CERITA MISTERI 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (26)

1638 Kata
Episode : Jatuh Cinta Berjuta Rasanya (1)    Bagas tidak terlalu lama berada di ruangan kerjanya. Ia menuntaskan apa yang menjadi prioritasnya dengan terburu-buru setelah menutup panggilan videonya kepada Windy. Usai dengan itu, Bagas memutuskan untuk mematikan laptop dan meraih kunci mobilnya. Ia bergegas keluar dari ruangan kerjanya serta tak lupa untuk menguncinya. Usai lemewati area toko bunganya, Bagas segera melangkah keluar dan menghampiri kendaraannya. * Windy tersentak ketika alarm di telepon genggamnya kembali berdering. Cukup nyaring. Ia lebih tersentak lagi kala mendapati sekarang waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi lewat lima belas menit. Semenjak tadi, memang sudah beberapa kali alaran itu berbunyi namun dengan malas ia menggerakkan jari telunjuknya di atas layar telepon genggam, mengeset ulang agar alarm berbunyi lagi setelah sekian puluh menit. Mata Windy terbelalak. Sontak Gadis itu melompat bangun dari peraduannya. “Astaga! Alamat telat sampai ke kantor ini! Gara-gara Bagas! Dia bikin aku nggak bisa tidur sampai dini hari. Dia bikin aku kepikiran sama dia melulu, dan khususnya tentang apa yang dia katakan di dalam mobil. Aku merasa, dia punya maksud tertentu saat menyampaikannya ke aku. Jadi bukan sekadar obrolan ringan,” gumam Windy lirih. Windy menyeret langkahnya menuju shower box yang ada di kamarnya. Kepalanya masih terasa agak pusing karena kurang tidur. Sama seperti beberapa hari lalu, Windy tidak sempat sarapan lagi. “Pagi, Ma,” sapa Windy. “Pagi, Win,” sahut Sang Mama, yang terlihat tengah menantinya. “Kamu kesiangan lagi bangunnya, Win? Itu dibawa saja spaghetti-nya. Buat sarapan di kantor. Biasanya hari Senin kan kamu sibuk,” kata Sang Mama, mendapati gelagat bahwa Windy akan melewatkan makan pagi lagi. Padahal sebenarnya tadi Ia sempat berpikir untuk mengetuk pintu kamar Anak Gadisnya ini. Windy yang melintasi meja makan menoleh. “Hm. Boleh juga sih Ma,” kata Windy sambil mendekati meja makan. Sang Mama sudah sigap menyodorkan sebuah lunch box kosong kepadanya. Windy tersenyum lebar. “Thanks, Ma.” Windy mengambil Lunch Box yang diulurkan oleh Sang mama dan segera memindahkan spaghetti buatan Sang Mama dari piring lebar ke dalamnya. Sang Mama menatapnya. “Windy berangkat sekarang ya, Ma,” kata Windy kemudian, sembari merapatkan tutup lunch box dengan tergesa. “Iya, hati-hati di jalan ya,” kata Sang Mama sembari mengiringi langkah Windy keluar rumah. “Tadi malam Yeslin kemari,” kata Sang Mama. “Oooh..., iya, Ma. Ngantar makanan, kan? Windy ada lihat sih, di kulkas. Nanti siangan Windy telepon dia,” sahut Windy. “Kamu kemarin seharian kemana memangnya?” tanya Sang Mama. “Hm..., Iseng, Ma. Main saja. Lagi agak jenuh sama pekerjaan,” sahut Windy seccepatnya. Sang Mama mengusap punggungnya. “Lain kali jangan kemalaman juga pulangnya Win. Kamu jadi terburu-buru begini, kan, berangkatnya? Hm....! Anak ini. Kalau Mama pas nggak di sini, Siapa coba yang cerewetin kamu buat sarapan dan hidup yang teratur?” tanya Sang Mama. Windy menghentikan langkahnya. “Kok Mama ngomongnya begitu? Memangnya Mama mau kemana?” tanya Windy. Sang Mama menatapnya dengan heran. Pelan, Sang Mama menoyor bahunya. “Kamu itu! Pertanyaannya super aneh. Sudah tahu sendiri Mama harus bolak-balik antara  Jakarta sama Denpasar, juga. Ini Papa juga sudah complain ke Mama, katanya Mama kelamaan di sini kali ini. Soalnya kan Papa juga sedang sibuk, jadi dua minggu berturut-turut ini nggak bisa kemari. Cuma nggak tahu..., sekali ini Mama kok agak berat meninggalkan rumah ini. Seperti nggak rela membiarkan kamu sendiri. Ya lihat saja, kamu ngurusin diri sendiri saja masih abai. Terus nanti, tanaman bunga bunga pasti pada mati kalau Mama kelamaan di Denpasar. Kalau yang di rumah sana sih, ada yang mengurusi kalau Mama pas di sini,” kata Sang Mama. “Uh, Mama! Yang dipikirin itu melulu. Tanaman melulu. Sudah deh Ma, Papa sama Mama tinggal di sini saja. Kan usaha Papa yang di sana bisa dimonitor dari sini. Mama juga, memangnya nggak iseng, tinggal di sana?” tanya Windy sembari membuka pintu mobilnya. “Kamu saja yang pindah ke sana, bagaimana? Papa nggak terlalu suka di Jakarta. Papa merasa lebih nyaman mengurusi galeri lukis dan toko oleh-olehnya di sana. Kamu kan bisa mencari pekerjaan di sana mulai sekarang. Rumah ini..., kita kontrakkan saja. Bagaimana?” tanya Sang Mama, melemparkan opsiyang membuat Windy tercenung. Pindah ke Denapsar? Artinya..., harus menjalani long distance relationship sama Bagas? Aduh, enggak banget deh! Kalau soal pekerjaan sih, aku nggak terlalu takut. Rasanya aku bahkan bisa meminta ke pihak Management Perusahaan untuk memutasi aku ke sana. Kan cabang yang di Denpasara akan segera dibuka. Waah..., soal ini, Mama nggak boleh tahu nih. Kalau tahu, bisa diuber-uber aku untuk cepat pindah. Aku tahu sih..., Mama sama Papa memang sejatinya nggak terlalu suka tinggal di Jakarta, apalagi setelah galeri lukis Papa semakin menjanjikan. Dan Kanaya, adik angkatku itu juga rajin mengurusi toko oleh-oleh milik kami, pikir Windy. Gadis itu setengah merenung, mengingat kepindahan Papa, Mama serta Adik angkatnya ke Denpasar sekitar empat tahun silam. Tepatnya, setelah ruko yang dijadikan sebagai galeri lukis oleh Sang Papa di Jakarta, tidak lagi disewakan oleh Sang Pemilik ruko dengan alasan hendak dipakai sendiri. Dan tepat pada saat itu, kerabat jauh Sang Papa yang sedang membutuhkan dana justru menawarkan bangunan miliknya di Denpasar, yang kebetulan sekali terletak di pinggir jalan raya. Tentu saja, sebagai Seseorang yang pada masa mudanya menghabiskan waktu sekian tahun untuk bekerja di pulau Dewata dan bahkan mengenal Sosok Istrinya di sana, Sang Papa sangat mengenal seluk beluk daerah tersebut. Ia bahkan langsung melihat lokasinya dan tanpa banyak pertimbangan, segera membei bangunan tersebut dan sedikit merenovasi bagian depannya. Hasilnya? Sang Papa menambahkan bangunan kecil semacam kios untuk dipergunakan sebagai toko oleh-oleh, serta memakai garasi yang telah direnovasi sebagai galeri lukisnya. Sedangkan bangunan asal, dipergunakan sebagai tempat tinggal mereka. Bangunan yang menjadi kian asri dengan sentuhan tangan Mamanya Windy. Windy menggelengkan kepalanya. “Nanti kita omongin deh Ma. Tapi untuk pindah ke sana, waduuuh.... Windy belum terpikir. Kalaupun nantinya rumah ini mau dikontrakkan, itu bisa juga sih, sebagai salah satu sumber pemasukan. Windy kan bisa kost saja di dekat kantor. Lebih praktis,” ungkap Windy. Sang Mama mengerutkan keningnya. “Kamu mau kost? Waduh! Jangan deh. Semakin ngaco nanti pola makanmu. Biar nanti Mama bicarakan dulu sama Papa. Untuk sementara ya seperti sekarang dulu. Kalau Mama lagi balik ke Denpasar, ya Mbok Sari tinggal di dalam dulu, biar menemani kamu dan sekaligus jadi Satpamnya kamu. Biar ngurusin keperluan kamu. Mbok Sari nggak boleh pulang hari dulu. Biar saja Anaknya sekalian tinggal di sini,” kata Sang Mama, memutuskan. Windy mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum. “Nah! Itu dia solusi yang terbaik. Oke, Windy langsung jalan ya Ma. Nanti kita lanjutkan deh. Ini bisa semakin terlambat kalau kita ngomongnya kepanjangan,” kata Windy lantas mencium pipi Sang Mama. Sang mama membalas ciuman tersebut. “Daagh! Hati-hati. Jangan ngebut,” pesan Sang Mama kala Windy membunyikan klakson dan segera melewati pagar rumah yang terbuka.   Nyaris di sepanjang perjalanan dari rumahnya ke kantor, Windy tak dapat berhenti memikirkan Bagas. Apa aku sebaiknya singgah ke toko bunga, ya? Dia kan menginap di sana. Aku kepengen tahu keadaannya. Kasihan, kelihatannya dia itu benar-benar Cowok Pekerja keras. Aduh! Tapi nggak mungkin. Mau sampai jam berapa aku di kantor? tanya Windy di dalam hati. Selintas, muncul pemikiran di benaknya, alangkah tidak sepatutnya dirinya bersikap manja dan terlalu menuntut kepada Bagas, sementara Sang Pujaan hati sesibuk itu. ... Telepon di atas meja kerja Windy berdering disertai nyala sebuah tombol bertuliskan ‘ICM’ yang menandakan panggilan yang masuk adalah panggilan internal. Lamunan Windy segera buyar. Ia menekan tombol speaker. “Windy,” ucap Windy, menyebutkan namanya. “Win. Tifa nih. Sudah pesan makan belum? Mau coba makan di resto baru yang launching hari ini, nggak? Mumpung banyak promo. Ada di lantai dasar. Kalau mau, ayo ke sana. Ketemu di depan ya,” ucap Tifa, salah satu Kolega Windy di kantor. Tifa adalah Staf Senior di bagian Public Relation. Ia menyebut kata ‘depan’ untuk menunjuk area kerja Dera, Sang Resepsionis baru yang kurang disenangi oleh beberapa Rekan kerja mereka sebab terlalu lamban menjalankan tugas hariannya yang sebenarnya amat mudah apalagi juga telah menjalani serah terima selama dua minggu dengan pendahulunya, Namira, yang mengundurkan diri lantaran akan menikah.  Tak heran, saking alerginya Tifa dan beberapa Rekan kerja mereka yang lain karena banyak kesalahan yang dilakukan Dera, seperti salah menyambungkan panggilan telepon masuk dan sebagainya, mereka sampai enggan menyebutkan namanya, hanya sebatas menyebut kata ‘depan’ untuk menggantikannya. Dan mereka hanya dapat berdamai dengan keadaan tersebut selagi menanti hasil evaluasi kerja atas Sang Resepsionis baru ditindaklanjuti oleh Perusahaan.   “Makan? Makan siang? Hah?” tanya Windy. “Iya. Ngapain kaget begitu?” tegur Tifa. “Tanggung ya? Lagi banyak kerjaan? Tinggal dulu lah. Sudah jam dua belas lewat dua belas menit nih!” imbuh Tifa. Windy terperangah dan langsung menatap arlojinya. Astaga! Kelamaan ngelamunin Bagas! Kacau! Kacau! Kacau! Semoga makanannya masih enak sesampainya di toko bunga nanti! Pikir Windy sembari menepuk jidatnya. “Tifa, aku sudah beli makanan. Lain kali deh kita makan di sana. Thanks, ya!” ucap Windy secepatnya. “Oke deh. Kalau begitu aku pesan antar saja. Males juga makan di sana kalau nggak ada Teman. Nggak seru. Bye!” Tifa pun menutup panggilan teleponnya sebelum Windy mengungkapkan penyesalannya. Ah. Itu nanti saja. Sekarang aku harus buru-buru, batin Windy, yang teringat prioritas utamanya saat ini adalah untuk secepatnya menemui Bagas dan makan siang bersama Cowok itu. Windy langsung menyambar tas karton berisi menu makan siangnya dan melesat cepat, keluar dari ruangan kerjanya, melewati koridor serta area Resepsionis, hingga mencapai lift. Dia keluar dengan tergesa dari kotak lift begitu pintu lift terbuka di lantai dasar. “Hei! Windy! Mau kemana?” Sebuah Suara memanggilnya. Suara yang tidak asing bagi Windy. Karenanya Gadis itu langsung menoleh. Hati Windy bak bertanya-tanya, “Kok dia bisa ada di sini? Saat jam makan siang begini? Ada perlu apa?” * $ $   Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN