Episode : Kepingan Rahasia Kelam Masa Lalu (5)
Malam sudah semakin larut, namun Bu Endah belum bisa tidur.
Wanita ygn tengah mengandung Anak keduanya itu terlihat masih membolak-balikkan tubuhnya secara amat perlahan, di atas pembaringannya. Seakan dengan begitu, ia dapat membuang resah yang tersisa, sekaligus mengundang rasa kantuk untuk mendatanginya. Dia benar-benar ingin beristirahat sekarang.
Beberapa jam yang lalu, ia baru saja mengakhiri panggilan telepon dari Sang Suami yang dengan cemas menanyakan keadaannya.
...
“Endah, apakah semuanya baik-baik saja di rumah? Kamu sehat saja, kan? Kamu baik-baik saja? Fatin nggak cari gara-gara sama kamu kan? Seandainya dia melakukannya, kamu tolong tahan diri dulu ya. Mengalah dan menghindari dia saja. Aku nggak mau perasaan kamu nggak nyaman. Apalagi sekarang kamu sedang mengandung Adiknya Fabian. Kamu butuh ketenangan, Ndah,” demikian beruntun perkataan Sang Suami tadi.
Dan Bu Endah merespon dengan tertawa kecil sebelum menyahut, “Semua baik-baik saja di sini. Aman terkendali, Pak. Bagaimana urusan di sana, Pak? Apakah urusan administrasi Fabian lancar? Bapak sudah melihat sendiri kamar asramanya? Bapak sudah kenal sama teman-teman yang akan satu kamar dengan dia di Asrama nanti? Situasi Sekolah dia bagaimana?”
Sejenak Sang Suami terdiam, membuat Bu Endah bertanya-tanya dalam hati. Sebuah kecemasan terselip di benak Bu Endah.
“Pak..., semua baik-baik saja, kan? Ada apa?” tanya Bu Endah akhirnya.
“Itu dia Endah..., ada sesuatu yang harus aku sampaikan,” kata Pak Handara dengan berat.
“Ada apa? Ada masalah, Pak?” tanya Bu Endah.
Sang Suami tampak ragu.
“Pak..!”
“Endah. Begini, sebenarnya bukan masaah besar. Hanya saja ada sedikit persyaratan yang harus dipenuhi. Dan aku harus mengusahakannya hari ini juga. Persyaratan tambahan. Fabian bisa tetap masuk asrama hari ini,” jelas Pak Handara.
“Berat, Pak, persyaratannya?” tanya Bu Endah.
Pak Handara mengembuskan napas.
“Endah, bukan tentang persyaratannya. Aku bisa memenuhinya, tapi butuh waktu. Yang membuat aku cemas adalah..., kami akan terpaksa menginap di sini dan baru besok pagi atau siang bertolak kembali ke rumah. Itu..., sungguh-ungguh membuat aku sangat cemas memikirkan keadaan di rumah,” jawab Pak Handara.
“Sebab..., besok pagi aku tetap harus ke Sekolah Fabian dulu untuk membereskannya, sebelum kembali ke desa,” tambah Pak Handara.
Bu Endah mengangguk-angguk.
“Oh, itu saja. Ya sudah. Yang penting urusan Fabian beres. Bapak jangan mencemaskan yang tidak-tidak. Bapak fokus itu saja dulu. Dan tetap hati-hati di jalan,” sahut Bu Endah bijak.
“Benar kamu bisa menjaga diri, Endah?” tanya Pak handara hendak memastikan.
“Iya, Pak. Jangan terlalu resah. Bapak cari saja hotel yang terdekat dengan Asrama tempat Fabian, supaya memudahkan urusan Bapak,” saran Bu Endah.
Pak Handara terdiam.
“Ya sudah. Kamu terus mengabariku, terutama kalau ada apa-apa,” pesan Pak Handara akhirnya, demi menenangkan hatinya sendiri.
“Enggak akan ada apa-apa, Pak. Pesankan Fabian untuk terus menjaga kesehatan dan mematuhi semua aturan yang berlaku di Sekolah dan Asrama ya Pak. Sampai ketemu besok,” ujar Bu Endah.
“Iya Ndah. Pasti. Kamu jaga diri, ya. Sekarang istirahat dan jangan lupa diminum vitaminnya. Jaga terus kesehatanmu dan kesehatan Anak kita.”
“Baik Pak. Bapak juga ya, jaga kesehatan.”
...
“Kenapa Bapak segitu cemasnya memikirkanku? Padahal sebaliknya, aku yang cemas memikirkan dia semenjak kepergiannya tadi,” gumam Bu Endah.
Ia berusaha mengundang kantuk, namun sulit sekali untuk untuk memaksa matanya terpejam.
*
Hari masih pagi ketika Bu Endah mengguntingi daun-daun dari tanaman bunganya yang kering di taman samping. Hal remeh yang masih dilakukannya, meskipun banyak Pegawainya yang dapat melakukannya. Ia bahkan bersenandung kecil. Kurang tidurnya tadi malam, sepertinya sedikit memengaruhi kondisi fisiknya pagi ini. Wajahnya terihat agak pucat.
Baru sebentar melakukan hal yang disenanginya itu, Bu Endah terspa rasa lelah. Ia duduk dan menghentikan kegiatannya sesaat. Dielusnya perutnya yang sudah mulai membukit.
“Sayang, kamu capek juga, ya, bantuin Ibu guntingin daun? Hm..., kita istirahat sebentar ya. Nanti kita lanjutkan lagi,” kata Bu Endah.
Ia tak tahu ada sepasang mata Bocah yang mengawasinya.
“Bu, Ibu kok belum dihabiskan sarapannya? Mual lagi, ya?” tanya Merna yang datang menghampirinya. Ia menatap makanan yang ada di meja bundar. Tadi ia memang sengaja mengambil inisiatif untuk membawakan makanan tersebut ke taman samping karena mengira Bu Endah hendak berjemur.
Beberapa hari terakhir menjelang keberangkatan Fabian ke kota, Bu Endah memang tidak setiap hari menikmati sarapan pagi di meja makan. Ada kalanya dia hanya ditemani Sang Suami, menyantap sarapan pagi di kamar atau di taman samping. Taman yang khusus dibuatkan oleh Pak Handara untuknya lantaran tahu dirinya amat menyukai aneka tanaman bunga. Dalam hari-hari itu, hanya Fabian yang tetap menikmati makan paginya di meja makan, dengan Fatin Sang Istri kedua serta Fina dan Farah.
“Tidak, Merna. Aku kenyang. Posinya telalu besar. Lambat laun, rasa mualnya sudah banyak berkurang, kok..,” sahut Bu Endah.
Merna mengangguk-angguk.
“Oh..., begitu. Maaf ya Bu. Lain kali saya kurangi deh porsinya. Tapi syukurlah kalau Ibu sudah tidak mual lagi. Mungkin karena seiring usia kehamilan Ibu kian bertambah, ya,” kata Merna.
Bu Endah tersenyum.
“Bapak pulang hari ini ya, Bu?” tanya Merna kemudian.
Belum sempat Bu Endah menjawab, mendadak Seorang Bocah yang sejak tadi mengamatinya, berlari ke arahnya.
Merna mengernyitkan keningnya lantaran heran. Tetapi Bu Endah justru tersenyum ramah.
“Hai Fina! Fina sudah sarapan?” tanya Bu Endah.
Bocah kecil itu mengangguk, lalu menengadahkan wajahnya. Tatapnya tertuju kepada perut Bu Endah.
“Kenapa, Fina?” tanya Bu Endah.
Merna belum beranjak, ia bersikap waspada. Meski Bu Endah mengisyaratkan agar dirinya segera meninggalkan Bu Endah. Ia berkeras berada di sana. Ia sungguh ingat perintah Pak Handara untuk melindungi majikan Perempuannya ini.
Ada sesuatu hal yang secara tak sengaja didengar oleh Endah, hampir setengah tahun silam. Saat itu, ia terbangun di malam hari dan hendak menuju dapur. Tetapi entah mengapa, langkahnya justru terarah menyusuri lorong di dekat kamar tidur Bu Fatin. Ia mendengar ada keributan kecil di sana.
...
“Aku tidak mau tahu Mas! Aku tidak mau terus begini!” terdengar suara Bu Fatin.
Tidak ada sahutan dari Orang yang dipanggil ‘Mas’.
“Kamu ingat, saat dulu hendak mendekati aku, kamu berjanji akan membahagiakan aku,” cetus Bu Fatin lagi.
Masih belum ada sahutan apa-apa.
“Mas! Jawab aku! Jangan diam saja!” sentak Bu Endah lagi.
Kali ini terdengar helaan napas yang berat, yang ditengarai Merna sebagai helaan napas dari Pak Handara, Sang Majikan laki-lakinya.
“Kamu itu sama saja dengan Sanak Saudaraku yang hanya membuang aku! Kamu itu mengecewakan aku! Kamu menyia-nyiakan aku!”
Kali ini tampaknya suara Bu Fatin yang meninggi menyulutkan amarah Lawan bicaranya.
“Fatin! Cukup! Apa yang kamu minta itu sangat tak mungkin untuk aku lakukan!” bantah Lawan bicaranya.
Itu Bu Fatin sedang bertengkar sama Pak Handara? Ya ampun Si Istri Kedua yang nggak tahu diri itu mau nuntut apa lagi sih! Pikir Merna sembari menajamkan telinganya. Ie mngendap, mendekat ke arah asal suara.
“Kenapa?” tantang Bu Fatin garang.
“Fatin, kamu sudah kelewat batas! Jangan mencoba untuk mengatur-atur aku dan menguasai diriku!” bentak Pak Handara.
Hening barang beberapa detik.
Merna yang mendengarnya dari luar turut berang. Sebagai Orang yang telah cukup lama bekerja di kediaman Pak Handara, sudah barang tentu ia terusik. Merna ingat, Pak Handara, Majikan Prianya itu, bukanlah Seseorang yang mudah tersulut amarahnya. Jadi kalau Pak Handara sampai berkata dengan nada tinggi, Merna sungguh yakin, kesalahan Bu Fatin cukup fatal.
Ini membuat Merna tak habis pikir dan mengenang awal kedatangan Bu Fatin di tengah-tengah keluarga yang semula hidup tenteram itu.
“Ck. Bagaimana mungkin Seseorang yang ketika pertama kali dibawa ke rumah mewah ini dengan mimik muka seolah rendah diri, merasa terancam, tertindas, dan amat butuh perlindungan, mengesankan hal itu dengan cara terus-terusan mencekal erat lengan Pak Handara, bahkan sesekali terlihat jelas berusaha menyembunyikan wajahnya di balik tubuh Pak Handara, kok jadi sejauh ini tindakannya? Ya, hari demi hari Wanita tak tahu diri itu bermetamorfosa menjadi Seseorang yang keras, kasar, dan banyak menuntut,” gumam Merna lirih. Dia berpikir, Bu Fatin sepertinya hendak menguasai seisi rumah serta Pemiliknya, termasuk hati Sang Pemilik rumah hanya untuk dirinya sendiri saja.
* * Lucy Liestiyo * *