya Bang Nino tepat Timmy yang jadi pacar Kimmy mencium tangannya.
“Udah om, tapi belum rapi, aku antar Kimmy kuliah dulu, paling nanti malam aku lanjut, setelah jemput Kimmy” jawab Timmy lalu beralih mencium tangan kak Non yang berdiri karena Kimmy mencium tangannya juga sebelum Timmy.
“Harus kamu kerjakan, jangan pacaran trus sama anak om kerjamu!!” jawab bang Nino.
Kalo Timmy tertawa, Kimmy merona.
“Ayah…kapan pacaran trus sih?, ayah pendem bang Timmy sama kerjaan, kalo siang harus antar jemput aku kuliah” keluh Kimmy mengeluh.
“Biar De, kan abang mesti tanggung jawab sama kerjaan juga, ayo keburu macet” ajak Timmy mengulurkan tangannya pada Kimmy.
“Pegangan tangan mulu kaya anak ilang!!” protes bang Nino.
Kimmy merona lagi, sedangkan Timmy tertawa.
“Kaya kamu gak gitu aja, aku dulu kaya anak ilang yang di tuntun tuntun trus, udah sana Tim, nanti keburu macet” perintah kak Non setelah mendorong bahu bang Nino.
Timmy mengangguk, dan bertahan menggenggam tangan Kimmy.
“Mama Zia jalan dulu ya!!, love you!!” pamit Kimmy seperti Maura yang memberikan ciuman jauh padaku.
“Love you to kak, hati hati” jawabku.
Kimmy tersenyum.
“Love you Yah, bun, asalamualikum!!” pamit Kimmy.
“Walaikumsalam” jawab kak Non dan bang Nino berbarengan.
Beranjaklah mereka berdua. Aku tersenyum waktu Timmy mempersilahkan Kimmy keluar ruangan lebih dulu baru dia keluar dan menutup pintu.
“Manisnya anak itu….” Komen kak Non.
Bang Nino berdecak.
“Tambah gula Non, biar jadi gemblong” cetus bang Nino sewot.
Aku dan kak Non tertawa.
“Kamu kapan sih ramah sama pacar anak anakmu?. Dulu kamu gak begitu sama Timmy kecil, kenapa pas dia gede, kamu jutek trus” keluh kak Non lalu duduk lagi di sofa.
Bang Nino berdecak sambil tolak pinggang.
“Kalo aku ramah ramah, anakku bisa di sosot trus, rugi belum di halalin” jawab bang Nino.
“Nikahin aja, calon mantumu calon sultan semua” jawab kak Non.
“Astaga Non, masih kecil anakku” keluh bang Nino.
“Mereka mau dua puluh tahun, udah bisa buat anak kecil” balas kak Non.
Mulai deh perdebatan mereka. Aku hanya menghela nafas pelan.
“Kamu ngebet amat jadi omah, masih ada Tata yang bikin gemes, jangan mengada ngada deh, anakku mau jadi pelukis hebat sama pianis hebat, malah di suruh nikah, gimana sih?” protes bang Nino.
“Ya lagi, udah perawan di satpamin terus, yang satu pacarnya malah di kirim ke Amrik. Kamu gak tau aja, Cley ribut kangen anaknya trus, malah kamu sama Brie kompak kirim Biyan ke Amrik” omel kak Non.
Bang Nino tertawa.
“Biar aja, tahan gak si Biyan kaya aku yang 6 tahun pisah sama kamu, lagian mesti beneran jadi sultan dulu kalo mau sama Maura, anakku bukan putri kaleng kaleng, keceh badai begitu, heran kenapa Maura suka sama anak Brian, biasa aja gitu” keluh bang Nino.
Astaga…Biyan seganteng Timmy di bilang biasa aja, aku kalo seumuran Maura pasti mupeng juga.
“Lah Biyan keceh gitu, blateran, masa kamu bilang biasa aja, gimana Timmy?, yang produk lokal” protes kak Non.
Bang Nino berdecak.
“Timmy masih punya nilai lebih, karena dia jago tarung, aku bisa andelin dia jaga Kimmy. Biar aja aku siksa tuh laki dua, kalo tahan baru aku kasih restu, kalo gak tahan banting, mending minggir, aku cariin anak anakku laki yang lain. Anakku Ratu, mesti dapat yang terbaik dari yang paling baik” jawab bang Nino keras kepala.
Kak Non menggeram.
“Sana mandi, pusing dengar kamu ngomel” usir kak Non.
“Yaelah, cium dulu sih Non” pintanya sakit jiwa.
Kak Non menghindar ketika bang Nino merunduk untuk menciumnya lagi.
“Dosa Non, masa gak mau di cium suami” protes bang Nino.
Kak Non akhirnya pasrah wajahnya di ciumi bang Nino sampai dia puas lalu beranjak keluar ruangan.
“Punya laki sakit jiwa amat ya Kez?, lupa dia, cewek secantik dan sepintar apa pun di pilih, bukan milih” keluh kak Non.
Aku tertawa.
“Sabar kak, abang begitu, karena terlalu sayang” jawabku.
Kak Non tertawa. Aku lalu melanjutkan pekerjaan karena kak Non membaca majalah sambil tiduran di sofa. Bunda Ratu mana ada urus kerjaan rumah, tinggal perintah, dianya santai leha leha. Capenya bunda ratu cuma hadapin raja sakit jiwa. Tak lama bang Nino kembali dan sudah mandi.
“Aku jalan dulu” pamit bang Nino.
“Wait?” tahan kak Non.
Bang Nino batal beranjak.
“Ganteng amat jemput Tata doang” protes kak Non.
“Udah dari sananya Non” jawab bang Nino.
Emang ganteng sih, untuk ukuran bapak bapak hampir setengah abad, dan cuma pakai celana jeans, kaos dan sandal jepit.
“Wangi banget juga” keluh kak Non.
Gak bosen gitu, bilang itu trus setiap kali bang Nino keluar rumah, kalo kak Non ikut baru dia tidak ribet.
“Masa sih?, udahlah Non, kan kamu tau kalo orang ganteng pasti wangi” jawab bang Nino.
Kak Non cemberut.
“Cium!!” perintahnya.
Bang Nino tertawa lalu merunduk untuk mencium kak Non.
“Asalamualaikum…” pamit bang Nino.
“Walaikumsalam…” jawab kami berdua.
Berlalulah bang Nino.
“Laki gue kapan jelek sih?, udah ubanan malah makin keceh, kesel” komennya mendumal.
Aku abaikan, sudah terlalu biasa. Dia juga langsung anteng lagi dengan majalah. Laki keceh salah, laki jelak tetap masalah sih menurutku mah, kalo sekaya suamiku atau bang Nino. Pasti pelakor usaha deketin. Jadi paling masuk akal, cuma sabar dan berusaha tetap jadi istri yang baik.
Azan zuhur baru bang Nino kembali dan menggendong Tata.
“ASALAMUALAIKUM!!!” jerit Tata riang.
Aku dan kak Non serentak bangkit saat dia meluncur turun dari gendongan bang Nino.
“Walaikum salam” jawabku dan kak Non kompak.
“Bunda….” Rengek Tata memeluk kak Non yang terdekat.
Kak Non tertawa lalu menciumi pipi Tata.
“Mama…orang cantik pulang” katanya padaku.
Aku tertawa dan menyambut pelukannya.
“Udah sama mama dulu ya!!, ayah jemput abang dulu!!” pamit bang Nino.
Aku jadi bangkit.
“Tadi bukan sekalian bang” kataku.
Dia berdecak.
“Bunda Noni takut ngambek mah, kalo ayah dekat dekat suster aku” Tata yang jawab.
Kak Non tertawa.
“Tuh anak gue udah jawab. Absen ya Ta sama mama, ayah absen di sekolah abang kembar. Dah sayang…asalamualaikum…” pamit bang Nino.
“Walaikum salam…” jawab kami bertiga.
“Ayo mah, ganti baju, lengket ketekku, gerah….kancut aku juga…gak enak” rengek Tata.
Kak Non terbahak.
“Udah ganti baju dulu sayang, bunda di mushola rumahmu ya, sambil tunggu kamu ganti, kita absen trus makan” perintah Noni.
Tata mengangguk.
“Ayo mah….” rengeknya lagi menarik tanganku.
Aku tertawa lalu menurut. Gimana pun keluarga kerajaan, punya raja sakit jiwa, tetap aja juara. Mereka kaya raya, tapi terniat sekali untuk tetap sujud sampai mengabaikan hal lain, termasuk laparnya perut. Sujud tetap prioritas utama.