Episode : Godaan Yang Tak Terelakkan (1)
“Eng..., itu Non. Sebetulnya, tadi itu Pak Handara agak keberatan untuk mengajak Bu Asnah. Tetapi, eng..., maaf, Ibunya Non Shania itu meminta dengan sedikit memaksa. Katanya, mau melihat dari dekat jenis usaha yang dimiliki oleh Keluarga Handara. Ya akhirnya, dipenuhi juga sama Bapak. Meskipun dengan begitu, Bu Endah juga terpaksa harus ikut mendampingi mereka. Padahal..., eng, tahu sendiri, kan? Ibu sebetulnya agak was-was meninggalkan kami karena rangkaian acara yang belum tuntas. Ibu ingin memastikan semua persiapan berjalan lancar. Ibu memang biasa begitu, kalau ada perayaan yang melibatkan keluarga, pasti mau mengawasi sendiri," tutur Pekerja tersebut. Demikian lancar, mungkin pikirnya karena sudah kepalang tanggung ya sebaiknya diungkapkan sekalian semuanya.
Shania berdecak gemas. Dia dapat meraba apa yang ada di kepala Sang Ibu yang amat materialistis itu. Tak lain, hendak menaksir dan mengkalkulasi potensi sumber uang Keluarga Handara, yang kelak akan masuk ke koceknya juga. Dan tentunya, untuk memotret berbagai asset tersebut sebagai latar belakang foto selfie-nya untuk kelak dipamerkan kepada para Tetangga dan Orang-orang yang selama ini dianggap telah merendahkan Keluarga mereka.
“Ya ampun! Ibuku itu memang keterlaluan. Maaf ya, kalau Beliau juga merepotkan Mbak dan mas yang bekerja di rumah ini. Saya jadi nggak enak hati. Padahal kami ini hanya Tamu. Tapi menyusahkan,” kata Shania sungguh-sungguh.
Sang Pekerja tersenyum dan berkata, “Non Shania, jangan telalu dipikirkan. Wajar kalau Orang yang baru datang lalu penasaran mau melihat-lihat keadaan di desa. Lagi pula, Non Shania itu nggak boleh bilang diri Non hanya Tamu. Wah, Ibu dan Bapak bisa tersinggung kalau mendengarnya nanti. Non Shania itu Orang penting, di rumah ini. Semua yang ada di rumah ini juga miliknya Non.”
Shania mengibaskan tangannya, enggan mendengar kata-kata yang dianggapnya amat berlebihan itu.
“Sudah, Non tenang saja. Kami akhirnya berhasil Tapi kami semua akhirnya meyakinkan Ibu, bahwa semua persiapan akan berjalan sebagaimana mestinya,” imbuh Pekerja tersebut.
Shania tak terlalu terhibur mendengarnya. Rasa jenuhnya menjadi-jadi.
“Wah, bakalan lama dong ya,” gumam Shania kemudian. Ia sudah dapat membayangkan betapa akan menjemukannya baginya selama menunggu sore tiba. Dia sudah memperkirakan, yang namanya mengunjungi peternakan, pasti akan disambung kegiatan lainnya seperti mencoba membuat yogurt dan lainnya. Dia yakin, Ibunya pasti akan terlena di sana dan mau tahu apa saja.
Semoga Ibu nggak malu-maluin di sana. Nggak enak aku sama Keluarga Suamiku. Meski sekarang aku adalah bagian dari Keluarga ini, nggak semestinya Ibu terlalu menunjukkan ambisinya untuk menguasai harta Kak Fabian, keluh Shania dalam hati.
“Hai, Kak Shania! Kok Kakak ada di sini? Sedang apa?” terdengar sapaan ramah dari arah samping.
Shania menoleh dan mendapati Farah berdiri tak jauh darinya. Pekerja yang semula berbincang dengannya langsung menganggukan kepala dan mengisyaratkan akan melanjutkan pekerjaannya. Shania mempersilakannya.
“Hai Farah,” sapa Shania kemudian.
“Kak Shania kok ke dapur? Iseng mau mencicipi hidangan yang mau disajikan nanti malam, ya?” tanya Farah.
Shania menggeleng.
“Enggak, Farah. Aku bosan. Bapak, Ibu sama Saudara-saudaraku sedang pergi. Kak Fabian juga. Ada urusan, katanya. Tadi sih bilangnya, sebelum sore juga bakalan sudah kembali ke rumah. Tapi Kak Fabian pesan ke aku, nggak boleh pergi kemanapun dan harus menunggu sampai dia pulang,” keluh Shania.
Farah menatap wajah Kakak iparnya dengan rasa prihatin.
“Duh, kasihan sekali. Aku paham, Kak. Semestinya sih, hari kak Shania sudah boleh kok, keluar rumah. Mau kutemani, Kak?” tanya Farah.
Mata Shania membulat mendengarnya.
“Benar kamu mau menemani aku, Farah?” tanya Shania.
“Tentu saja, Kak. Kenapa tidak?” Farah melemparkan kalimat retorik.
Shania tergoda. Dia sudah amat senang dengan ‘tawaran’Farah ini. Kakinya juga sudah gatal, ingin keluar rumah. Apa daya, pesan Sang Suami terngiang lagi di telinganya, menghadirkan sebuah dilema baginya. Shania menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ada apa, Kak Shania? Kelihatannya Kak Shania sedang bingung,” selidik Farah.
“Farah, sebetulnya aku kepengin sekali keliling-keliling sekitar sini sebentar. Tapi aku takut, kak Fabian marah kalau tahu bahwa pesannya aku langgar,” cetus Shania, yang langsung teringat bahwa tadi sebelum pergi, Fabian sampai dua kali mengulang bahwa dia tidak boleh keluar rumah tanpa Fabian. Fabian menegaskan, akan ada waktunya untuknya mengelilingi dan mengenal desa ini, tetapi bersamanya, untuk pertama kali. Pesan yang aneh, membingungkan, serta berlebihan menurutnya.
Kenapa harus sampai dua kali sih? Dan kenapa Kak Fabian mengatakan bahwa untuk pertama kalinya keliling desa, harus bersamanya? Apakah dia begitu pencemburu? Ah, enggak! Kak Fabian bukan Orang macam itu. Dan herannya, tadi itu kok aku hanya mengangguk dan menertawakannya, bukannya bertanya. Oke, anggap saja dia itu nggak mau Pemuda desa sini melihat Istrinya keliling desa tanpa didampingi olehnya. Tapi kan aku sama Farah? Harusnya dia percaya dong, sama Farah? Berbagai pertanyaan singgap di kepala Shania.
“Kak Fabian mau pulang jam berapa, katanya Kak?” tanya Farah.
Shania mengangkat bahunya.
“Enggak menyebut jam berapa. Cuma bilang mau pulang sebelum sore, sih. Kak Fabian kan, pasti mau menemui para Tamu juga, nanti sore,” jawab Shania.
Farah manggut kecil.
“Oh, kalau begitu gampang. Yuk, kita jalan-jalan sekitar sini saja, dan kembali sebelum kak Fabian pulang,” ajak Farah.
“Wah! Bisa marah nanti, kak Fabian-nya kalau tahu aku melanggar pesannya,” ucap Shania ragu.
Farah tersenyum nakal, membuat Shania penasaran.
“Eh, ada apa? Kok senyummu seperti itu?” korek Shania.
“Tenang, Kak Shania. Kak Fabian nggak bakalan marah. Sini, aku kasih tahu caranya, Kak Shania,” ujar Farah lalu mendekati Shania. Saat Shania menelengkan kepalanya, Farah pun membisiki telinga Shania. Shania mendengarkannya dengan saksama.
“Gimana Kak? Pasti seru deh! Kak Shania pasti suka,” ucap Farah.
Shania terdiam dan menimbang sesaat. Mulanya Shania ragu, tetapi keinginannya untuk keluar rumah kian menggebu-gebu. Apalagi dia melihat wajah Farah menyiratkan keyakinan yang besar. Perlahan, disingkirkannya keraguannya.
Sepertinya menarik! Dan aku akan secepatnya kembali. Kak Fabian nggak akan tahu kalau aku menyelinap sebentar, kan? Yang penting, sewaktu dia pulang, aku sudah di rumah, pikir Shania, membenarkan dirinya.
“Ayo,” kata Shania kemudian.
Farah menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, mengisyaratkan agar Shania memelankan suaranya. Shania mengangguk. Dia menurut saat Farah memberikan kode agar dirinya menjauh secara perlahan dari area dapur. Saat Farah menggandeng tangannya dan mempercepat langkah, Shania mengimbanginya. Ia tak lagi memikirkan apa pun. Yang terbayang olehnya adalah kebebasan dan pengalaman seru yang akan direguknya. Dan baru sekadar membayangkannya saja, ska cita sudah membuncah di hatinya.
Maaf ya Kak Fabian, aku sedikit melanggar pesanmu. Tapi tenang, cuma sebentar kok. Paling-paling kalau nanti Kak Fabian tahu, bakal tertawa geli deh, pikir Shania.
Lantas, Shania segera menyetujui usulan Farah untuk menyelinap keluar melalui ‘jalan rahasia’ sehingga tak perlu terlihat oleh para Pekerja yang ada di rumah besar tersebut. Dengan begitu, takkan ada yang tahu bahwa sebetulnya dirinya sedang tidak berada di rumah.
“Kamu benar-benar pintar, Farah,” puji Shania.
*
Shania tertawa-tawa. Ia sangat kegirangan dan bersemangat dengan pengalaman menarik yang dialaminya bersama Farah hari ini. Pengalaman baru yang tak terbayangkan olehnya. Bagaimana tidak?
Bersama Farah, ia baru saja menyusuri lorong rahasia yang terletak di ujung koridor yang letaknya tak seberapa jauh dari dapur. Dari sana, ia hanya dibimbing untuk berjalan lurus demikian jauh dan tahu-tahu sudah tembus ke taman bunga. Seperti anak kecil yang sudah lama tak melihat dunia luar, Shania langsung berlarian kesana-kemari, mengagumi bunga-bunga yang berwana cerah itu. Shania bahkan menanggalkan alas kakinya dan melompat riang di atas rerumputan basah.
“Ini seperti di negeri dongeng, indah sekali!” seru Shania sambil mengembangkan kedua lengannya dan menghirup napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar.
Farah ikut senang melihat wajah sumringah Kakak iparnya tersebut.
“Desamu ini indah sekali, Farah. Rasanya aku bakal betah, tinggal berlama-lama di sini,” ujar Shania setelah puas berlarian.
“Oh, bagus dong, kalau begitu. Aku jadi ada temannya. Kak Fabian itu jarang sekali pulang Kak, selama ini,” tutur Farah.
“Iya, dia sibuk. Kerja terus. Cari uang, katanya,” jawab Shania.
Shania menghampiri bunga mawar yang begitu segar dan menghirup aromanya. Matanya sampai memejam meresapi keindahan di sekitarnya.
“Ya sibuk sih sibuk Kak. Tapi masa enggak bisa disempatkan, tiga atau bulan sekali saja, menengok kami? Kak Fabian itu, paling banyak setahun dua kali, datang kemari. Lagi pula, ngapain harus cari uang di kota? Usaha Ayah kan banyak. Siapa yang mau mengurusi nantinya kalau bukan Kak Fabian? Aku sama Fina kan Anak perempuan,” keluh Farah sambil menekan kata ‘Anak perempuan’ sepelan mungkin, sampai-sampai Shania tak mendengarnya.
“Nantinya kan aku bakal bantu usahanya Kak Fabian. Semoga itu bisa sedikit mengurangi kesibukannya. Nanti aku bilang ke Kak Fabian deh, mulai sekarang harus sering-sering, kemari. Aku senang berada di sini, soalnya. Ya, biarpun agak capek sih di perjalanannya,” kata Shania.
“Asyik, Janji ya Kak? Beneran ya, Kak?” sambut Farah riang.
Shania langsung menganggguk mantap.
“Iya, pasti. Eh, tapi ada yang mau aku tanyakan,” kata Shania yang mendadak teringat sesuatu hal. Mimpinya. Ya, ada desakan kuat dalam hatinya untuk mencari tahu sekarang juga kepada Farah!
Sekalipun aku kurang yakin apakah Farah akan dapat menerjemahkan arti mimpi yang aku alami, tetapi siapa tahu kalau kusebutkan ciri-ciri Wanita itu, dia bisa memberikan sedikit petunjuk berarti? Pikir Shania.
^ * Lucy Liestiyo * ^