Episode : Dilema Itu Bernama ‘Hubungan Rahasia’ (4)
“Oke,” kata Bagas.
Windy sampai menahan napas.
Astaga! Kamu benar-benar edisi spesial. Baru sebentaran kita dekat satu sama lain, kamu sudah memaksa jantungku berolah raga lebih sering dari pada sebelum-sebelumnya, kata Windy di dalam hati.
“Kamu sudah kebayang kan, kalau hubungan yang akan kita lalui ini rasanya akan lebih sulit ketimbang hubungan yang dijalin Orang-orang lainnya. Seperti..., butuh perjuangan yang extra ordinary. Maka dari itu..., seperti yang aku ucapkan sewaktu minggu lalu..., kamu nggak keberatan kalau kita jalani berdua dulu, tanpa harus berbagi cerita ke Orang lain, walau Orang yang terdekat sekalipun? Soalnya..., aku juga nggak tega kalau saat kamu berkisah lalu perasaanmu malah dibuat makin goyah. Maksudku..., dengar kata hati kita sendiri dulu saja. Itu juga, kalau kamu nggak keberatan,” ujar Bagas kemudian.
“Ooo..., itu..,” timpal Windy.
Seperti hubungan terlarang saja. Tapi perkataan Bagas ada benarnya. Ya sudahlah, sebaiknya dijalani dulu saja. Toh kami bisa memilih untuk mengakhiri hubungan ini kapan saja. Nggak ada ruginya buat aku, pikir Windy.
“Eng.., ya. Kamu keberatan?” tanya Bagas sehati-hati mungkin.
Sebetulnya kalau sekarang-sekarang ini nggak masalah. Tapi kalau ke depannya, ya tentu saja aku agak keberatan Bagas. Memangnya aku membuang-buang waktu denganmu, kalau niatmu ke aku nggak baik? Eh! Kok jadi ke sana sih mikirnya? Kata Windy dalam hati.
“Semacam..., hubungan rahasia, ya?” Windy setengah bergumam.
Bagas segera menanggapi ucapan Windy dengan berkata, “Buat sementara. Tapi kalau sekiranya nanti kamu nggak tahan dengan situasi yang demikian..., ya aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyesuaikan, semampu aku.”
Entah mengapa hati Windy jadi tersentuh mendengar ucapan Bagas yang tampak amat tulus.
“Kita coba dulu saja, ya. Smoga saja kita bisa melalui semua hambata dalam hubungan ini dengan baik,” ucap Windy akhirnya.
Bagas mengulurkan tangan dan meraih kembali kedua tangan Windy, menggenggamnya erat. Dia tidak peduli tatap protes di mata Windy yang memberi isyarat bahwa situasi di kafetaria kian ramai.
“Aku mau berterima kasih ke kamu. Hati kamu luas banget. Terima kasih ya, Sayang. Buat sementara seperti ini dulu ya. Supaya hubungan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sambil kita masing-masing memulihkan luka hati kita. Sambil kita fokus mengeratkan perasaan kita satu sama lain. Supaya nggak terganggu sama pendapat Orang lain,” kata Bagas.
Windy tercenung. Pikirnya, bukankah itu yang sempat ia pikirkan pada minggu lalu? Apakah Bagas ini dapat membaca pikirannya juga?
“Berarti sangat nggak mungkin kalau kamu ke rumah di malam Minggu, seperti hubungan normal lainnya?” Lagi-lagi Windy bergumam sendiri. Dan gumamannya terdengar sampai ke telinga Bagas.
Ia tampak memahami hal itu.
“Windy..., aku tahu ini nggak mudah. Tapi sekiranya untuk sementara kita bertemu di toko bunga seperti selama ini, apakah itu berat buatmu?” tanya Bagas.
Windy lekas menggelengkan kepalanya.
“Nggak masalah,” ucap Windy.
Bagas langsung mengecup ujung jemari Windy.
“Terima kasih Windy Sayang. Kamu itu benar-benar Gadis yang baik dan super pengertian. Kenapa kita nggak ketemu dari dulu, ya?” Bagas melemparkan kalimat retorik.
Windy mencoba tertawa. Namun ia tahu sendiri, tawanya itu terasa agak sumbang. Meski ia juga tak sepenuhnya tahu apa penyebab pastinya.
“Ngomong-ngomong, bunga yang paling kamu suka, apa, Win?” tanya Bagas tiba-tiba.
Windy langsung tergeragap.
Ini jenis pertanyaan yang tak diduga olehnya. Apalagi pada saat pembicaraan ‘penting’ mereka tengah berlangsung seperti ini. Dan lucunya, dilontarkan Bagas dalam suasana yang ‘serba tanggung’ seperti itu.
Windy sempat bingung mau menjawab apa dan harus menanggapi dengan cara bagaimana. Dia tak tahu secara pasti, apakah dirinya harus memuji dalam hati kecerdasan Bagas karena dapat merubah sedikit suasana canggung yang mulai terasa, ataukah justru harus menyesalinya.
Pasalnya, dia sendiri merasa bahwa ‘negosiasi’ kesepakatan tentang bentuk hubungan mereka belum sepenuhnya tuntas dan alangkah baiknya bisa dicarikn titik temu sekarang juga. Namun herannya, Bagas malahan sudah melompat ke topik pembicaraan yang teramat berbeda. Nyaris tidak ada hubungannya sama sekali. Lebih mirip dengan sebuah pengalih perhatian sifatnya.
“Lho, kenapa? Kok reaksimu seperti itu Sayang? Ada yang salah dalam pertanyaanku?” tanya Bagas lebih lanjut, kala mencermati air muka Windy.
Mendengar pertanyaan Bagas yang dirasanya tidak pada tempatnya itu, ingin sekali Windy menepuk jidatnya keras-keras dan menjerit, “Ya ampun! Masih tanya, Bagas? Kamu tuh paham nggak sih, sama perasaan Cewek? Ya kali kita masih di tengah-tengah obrolan serius tentang bagaimana arah hubungan kita ke depannya, terus kamu malahan ngomongin bunga? Ih! Dasar tukang kembang! Pokok bahasannya nggak jauh-jauh dari kembang!”
Bagas menggoyang lembut tangan Windy.
“Heiii...., kamu ngelamun, ya? Hayoooo..., kamu ngelamunin Siapa itu? Cowok lain? Astaga! Di depanku begini, juga! Tega sekali,” gurau Bagas, lalu memasang tampang sedih dan memelas.
Windy tersenyum geli.
“Ih! Kamu tuh ya! Bercandaannya garing deh!” timpal Windy.
“Kan sudah aku bilang..., aku tuh lama nggak pacaran. Jadi lupa..., cara berkomunikasi yang baik sama Cewek, supaya dia nggak merasa bosan sewaktu bersama dengan aku,” elak Bagas.
Windy terpancing untuk tertawa.
“Halah! Kamu tuh! Paling-paling deh! Ngegombalnya masih lancar begitu,” olok Windy.
Bagas ikut tertawa.
“Jadi bagaimana? Kita kembali ke pertanyaanku yang belum dijawab tadi, ya. Apa bunga kesukaanmu, Sayang?” tanya Bagas lagi.
Windy terbahak kali ini. Dia benar-benar merasa pertanyaan bagas ini lucu, juga ampuh untuk membuyarkan sisa-sisa rasa canggung yang masih ada, sepenuhnya.
“Ha ha ha..., sebetulnya, aku nggak terlalu suka bunga. Aku kan sudah pernah bilang ke kamu,” kata Windy dengan jujur.
Dia sudah tak mempertimbangkan lagi dirinya bakal dicemooh dengan pengakuannya ini. pengakuan yang mungkin bukan pertama kalinya ia katakan kepada Bagas. Yang ada di dalam pikirannya adalah : Cinta toh, bukan tergantung dari sekadar kecocokan sebagai sesama penyuka tanaman bunga, kan? Nah, buktinya cinta mereka, tumbuh bukan karena faktor yang satu itu.
Bagas pun tertawa lagi lantas mengacak rambut Gadisnya dengan rasa sayang.
“Sudah kuduga. Pantas, memilih tanaman hias yang cocok untuk kantor saja kamu kebingungan waktu itu,” goda Bagas setelahnya.
Windy lumayan terusik mendengarnya.
Seolah-olah dirinya tengah ditunjukkan ‘kesalahan’ yang dibuatnya dulu.
Namun Gadis itu buru-buru membela diri dengan menimpali secara ringan, “Ya kan, menyukai bunga itu bukan sesuatu yang bersifat keharusan. Kamu sendiri yang bilang ke aku. Lupa, ya?”
Menangkap adanya nada protes dalam kalimat Windy, Bagas tersenyum tipis. Ia manggut-manggut seolah memaklumi ‘kekurangan’ yang diakui dan ditegaskan kembali oleh Windy, bahkan pada kesempatan kesekian kalinya ditanya pertanyaan serupa.
“Ya memang enggak harus, kok Sayang. Tapi percaya sama aku deh. Lama kelamaan, kamu akan menyukai bunga. Malahan nantinya kamu akan menetapkan apa bunga favoritmu,” ucap Bagas dengan yakin.
Windy mengangguk-angguk pertanda setuju. Buatnya, ini bukanlah sesuatu hal yang patut untuk ia sangkal barang sedikit saja.
“Hm. Aku rasa sih iya. Sebaiknya aku mulai dulu saja dengan menyukai Pemilik toko bunganya,” kata Windy akhirnya. Pernyataannya yang satu ini, sungguh keluar dari lubuk hatinya yang terdalam.
Jika saja Bagas tengah minum, barangkali ia akan tersedak.
Tapi cukup sekian detik ia terkaget. Setelahnya, Bagas dapat menguasai keadaan. Ia bahkan menatap Windy dengan tatapan mesranya.
“Aku kasih tahu ke kamu satu hal : Itu awal yang bagus. Juga tepat. Nah, sekarang, aku pilihkan dulu, ya, bunga yang kira-kira cocok buatmu. Hm.. kamu suka Melati nggak? Atau Mawar? Hm..., Azalea, mungkin? Apa Kenanga saja? Kalau Bunga Lily, bagaimana? Win? Atau Bougenvile yang warna-warni itu? Apa malahan Anggrek yang bisa tumbuh seenaknya? Hmmmm.. kalau Dahlia? Apa ya cocoknya buatmu? Bunga Teratai, ataukah Lotus? Kira-kira kamu hafal bentuknya? Atau mau kukasih lihat di perangkat telepon genggamku?” tanya Bagas.
Bola mata Windy berputar. Ia melihat gelagat bahwa Bagas akan mengambil telepon selulernya.
Maka Ia buru-buru menggeleng. Merasa itu bukanlah sesuatu yang yang perlu apalagi harus dilakukan saat ini.
Nggak penting banget, pikir Windy enggan.
“Eits..., nggak usah, Bagas! Aku suka saja deh, semuanya. Habisnya, kalau ditunjukkan aslinya, aku takut kamu malah akan menertawakan aku kalau aku nggak bisa membedakan antara satu bunga dengan bunga lainnya,” ungkap Windy sejujurnya.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $