CERMIS 2 : KEBUN BUNGA SANG FLORIST (5)

2010 Kata
Episode  : Pertemuan Pertama Yang Memberikan Kesan Mendalam Bagi Windy (2) “Sekarang, apakah kamu mau melihat tanaman hias yang lainnya juga? Ada di sebelah sana.” Bagas menawari Windy. Windy membalasnya dengan mengangguk singkat. “Boleh dong. Ayo deh kalau begitu,” kata Windy. “Ngomong-ngomong, pertanyaanku tadi terlalu random, ya? Maaf kalau membuatmu merasa nggak nyaman ya, Bagas,” ujar Windy. Bagas langsung menggelengkan kepalanya. “Enggak, kok. Kamu nggak perlu merasa seperti itu, Windy. Santai saja,” sahut Bagas. Kini mereka menelusuri bagian tanaman hias. Lagi-lagi Windy dibuat bingung. Apa yang ada di depannya ini jauh lebih banyak ketimbang yang dilihatnya tadi pagi. Bagas mempersilakan Windy melihat-lihat. “Kalau ada yang mau kamu tanyakan, jangan ragu ya. Tanya saja padaku,” kata Bagas. Entah mengapa, Windy merasa sudah tak sepenting itu bertanya tentang tanaman hias atau apapun itu. Penjelasan Bagas tentang tanaman Geranium yang rupanya juga dapat mengusir nyamuk sebagaimana halnya dengan Lavender, tidak terlalu menarik minatnya. Padahal dia sendiri yang menanyakannya. Begitu juga ketika dia selewatan mengenai tanaman tanaman lidah buaya yang ia sentuh, sebenarnya dia juga  tidak terlalu ingin tahu mengenai tanaman yang satu itu. Selama ini toh ia sudah tahu beberapa kegunaan tanaman yang satu itu. Dia juga sudah tahu bahwa  selain untuk menyuburkan rambut, gel bening dari tanaman tersebut juga dapat digunakan untuk memberikan aura tenang pada kulit yang terbakar sinar matahari, maupun kondisi kulit lainnya. Ia hanya bertanya untuk pemanis saja. Dan ia juga berlagak antusias ketika Bagas menyebutkan fakta lainnya. “Nah, dengan kegunaannya yang termasuk banyak, tanaman lidah buaya ini juga kerap dikaitakan dengan penyembuhan serta perlindungan,” kata Bagas. “Ooo..., begitu. Wajar sih,” timpal Windy untuk menjaga etika. Di momen ini, bahkan dia nyaris lupa akan tujuan utamanya ke toko bunga ini. Satu hal yang amat ingin diketahuinya secara mendalam, tak lain adalah mengenai Sosok Bagas, semuanya! Bahkan kalau bisa, saat ini juga. Desakan itu begitu hebat. Hampir saja Windy kesulitan untuk menanggungnya. Namun demi memastikan agar harga dirinya tetap terjaga, toh Windy masih menanyakan juga beberapa hal seputar tanaman hias. Dan hingga sejauh ini, Bagas menjawabnya dengan senang hati. Keakraban di antara mereka terasa kian nyata saja. Bila pada menit-menit pertama percakapan mereka di depan deretan tanaman hias yang banyak itu melulu berkisar pada nama-nama tanaman hias, cara pemeliharannya serta makna apa yang ada di dalamnya, suatu ketika Windy mendapatkan celah untuk mulai bertanya mengenai usaha yang digeluti oleh Bagas ini. “Mengapa kamu memilih bidang usaha ini? Apakah memang dari dulu kamu suka dengan tanaman?” tanya Windy. Bagas berdeham kecil sebelum menjawab. Ia mendaratkan tatapan matanya pada paras Windy beberapa saat. “Hm. Ceritanya lumayan panjang. Ini kalau diceritakan dalam satu kali pertemuan, sepertinya nggak akan cukup,” canda Bagas. Begitu alami dan tidak menampakkan kesan bahwa dirinya tengah menggoda Windy. Toh, Windy tersipu lagi. Oh. Jadi mau ada pertemuan kedua nih ceritanya? Asyik! Dengan segala senang hati.  Aku nggak keberatan. Ah! Semoga saja kamu itu benar-benar sedang tidak mempunyai Seseorang yang kamu cintai saat ini. Alias jomblo. Iya, bisa saja, kan? Mungkin kamu terlalu sibuk berbisnis, mengurus tanaman-tanaman ini. Jadinya Mantan Kekasihmu merasa tidak nyaman, kurang diperhatikan, lalu akhirnya meninggalkanmu. Itu masuk akal. Kalau aku jadi Kekasihmu..., kayaknya aku nggak akan bertindak seperti Si Mantanmu itu deh. Aku bisa kok, ngertiin kamu. Kelihatannya kamu baik kok, Orangnya. Kesan pertamanya saja sudah sebaik ini, kata Windy dalam hatinya. “Bisa dicoba jawab dengan versi singkatnya dulu,” kata Windy, mengambil semacam jalan tengah. Dia tidak mau mengesankan dirinya berharap akan pertemuan lanjutan, tetapi juga tak ingin mengesankan yang sebaliknya, bahwa dirinya sudah tidak mau bertemu dengan Bagas lagi. “Ya, ya. Jadi begini. Dulu aku tidak terlalu tertarik dengan tanaman. Aku itu lebih suka bekerja di belakang komputer. Aku., suka membuat tulisan di waktu luangku,” kata Bagas. Mata Windy langsung terbelalak. “Oh, ya?” tanyanya hampir tak percaya. Bagas mengiakan dan berkata, “Aku juga sangat suka membaca. Sejarah. Perkembangan ekonomi dunia. Bahkan sampai cerita fiksi.” Tak sadar, Windy bertepuk tangan dan berseru, “Wow!” Bagas terkaget akan reaksi Windy yang dirasanya berlebihan itu. “Lho, kenapa?” tanya Bagas. “Aku nggak menyangka saja. Soalnya itu terlihat dua hal yang berbeda. Kerja di belakang komputer itu kan lebih banyak dengan pikiran. Sedangkan ini...,” Windy menggantung ucapannya sampai di sana. Dia takut ucapannya diterima secara keliru oleh Bagas. Akan tetapi raut wajah Bagas sama sekali tidak berubah. Tetap saja setenang semula. “Selintas terkesan seperti itu. Tetapi sebenarnya, kegemaranku membaca apa saja, membuat aku jadi lebih mudah memahami mengenai tanaman-tanaman ini pada akhirnya,” ungkap Bagas. “Masuk akal. Sangat masuk akal,” sahut Windy. Ia jadi teringat Sang Mama yang sering mengingatkan dirinya untuk banyak membaca, sebab membaca itu menambah wawasan. “Oke, singkat cerita. Dulunya, Mendiang Ibuku yang menjalankan usaha ini. beliau memiliki toko bunga di Puncak. Aku hanya membantu sekadarnya. Dengan sedikit-sedikit pengetahuan yang aku peroleh dari internet. Baru pada saat Beliau sakit, aku merasa harus lebih banyak meluangkan waktuku untuk mengambil alih tugas-tugas Beliau. Aku semakin total dalam menjalankan bisnis Beliau. Dan syukurlah, ketika Beliau tiada, Beliau dapat menutup mata dengan tenang karena usaha yang Beliau rintis tidak terputus hanya dengan kepergian Beliau untuk selamanya,” tutur Bagas. Tak sadar, mata Windy memanas. Hatinya tersentuh, merasakan kedekatan hubungan Bagas dengan Sang Mendiang Ibu. Bukannya Seorang Laki-laki yang dekat dan menghormati Ibundanya, akan menjadi Sosok yang amat menghargai dan memuliakan Wanita? Dlaam hal ini, Wanita yang Ia cintai? Pikir Windy. Harapan itu membuncah, tiada tercegah olehnya. Bagas memergoki mata Windy yang berkaca-kaca. Ia segera mengulurkan sapu tangannya. “Ini, bersih kok,” kata Bagas. “Maaf kalau kisahku tadi membuat hati kamu jadi bersedih. Maafkan, ya. Kita cerita soal yang lain saja kalau begitu. Lagi pula, Mendiang Ibuku itu sudah beristirahat dengan tenang di alam sana. Aku juga yakin Beliau mendapatkan tempat yang terbaik,” ucap Bagas. “Amin,” sahut Windy cepat sambil menerima sapu tangan Bagas. Diusapnya matanya perlahan dengan sapu tangan itu. Diresapinya gerakannya mengusap yang sengaja ia buat super perlahan. Seolah-olah, tangan Bagas yang tengah mengusap matanya. “Terima kasih, Windy,” kata Bagas, mendengar Windy mengaminkan doanya. “Terima kasih juga sapu tangannya,” kata Windy kala mengembalikan sapu tangan Bagas. “Sama-sama,” balas Bagas. “Kamu tahu nggak, kamu itu hebat. Menjalankan usaha macam ini tentu nggak gampang. Apalagi tadi kamu bilang sendiri, awalnya passion yang kamu miliki bukan di sini kan?” cetus Windy. Bagas lekas menampik ucapan Windy dengan mengatakan, “Biasa saja, kok Win. Yang lebih sulit itu adalah saat memulainya, merintisnya. Nah, Mendiang Ibuku lah, yang telah bersusah payah memulai dari nol, memperkenalkan serta mengembangkan usaha ini. Aku sekadar melanjutkan saja, sebisaku.” Windy memang belum tahu pasti, sejauh dan sesignifikan apa perkembangan usaha tersebut semenjak ditinggalkan oleh Sang Perintis, diwariskan kepada Penerusnya, hingga seperti sekarang ini. Maka tanpa ragu, ia bertanya lebih rinci. Dan Bagas sama sekali tidak keberatan untuk menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Windy. Malahan, jawabannya terbilang rinci untuk ukuran dua orang yang baru saling berkenalan. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Bagas membuat Windy semakin terkagum. Terlebih, mengetahui penambahan toko yang dimiliki oleh Bagas, setelah Sang Ibu pergi untuk selamanya. Ini sungguh menjadi jawaban pasti atas rasa penasarannya yang tadi sempat ia simpan. Windy tak ragu untuk mengungkapkan pujiannya kepada Bagas, dan Bagas merespons dengan santun. “Terima kasih atas pujiannya, Windy. Tapi sebenarnya aku enggak sehebat itu. Aku hanya berusaha saja menerapkan apa yang aku ketahui kok. Nggak ada yang istimewa, kan?  Semua Orang juga bisa melakukannya. Kebetulan saja, jalannya dipermudah sama Yang Di Atas. Para Pegawaiku juga sangat membantuku. Mereka sangat penting buat kelangsungan usaha ini, mereka bisa dibilang ujung tombaknya,” terang Bagas. Wow, betapa rendah hati Cowok satu ini! Pilihan katanya membuat aku makin respek saja, batin Windy. Dan dasar Windy seperti Orang kehilangan fokus akibat terbelit oleh tebaran pesona Bagas, ia kembali bertanya secar acak. Kembali menyinggung tentang Mendiang Ibunya Bagas. “Wah! Ibumu itu Wanita yang hebat, ya,” cetus Windy spontan, yang kemudian terheran sendiri, mengapa memilih topik bahasan yang itu, bukannya menggali lebih dalam tentang kepribadian Bagas. Maksudku, Beliau hebat, mempunyai Anak yang kualitasnya mengagumkan sepertimu, tambah Windy dalam hati. Bagas mengangguk-angguk. “Yah. Soal itu, kamu sangat benar. Beliau itu sangat hebat. Beliau jga merupakan Idolaku. Padahal dulunya, sewaktu Beliau itu masih lajang, Beliau hanya bekerja di toko bunga lho. Beliau adalah salah satu Pekerja yang rajin dan gemar mempelajari tentang tanaman. Pada akhirnya Beliau justru mendapatkan lebih banyak ilmu dari Bos-nya. Mendiang Ibuku itu bekerja keras sampai bisa membeli lahan untuk dijadikan kebun pertama kami. Kata Beliau waktu itu, supaya kami nggak ketergantungan pada petani bunga,” jelas Bagas. Windy langsung teringat informasi yang dia dapatkan dari Penjual Tanaman hias yang mengarahkan langkahnya sore ini ke toko bunga milik Bagas. “Oh, ya, ya, aku baru ingat sekarang. Penjual tanaman hias yang memberi tahu toko bunga ini juga menyebut, kamu memiliki kebun sendiri, kan?” tanya Windy. Bagas lekas mengibaskan tangannya. Ia tampak agak rikuh. “Ah, dia sungguh berlebihan. Itu hanya kebun dengan area yang kecil, kok. Kapan-kapan kalau kamu sempat, boleh kok, singgah melihat kebunku. Eng..., itu kalau kamu mau, dan memiliki sedikit waktu untuk berkunjung ke kebun kecilku,” ucap Bagas, tetap saja merendah. Mata Windy langsung terbelalak. Ini namanya, pucuk dicinta ulam pun tiba, batin Windy senang. “Serius boleh? Wah, aku mau banget kalau begitu!” sambut Windy, antusias. Bagas mengangguk dengan matanya. “Sangat boleh. Nanti kamu tinggal bilang saja, maunya kapan. Aku bisa kok, atur-atur waktu untuk mengantarmu ke sana,” balas Bagas dengan penuh kemantapan. Hampir saja Windy berjingkrak-jingkrak saking senangnya. Itu artinya, dia nggak mempunyai Seseorang. Yes! Kata Windy dalam hati. “Eh..., tapi..., enggak ada yang marah kan ya?” tanya Bagas penuh maksud. Windy tersenyum jengah mendengar pertanyaan yang tendensius itu. “Ih! Kamu kali tuh. Sebentar, sebentar. Tolong pastikan dulu kalau enggak ada Cewek yang bakal melabrakku ke kantorku, dan menuduh aku Pelakor, hanya gara-gaa aku berkunjung ke kebunmu,” ungkap Windy spontan. Setelahnya, ia merasa malu sendiri dan langsung membekap mulutnya. “Sorry...!” kata Windy kemudian. Seketika, ia merasa canggung. Ia tersadar ini adalah pertemuan pertama mereka dan alangkah terlalu cepat kalau sudah sampai mengeluarkan celetukan macam itu. Untung saja, Bagas justru tertawa. Tawa yang dapat meredam kegundahan yang mendadak menyapa Windy. “Ha ha ha! Kamu ada-ada saja! Pelakor? Yang Suami Orang itu Siapa? Aku bahkan nggak punya yang namanya Teman dekat seorang Wanita,” cetus Bagas yakin. Windy jelas terpana. Ups! Akhirnya dia membuka juga statusnya. Jadi..., seindah ini? Serius, kutukan jomblo forever-ku sudah berakhir hari ini? Syukurlah kalau memang begitu. Aku sudah bosan menanggapi olok-olokan itu dengan tertawa, seolah perasaanku nggak miris. Dan sepertinya memang bukan mustahil! Setelah beberapa kali melalui hubungan percintaan yang ujungnya bikin aku sedih, lama menjomblo, terus akhirnya aku malahan dikasih yang super duper sempurna begini. Gila sih kalau aku tolak! Hm... hm.... yup! When it is too good to be true, maybe it is true. Dan itu berlaku juga buatku. Bisa jadi, ini titik balik buat aku, sejumalh percakapan yang salaing bertentangan memenuhi kepala Windy, saling beradu pengaruh. Mereka berdua saling bertukar senyum setelahnya. Percakapan mereka tambah cair. Malahan mereka sudah dapat saling mengolok setelahnya. Lantas, Windy menurut saja kala Bagas memilihkan tanaman hias yang dirasanya cocok untuk dirinya. “Semoga kamu memenangkan lombanya, ya. Kalaupun tidak, ya nggak apa-apa, kan?” kata Bagas. “Amin. Terima kasih. Yang penting bukan dapat predikat terburuk, ha ha ha,” Windy tertawa berderai. Di saat ini, mendadak dirinya merasa rela, andaipun kelak akan mendapatkan ‘predikat terburuk’. Nggak masalah. Cuma setengah tahun, kan? Yang penting hari ini ketemu sama Cowok cakep, dan yang matang secara usia. Auto yakin ini mah, dia nggak bakalan menjalin hubungan untuk sekadar having fun doang. Sudah pasti kalau Cowok seumuran dia carinya hubungan yang berkomitmen. Iya kan? Kamu hebat dan beruntung, Windy Briastuti! Puji Windy kepada dirinya sendiri, yang tentu saja dilakukannya dalam diam. *                                                                                                              $ $ Lucy Liestiyo $ $ 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN