CERMIS 1 : KERAJAAN GAIB? (15)

1245 Kata
Episode : Perbedaan Pendapat Antara Farah Serta Fina (2) Apa bila ada yang mengeluarkan celetukan ke mereka, “Senang deh kalau melihat Fina sama Bu Endah begini. Fina ini sudah seperti Anak kandung Ibu Endah saja ya,” maka air muka Bu Endah juga begitu tenang dan tak berubah. Tidak terkesan terusik, atau malah tersenyum bangga yang berlebihan. Yang ada, justru Bu Endah merangkul pundak Fina dengan gerakan perlahan, dan mengusap punggung Fina dengan lembut. Itu saja. Dan aku senang juga nyaman kok kalau dirangkul macam itu sama Bu Endah. Aku bisa merasakan bahwa Bu Endah itu sayangnya ke aku tulus, bukan sayang yang  pura-pura seperti anggapanmu, Kak. Dan aku juga merasa, dia sangat menahan diri, menahan perasaan. Dan tahu menghargai perasaan Orang lain. Buktinya, ia berusaha membuatku nyaman, tidak memaksakan kehendaknya. Dia tidak sok akrab, tidak terburu-buru menunjukkan kedekatannya ke aku. Bu Endah itu paling top pokoknya. Dia memperhatikan reaksiku. Aku yakin, kalau misalnya aku menepis rangkulannya, dia pasti tidak akan memarahiku. Sebaliknya, dia akan dengan suka rela melepaskan rangkulannya kepadak. Ngerti, Kak? Dia melakukan emua dengan lembut dan hati-hati, kata Fina dalam hati. Fina menggelengkan kepalanya selagi berusaha mengingat-ingat Sosok Ibu kandungnya sendiri. Begitu samar, dan begitu sulit. Bukan semata karena dirinya terlampau kecil saat itu, namun karena ada dorongan yang begitu kuat dalam dirinya sendiri, untuk melupakan semuanya... ... Hari masih pagi.  Pak Handara belum lama meninggalkan rumah, setelah dijemput oleh salah satu Mitra barunya yang sengaja datang dari kota untuk menemuinya. Mereka berdua sempat bercakap sebentar di beranda rumah, minum kopi bersama, membicarakan hitung-hitungan, sebelum akhirnya Sang Mitra berkata sudah saatnya mereka berdua berangkat. Tadi, Bu Endah sempat melepas kepergian Sang Suami hingga ke mobil dan seperti biasa, mencium punggung tangan Sang Suami dengan penuh bakti. Sementara Pak Handara mencium puncak kepala Bu Endah serta mengelus perut Sang Istri. Pak Handara terlihat berat hati untuk meninggalkan sang Istri, tetapi Bu Endah tersenyum dan membisikinya, “Semangat, Pak. Semoga ada hasil yang terbaik. Demi Anak-anak. Jangan khawatir. Kan Bapak hanya pergi satu hari. Baik-baik di perjalanan, ya, jaga kesehatan Bapak selama di perjalanan.” Pak Handara mengangguk pada akhirnya dan berpesan, “Kamu juga. Jaga dirimu baik-baik selama aku pergi, Endah. Kalau Fatin cari gara-gara lagi dan memancing amarahmu, jangan kamu ladeni. Biarkan saja. Kamu yang harus lebih sabar. Kalau perlu, hindari saja dia. Aku sudah pesan ke para Pegawai untuk lebih lagi dalam menjagamu.” Bu Endah tersenyum tipis. “Bapak ini terlalu berlebihan. Mikirnya Bapak kok sampai serumit itu. Sudah Pak, sebaiknya fokus saja sama urusan Bapak dulu,” kata Sang Istri disertai sebuah anggukan kepala demi menentramkan hati Pak Handara. Pak Handara masuk ke dalam mobil. Setelah mobil yang membawa Sang Suami lenyap dari pandangan mata, Bu Endah masuk ke dalam rumah. Dia tak sadar, ada sepasang mata yang mengawasinya. Sang Pemilik sepasang mata itu bergegas menuju ke halaman samping sambil menggandeng Fina kecil yang berjalan agak terseret lantaran tak dapat mengimbangi langkah Orang dewasa. “Farah! Ikut Ibu! Jangan dekat-dekat sama dia!” katanya kemudian, sambil menarik tangan Gadis kecil lainnya, yang tengah asyik bermain sambil tertawa dengan Kakak laki-lakinya. Tarikan yang cukup kasar dan mengagetkan Gadis kecil itu. “Kenapa, Bu? Farah mau main sama Kak Fabian,” rengek Farah. Toh, Bocah kecil bernama Farah itu tak berdaya saat tangan Si Wanita dewasa itu menyeretnya ke sebuah kamar dan lekas menutup pintunya. “Main sama Adikmu saja. Kalian main berdua saja di sini, nggak usah keluar kamar dulu! Nurut apa kata Ibu!” suruh si Wanita dewasa dengan tegas. “Nggak mau! Fina itu ngomongnya saja masih tidak jelas! Farah nggak mau!” protes Farah bersikeras. Merasa keputusan Sang Ibu sungguh sepihak, Farah mengamuk dan mengentak-entakkan kakinya ke lantai, tanpa peduli betapa Adiknya yang masih kecil ketakutan dan berpegangan erat pada ujung baju Ibu mereka. Selanjutnya, Fina kecil memilih bersembunyi di balik tubuh Sang Ibu, mengintip apa yang dilakukan oleh Kakak Perempuannya secara diam-diam. “Diam! Ibu bilang diam!” bentak Sang Ibu, namun Farah semakin keras menangis. Seolah-olah dia sengaja melakukannya agar seisi rumah tahu dan turun tangan menolongnya. Bu Endah yang tengah duduk di dekat taman belakang sambil bersenandung kecil dan mengelus-elus perutnya yang sejatinya masih rata itu, dikagetkan oleh suara tangis itu. Dia tergerak untuk mencari tahu. “Itu suara Farah, Merna? Ada apa? Dia kok menangis sampai sekeras itu? Jatuh, atau luka sewaktu bermain dengan Fabian?” tanya Bu Endah saat berpapasan dengan salah satu Pekerja di rumahnya. Merna menggeleng singkat. “Biasa, Bu. Bu Fatin marah lagi, karena memergoki Farah asyik bermain sama Fabian. Dan sepertiyang sudah-sudah, Bu Fatin lalu menyeret Farah ke dalam kamar. Tapi kelihatannya Farah nggak mau nurut dan tetap kepengen keluar dari kamar,” jelas Merna tanpa sanggup menyembunyikan rasa sebalnya. Bu Endah tidak dapat berkomentar. Ia seperti menelan kembali apa yang hendak diucapkannya. Pesan Sang Suami sebelum pergi bagai terngiang-ngiang di telinganya. “M... maaf, Bu Endah..,” cetus Merna penuh sesal. Bu Endah tersenyum maklum. “Nggak apa, Merna. Yang penting Fabian nggak nakalin Farah, kan?” Bu Endah melempar kalimat retorik. “Enggak Bu. Fabian kan sayang sama Farah dan Fina,” sahut Merna. Bu Endah hanya manggut kecil dan meninggalkan Merna. Tampaknya ia mengurungkan niatnya menemui Farah. “Bu Endah..., sabar amat sih Bu. Biasanya, yang jahat itu Istri Tua. Ini malah terbalik. Istri Muda yang nggak tahu diri. Kelakuannya sudah seperti satwa liar,” gumam Merna sedih. Sementara di dalam kamar, Sang Ibu yang kehabisan kesabaran memencet kedua pipi Farah dan memarahinya. “Kalau kamu bantah Ibu lagi, Ibu akan pergi. Biar kalian berdua Ibu tinggal di sini! Biar kalian rasakan kalau tidak ada Ibu yang mendampingi kalian. Ibu nggak sayang sama kalian, kalau kalian nakal dan tidak mau dengar dan turuti apa yang Ibu katakan ke kalian. Biar saja kalian tinggal sama Ibunya Fabian. Biar kalian disiksa setiap hari. Enggak akan ada yang membela kalian. Dia itu enggak suka sama kalian. Dia juga enggak suka sama Ibu! Ibunya Fabian itu hanya pura-pura baik, di depan Bapak kalian. Dia hanya mencari kesempatan yang pas untuk berbuat jahat sama kita, tahu!” ancam si Ibu. Ajaib. Bagai tersihir, Farah langsung terdiam. ... “Aku ingat. Iya, aku ingat sekarang. Setiap kali Ibu selalu mengancam akan pergi kalau kita nggak menuruti kata-kata Ibu. Tapi toh akhirnya Ibu pergi juga. Itu artinya, Ibu memang nggak sayang sama kita,” Fina setengah bergumam. “Dan yang jelas, apa saja yang Ibu katakan tentang Bu Endah sama sekali tidak benar menurutku. Aku merasakannya sendiri kok. Dan aku tidak mengada-ada. Mana? Sejauh yang aku ingat, Bu Endah sama sekali bukan Sosok yang jahat. Bu Endah nggak pernah menyakiti kita. Justru Ibu kita yang...,” lanjut Fina lirih. Ia sengaja menggantung ucapannya di sana, tak hendak melanjutkan sebab Fina tahu, bila ia melanjutkannya, sama saja menyakiti perasaannya sendiri juga. Farah yang sebelumnya terpekur di sudut kamar jadi terusik. Ia menatap dengan penuh kekecewaan Fina yang masih menutupi wajahnya  sendiri dengan bantal. Kamu itu nggak tahu saja cerita lengkapnya, Fina. Kamu itu sok tahu! Ibu kita nggak sekejam itu. Ibu kita pasti terpaksa melakukannya. Ya, Ibu terpaksa meninggalkan kita. Kamu benar-benar sudah berhasil dibodohi sama Bu Endah. Jangan-jangan Bu Endah sudah menghancurkan citra Ibu Kandung kita. Iya, dia kan sering sekali mengajakmu pergi bersama. Pasti dia sudah menguasai pikiranmu dan menyogokmu dengan barang-barang mahal. Kalian berdua itu kan memang akrab satu sama lain. Jadi nggak heran kalau kamu begitu membela dia, batin Farah sedih. *                                                                                                             $ $   Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN