CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (18)

1685 Kata
Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (3) Kilasan peristiwa bak tayangan film yang tengah tayang itu terus saja bergulir di pelupuk mata Farah, tanpa jeda barang sedikit pun. Hingga akhirnya, tibalah ia pada suatu masa yang sebenarnya sangat tak ingin dikenang oleh Farah. Masa yang membuatnya merasa amat kehilangan, dan harus menghadapi segalanya seorang diri. Masa yang semakin mengajarkan dirinya untuk lebih menyimpan perasaan yang ia punya, sepandai mungkin, agar tak terbaca oleh siapa-siapa. Masa yang melecut dirinya untuk selalu berhati-hati dan tidak mudah percaya kepada Orang lain. Terlepas dari Siapa Orangnya. Itu adalah hari di mana Farah harus menerima kenyataan bahwa ‘Kak Fabian-nya’ tidak lagi tinggal satu rumah dengannya. Pak Handara, Ayah mereka, menyekolahkan Fabian di kota besar dan dimasukkan ke dalam asrama yang mahal dan dengan fasilitas nomor satu. Secara tidak sengaja, dia mendengar gumaman Sang Ibu yang mengawasi secara sembunyi, kesibukan Pak Handara menginstruksikan barang-barang yang harus dibawa dan tidak boleh dibawa oleh Fabian. Farah menyaksikan dengan matanya sendiri, Ayahnya itu bahkan melihat langsung bagaimana para Pekerjanya melakukan tugas mereka untuk memastikan tidak ada yang melenceng dari arahannya. “Belum tentu nanti Farah dan Fina akan mendapatkan perlakuan semanis itu. Ah! Bukan belum tentu. Sudah pasti Farah dan Fina nggak akan disekolahkan di kota besar. Paling-paling juga di kota sebelah. Aku tahu benar apa alasannya,” gumam Sang Ibu. Lirih, namun sudah cukup jelas untuk sampai ke telinga Farah. Farah mengangkat alisnya. Ia tak dapat memercayai gumaman Ibunya. Lekas Farah berbalik badan dan menatap lekat-lakat wajah Sang Ibu. Mencermatinya. “Bu? Yang Ibu bilang barusan itu benar? Kenapa, Bu? Kan Farah sama Fina juga Anaknya Bapak. Farah juga mau sekolah di kota besar, yang banyak tempat untuk jalan-jalan, banyak toko besarnya, banyak taman indahnya. Jadi asyik untuk jalan-jalan sore. Yang banyak bioskopnya, banyak pusat perbelanjaannya. Kalau sekadar kota sebelah, ah! Farah sudah pernah diajak ke situ sama Bapak. Ramai sih, tetapi tidak terlalu jauh berbeda dengan desa kita. Lagi pula terlalu dekat sama desa kita. Lalu apa bedanya dengan bersekolah di sini? Sama saja. Nggak seru. Nanti kalau Farah jadi disekolahkan di kota besar, Farah mau diantarkan sama Bapak ke sana. Farah mau ketemu sama Teman-teman baru yang banyak. Bukan seperti di sini. Farah bosan sama Teman-teman di sini,” celoteh Farah dengan mata berbinar. “Jangan terlalu tinggi mengkhayalnya, Farah. Jangan terlalu berharap. Nanti kamu malah dilanda kecewa, lagi,” kata Sang Ibu. Wajah Farah merengut. Dia tak setuju dengan perkataan Ibunya. “Memangnya kenapa, Bu?” kejar Farah, menuntut penjelasan Sang Ibu. Sang Ibu mendengkus kesal. Enggan menjawab pertanyaan Farah. “Bu, kenapa...? Kasih tahu Farah..,” tuntut Farah, masih persisten. Tangannya kini mengguncang lengan Sang Ibu, sehingga membuat Sang Ibu kian terganggu saja. Sang Ibu tersenyum miring dan menatap Gadis kecilnya. “Kamu itu Anak Perempuan, Farah. Mengerti?” “Memangnya kenapa kalau Farah Anak perempuan? Kan sama-sama Anak Bapak?” Sang Ibu menggeleng dengan jemu. “Sudahlah, kamu nggak ngerti. Kamu nggak akan bisa mengerti, Farah. Itu sangat berbeda. Terutama di mata Bapakmu,” tegas Sang Ibu. “Ibu, Farah harus tahu. Jangan buat Farah penasaran begini,” rajuk Farah. Merasa dirinya tersudut oleh perkataan Sang Anak yang notabene hasil didikannya juga, Sang Ibu memejam mata. Saat ia membuka mata, dipergokinya Sang Anak masih menatap dirinya dengan tatapan menuntut jawaban. Ia mengeluh dalam hati jadinya. Anak ini. Sepertinya dia mewarisi kekerasan hatiku. Susah kalau dibilangin, pikir Sang Ibu. Antara bangga dan menyesali. “Farah. Kamu ini masih kecil, Nak. Masih terlalu kecil untuk mengerti semua.” “Itu bukan jawaban, Bu.” Balasan Farah sungguh di luar dugaan Sang Ibu. Astaga! Anak ini! Bisa-bisanya dia menyahutiku macam itu! Nggak semestinya Anak sekecil ini sampai punya kosa kata dan pemikiran macam itu. Apa gara-gara aku juga, yang telah membuatnya jadi begini? Keluh Sang Ibu. Selintas, tampaknya ada rasa sesal yang mengusiknya. Sudah kepalang tanggung. Dia jadi lebih cepat dewasa dibandingkan usianya. Aku beri tahu saja. Toh, pada saatnya nanti dia harus menghadapi semua kenyataan di depannya. Dia bahkan juga harus melindungi Adiknya. Fina itu sepertinya sulit untuk kukendalikan. Terlalu kekanakkan sifatnya, pikir Sang Ibu kemudian. “Farah..,” panggilnya pelan. “Iya, Bu. Farah masih menunggu penjelasan dari Ibu.” Sang Ibu menarik napas panjang. “Farah, Ibu beri tahu ini hanya untuk disimpan olehmu sendiri. Ingat, ya?” Farah mengangguk. Sang Ibu menelan ludah sebelum memulai uraiannya. “Farah.., Anak Lelaki dengan Anak Perempuan itu berbeda. Bagi Bapakmu, Anak Lelaki itu adalah kebanggaannya. Anak Lelaki akan melanjutkan usaha Bapakmu, menjadi Penerus keturunannya.” “Farah nggak ngerti maksud Ibu.” Wajah Farah terlihat polos sekali, selayaknya Anak seumurnya kala mengucapkan hal ini. Diam-diam Sang Ibu merasa tergelitik mendengarnya. Ada sedikit rasa geli, bersyukur, sekaligus kecewa yang berpadu. “Ya sudah, kamu dengarkan saja sekarang. Kan tadi kamu yang minta Ibu menjawab.” “Iya, Bu,” sahut Farah. Pandangan Sang Ibu mendadak menerawang, tak lagi tertuju kepada Bocah kecilnya. Ia mendesah pelan. “Dan kamu tahu Farah, kenapa Bapak lebih sayang sama Ibunya Fabian? Karena Ibunya Fabian itu bisa memberinya Anak laki-laki. Sementara Ibu hanya memberinya Anak Perempuan. Dan kalau nanti sampai Adiknya Fabian lahir, keadaan kita akan makin sulit.” Saking kesal, Sang Ibu melontarkan hal ini. Dan begitu ia menyadari salah ucapnya, ia membekap mulutnya sendiri. Tubuh Farah langsung membeku mendengarnya. “Benar begitu, Bu? Bapak lebih sayang sama Bu Endah?” tanya Farah hendak memastikan. Kepalang tanggung, Sang Ibu terpaksa mengangguk. “Kenapa Ibu tidak punya Anak Laki-laki saja? Farah juga mau punya Adik laki-laki,” celetuk Farah kemudian. Tak dinyana, pertanyaan polos Farah membuat tubuh Sang Ibu seketika bergetar. “Itu..., tidak mungkin lagi, Farah. Ibu..., Ibu sudah tidak mungkin lagi  memberikanmu Adik. Ibu tidak bisa,” cetus Sang Ibu. “Kenapa, Bu?” tanya Farah terheran. Sang Ibu hanya menggeleng. Matanya berkaca-kaca. Farah tak tahan lagi. Jadi Bapak membuat Ibuku sedih. Aku harus bilang ke Bapak. Bapak nggak boleh begini! Kata Farah dalam hati. Mendadak, Farah keluar dari kamar tempatnya mengintai kegiatan Sang Ayah mempersiapkan kepergian Kakak Lelakinya. “Faraaah! Mau kemana kamu?” seru Sang Ibu yang tersentak. Dia segera menutup mulutnya, menyadari bahwa suaranya cukup keras dan mengundang perhatian. Segera dihapusnya setetes air mata yang bergulir di pipinya. Diam-diam, Sang Ibu terpaksa mengikuti Farah yang terus berlari, tak memedulikan panggilan darinya. Bahkan Anak itu hampir saja menabrak Bu Endah kalau saja Bu Endah tidak sigap menangkapnya. Pak Handara menarik napas lega karena Sang Istri yang berdiri tak jauh darinya dapat menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga tidak limbung apalagi terjatuh. Farah langsung meronta-ronta. Saat itulah, dia melihat Sang Ayah menatap kepadanya. “Ada apa, Farah? Kamu tidak boleh lari-lari begitu! Kalau tadi kamu menabrak Bu Endah, lalu dia jatuh, bagaimana? Itu sangat  berbahaya. Buat Bu Endah, juga buat Adik kamu yang ada dalam perut Bu Endah!” tegur Pak Handara. Sang Ibu yang mengikuti Farah, merasa tersinggung mendengar Anaknya diomeli, tetapi dia tak dapat membela. Dia terpaku di tempatnya. Namun sebuah gagasan mendadak melintas di pikirannya. Farah cukup kaget dengan teguran Sang Ayah, tetapi ia justru menghambur menabrak Ayahnya itu. Ia merasa keingintahuannya harus dituntaskan sekarang juga. “Bapak, Farah tadi buru-buru, jadi nggak sengaja hampir mau menabrak Bu Endah. Tapi kan Bu Endah keburu menangkap Farah,” alasannya. “Kamu buru-buru mau apa? Tidak perlu harus berlarian di dalam rumah ini,” tegas Pak Handara. “Sebelum Farah jawab, Farah mau tanya ke Bapak, kenapa Adiknya Farah bukan ada di perut Ibunya Farah, tapi di perutnya Bu Endah? Dia bukan Ibunya Farah,” kata Farah. Pak Handara terusik. “Farah, siapa yang mengajarimu perkataan ini? Farah tidak boleh seperti itu. Kan Bapak sudah sering bilang ke kalian bertiga, Ibu kalian itu dua. Dan kamu, Kak Fabian, Fina, serta Adik yang di perut Bu Endah nanti, kalian semua itu bersaudara. Tidak ada bedanya,” kata Pak Handara. “Tapi kata Ibunya Farah...,” Farah menggantung ucapannya. Wajah Sang Ayah menegang. Wajah Bu Endah juga tampak cemas. Dia tidak mau ada keributan di rumah mereka. Lagi pula, kondidinya yang tengah hamil itu menuntut dirinya untuk lebih tenang dan rileks. “Apa? Apa yang Ibumu katakan?” selidik Pak Handara. Farah buru-buru menggeleng. “Bapak,  Farah mau ikut antar Kak Fabian hari ini. Itu sebabnya Farah tadi berlarian, takut ditinggal sama Bapak,” rajuk Farah, mengalihkan pembicaraan. “Lain kali saja. Sekarang banyak barang-barang di mobil. Itu, Kakakmu juga sudah menunggu,” kata Pak Handara. Farah mengentakkan kakinya dengan kesal. “Jadi benar, Bapak nggak sayang sama Farah sama Fina? Bapak itu cuma sayang sama Kak Fabian?  Dan itu karena Kak Fabian Anak Laki-laki? Benar, kan?” keluh Farah. Pak Handara tersentak. Bu Endah buru-buru mengelengkan kepalanya, mencoba menyabarkan Sang Suami. Tapi Pak Handara tampaknya sudah sulit untuk menahan rasa kesalnya. “Astaga! Kamu ini bicara apa, Farah? Siapa yang mengajarimu bicara begini? Bapak sayang sama kalian semua. Tidak ada yang dibedakan,” kata Pak Handara. “Bapak bohong sama Farah.” “Bohong apa?” Farah mengerucutkan bibirnya. “Farah tahu, pasti yang disekolahkan ke kota besar cuma Kak Fabian saja, kan? Itu karena Kak Fabian Anak laki-laki? Iya kan? Pasti yang buat Bapak nggak sayang sama Ibunya Farah juga karena Ibunya Farah nggak punya Anak Laki-laki, iya juga kan? Bapak nggak adil! Bapak pilih kasih. Bapak nggak kasihan sama Ibunya Farah? Ibunya Farah suka sedih, suka menangis,” kecam Farah. Wajah Pak Handara langsung merah padam mendengarnya. Tangan Laki-laki itu mengepal. Tatap tajamnya langsung terarah kepada Istri Keduanya yang barusan disebut-sebut oleh Farah. “Keterlaluan kamu, Fatin! Kamu tega sekali meracuni pikiran Anakmu yang masih kecil ini!” desis Pak Handara penuh rasa kecewa. Bagaimanapun kesalnya dirinya dengan sikap buruk Sang Istri Kedua, pantang baginya untuk menunjukkan hal itu di depan Orang lain. Terlebih ini, Anaknya sendiri! Bu Endah tampak dalam posisi serba salah, sementara Sang Istri Kedua langsung menundukkan wajahnya. Bu Endah memilih diam, pada akhirnya. Sepertinya dia tahu, apa pun yang akan dia katakan atau lakukan, justru akan semakin mengobarkan api kebencian di dalam rumah mereka. Api kebencian yang membuat suasana di rumah tersebut jauh dari rasa nyaman serta tenteram. *                                                                              $ $   Lucy Liestiyo   $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN