Episode : Rahasia Hati Sang Penguasa Kerajaan di Dasar Danau Ariya (2)
Detik-detik berlalu di dalam senyap. Tidak terdengar suara, apalagi sebuah percakapan dua arah.
Sang Ratu sudah seperti cacing kepanasan saja di dalam kamarnya. Gelisah bukan kepalang.
Pun begitu, Sang Ratu tidak mau menyerah begitu saja.
Walau lututnya mulai terasa kesemutan karena terus diposisikannya dalam keadaan berlutut semenjak tadi, ia tetap bertahan untuk menunjukkan kesungguhan hatinya. Dia masih memohon agar Sang ‘Guru’ memihaknya, membela kepentingannya.
Namun sejauh ini tetap saja tiada perubahan yang berarti. Tidak ada suara sahutan dari Sang Guru, betapapun dirinya telah menanti di dalam harap dan cemas.
Perjanjian itu. Perjanjian berengsek yang tak sengaja aku ketahui. Dan itu jelas merugikan diriku. Sial sekali, si Perempuan bernama Endah itu juga tidak tahu. Dasar perempuan bodoh, dia itu! Tapi kebodohannya malah membuat hidupnya tenang dan damai sampai sekarang, batin Sang Ratu dalam jengkel.
Pikiran Wanita itu seketika melayang ke sebuahperistiwa yang terjadi di masa lalunya. Masa di mana dia baru beberapa hari tiba di kediaman mewah Sang Suami.
...
“Dari semua ruangan yang ada di sini, ada satu ruangan yang tidak boleh kamu dekati. Kamu tidak boleh mendekati, apalagi memasukinya. Itu milik keluargaku, yang dirawat secara turun temurun,” pesan dari Sang Suami yang berkali-kali ditegaskan selama dalam perjalanan itu, justru membuat dirinya penasaran.
Malam itu lantaran Sang Suami tidak tidur di sisinya, dipikirnya Sang Suami pasti berada di kamar Bu Endah.
Ia pun menyelinap keluar dari kamarnya. Ia mengendap-endap, menelusuri lorong-lorong yang ada di seantero rumah mewah ini. Ia memasang telinga setiap mendekati pintu ruangan manapun. Hingga akhirnya tibalah dia di sebuah ruangan yang membuatnya penasaran dan segera mengingatkannya akan pesan Sang Suami.
Jangan-jangan ini ruangannya. Ah, aku mau cari tahu, ada apa gerangan di sini. Selama aku di sini, tidak pernah aku melihat ada Pegawai yang mendekat. Sepertinya mereka sangat patuh. Bahkan si Bodoh Mbak Endah itu juga tidak berani mendekat kemari, pikir Wanita tersebut.
Ia mencermati dan terkejut kala mendengar suara dari dalam. Suara Pak Handara, Suaminya!
Dan entah mengapa, sepertinya Pak Handara sedikit abai malam itu. Ia membiarkan pintu ruangan tersebut dalam posisi sedikit terbuka.
Sang Pengintip tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari tahu.
Ternyata, tidak ada Seorangpun di dalam sana, tetapi Sang Suami tampak bicara sambil duduk bersila.
“Tidak apa-apa. Biarpun sulit, aku akan berusaha agar tidak ada Penduduk desa Watu Dasa yang bermain dan membuat kegaduhan berlebih setelah hari gelap. Aku menghargai keberadaan Anda. Asalkan tidak menganggu Keluargaku dan Penduduk Watu Desa,” kata Pak Handara.
“Baik,” terdengar sebuah Suara tanpa wujud.
“Apa yang Kau minta dariku, sebagai imbalannya?” tanya Suara itu.
“Tidak ada, sebetulnya. Aku hanya ingin hidup keluargaku dan seluruh Penduduk desa menjadi tenteram. Sedapat mungkin aku akan mencegah, supaya mereka tidak melakukan hal-hal yang tidak baik di sekitar danau,” kata Pak Handara tenang.
“Aku tidak pernah memberikan hal percuma kepada Orang yang menjamin ketenangan wilayahku dari gangguan,” terdengar lagi Suara itu.
Pak Handara mengulangi perkataannya, “Sungguh. Tidak ada. Asalkan segenap keluargaku dan Penduduk desa hidup tenang, cukuplah itu.”
“Kamu tidak ingin kekayaanmu bertambah?” terdengar tawaran yang menarik.
“Tentu saja aku mau. Apalagi sekarang aku mempunyai Istri lagi. Dan hampir mempunyai Anak lagi. Tapi aku dapat bekerja keras untuk itu,” sahut Pak Handara.
“Aku bisa memberimu dalam sekejap.”
Pak Handara seperti berpikir. Dia tahu, hal-hal macam ini tidak pernah gratis. Selalu ada akibat buruk di belakangnya. Yang dapat ia lakukan dan usahakan hanyalah untuk menjamin ketentraman hati seluruh Orang yang ia cintai saja.
“Kekayaanmu takkan ada gunanya kalau kamu tidak punya Penerus yang dapat kamu andalkan,” suara itu terdengar menggoda.
“Semua Penduduk desa akan merasakan manfaatnya. Terlebih, aku juga sudah mempunyai seorang Anak Laki-laki dari Istri pertamaku, Endah. Sekarang aku tengah menanti kelahiran Anakku dari Fatin. Aku tak berkekurangan suatu apapun,” tegas Pak Handara.
Merasa ditolak, terdengar Suara yang tadi, tak kalah tegas.
“Sudah. Begini saja. Aku akan memberikanmu masing-masing dua Orang Anak, dari kedua Istrimu. Dua Anak Laki-laki dan dua Orang Anak Perempuan. Anak Laki-laki akan meneruskan garis keturunanmu. Tapi ingat, tetap jangan langgar semua garis-garis wilayahmu. Dengan pengaruhmu, halau Orang-orang, jangan biarkan mereka membuat kegaduhan di sekitar tempatku. Aku tidak suka.”
“Tetapi..,” perkataan pak Handara terputus.
Mendadak ia merasakan ada seseorang yang menguping.
Ia segera bangkit berdiri dan menuju pintu.
Tubuh Pak Handara menegang, mendapati ada Seseorang di luar sana. Hal yang tak sepatutnya terjadi apabila dirinya tengah berkomunikasi dengan Sang Penguasa Danau Ariya. Pak Handara tak habis pikir, siap gerangan yang telah melanggar larangan yang dibuatnya di rumah ini, yakni bahwa tidak boleh ada yang mendekat ke ruangan khususnya ini.
Dan ia segera tahu, Siapa Orang yang tak tahu diri itu!
Disaksikannya, istri Keduanya menatap lurus kepadanya, seolah memegang rahasia pribadinya.
“Fatin! Aku sudah memperingatkanmu untk tidak mendekat kemari!” sentak pak Handara.
“M... maafkan aku, Mas...! Aku hanya..., tidak bisa tidur!” kata Sang Istri Kedua.
Sang Suami terpaku.
Itu membuat keadaan seketika berbalik. Istri Keduanya mengambil celah itu untuk menekannya.
“Aku mau kamu temani malam ini, Mas,” pintanya manja.
“Enggak bisa. Hari ini bukan giliranmu. Kamu jangan serakah. Kasihan Endah sudah banyak mengalah. Dari kemarin-kemarin aku sudah di kamarmu terus, menemanimu. Dan Endah mau memahami karena dipikirnya itu pembawaan bayimu yang ingin dekat dengan Ayahnya,” tolak Sang Suami.
“Aku akan memberitahukan hal ini ke seisi rumah,” ancam Sang Istri Kedua.
“Huh! Katakan saja! Seisi rumah sudah tahu. Aku adalah semacam Orang yang disegani di desa ini. Kesejahteraan warga adalah tanggung jawabku, walau secara tidak langsung. Aku hanya menjembatani dua kepentingan, agar tidak saling bertabrakan. Di semua tempat, ada lokasi yang tidak boleh dilanggar. Tahu apa kamu?” balas Pak Handara.
Sang Istri Kedua langsung bungkam. Merasa posisinya tak lagi berada di atas angin.
Namun toh, ia penasaran tentang ‘jumlah anak’ yang bakal didapatkan oleh Sang Suami dari pernikahannya.
“Aku..., apakah aku akan mendapatkan satu Anak laki-laki? Karena tadi aku dengar..., kamu hanya hanya mendapatkan dua pasang Anak lelaki dan dua pasang Anak perempuan,” kata Sang Istri Kedua.
Pak Handara mengibaskan tangannya.
“Aku tidak pernah setuju. Dan aku hanya meminta agar tidak ada yang mengganggu ketentraman di desa ini,” tegas Pak Handara.
“Kalau nanti Anakku Laki-laki..., apakah kamu akan menyayanginya seperti kamu menyayangi Anak lelakimu, Fabian?” tanya Sang Istri kedua.
“Pergilah ke kamarmu, Fatin. Anak Laki-laki atau Anak Perempuan itu sama saja bagiku. Semua pasti akan kuperlakukan secara adil. Nggak ada yang aku beda-bedakan. Yang penting hati mereka baik, dan nantinya mempunyai rasa peduli yang besar kepada para Warga desa Watu Dasa ini,” suruh Pak Handara.
“Mengapa harus memedulikan warga desa Watu Dasa? Memangnya ini tanggung jawab mereka? Kan ada aparat yang mengatur?” protes Sang Istri Kedua.
Pak Handara menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan.
“Sebenarnya itu sama sekali bukan sutu keharusan. Akan tetapi sudah sejak dulu, kami satu desa ini adalah satu kesatuan. Penderitaan satu Orang ditanggung bersama. Hanya saja, kebetulan semenjak dulu Keluargaku yang diberikan rejeki lebih untuk dapat membantu mereka. Sebaliknya, mereka juga banyak membantu Keluargaku dengan tenaga mereka.
“Membantu bagaimana, Mas?” tanya Sang Istri Kedua.
“Mereka bekerja mengurus rumah ini. Ada sebagian yang mengurus penggilingan padi, peternakan, bahkan beberapa bidang usaha lainnya, termasuk yang di luar kota. Mereka melakukannya dengan penuh tanggung jawab,” terang Pak Handara.
“Itu bukan membantu namanya Mas! Mereka bekerja. Dan untuk itu mereka dibayar. Justru Keluarga mas yang membantu mereka, memberikan mereka lapangan usaha,” bantah Sang Istri Kedua.
Pak Handara mulai terlihat kesal dengan pemikiran picik Wanita di depannya.
“Tepatnya, saling membantu. Kalau mereka tidak mau mengerjakannya, memangnya Keluarga kami mampu, menuntaskan semua pekerjaan itu sendiri? Pikir olehmu! Sudah, kamu tidak usah terlalu banyak mengurusi hal macam itu. Pikirkan saja kesehatanmu, kesehatan Anak dalam kandunganmu. Yang penting semua keperluanmu tercukupi,” tegas Pak Handara.
“Tapi mengapa Mbak Endah boleh ikut mengurusi usahanya Mas? Aku sering melihat Mas mengajaknya saat ke penggilingan padi atau menunjau ke sawah. Itu nggak adil buat aku,” protes Sang Istri kedua lagi.
“Endah itu tidak sedang hamil. Lagi pula dia membantu aku sekadarnya. Semampu dia. Memangnya kamu pikir, peternakan sapi, kambing ataupun ayam itu adalah tempat piknik yang menyenangkan?” balas Pak Handara.
Melihat wajah Sang Suami yang mulai menegang dan rahang yang mulai mengeras, tak urung Sang Istri Kedua merasa gentar juga. Ia segera merubah sikap.
“Ooh... ya sudah kalau begitu. Jadi kalau nanti aku sudah melahirkan, berarti aku boleh mendampingimu kemana-mana ya Mas? Aku juga mau dikenal sama Warga desa ini,” katanya. Tentu saja ia menambahi dalam hati, “Aku juga mau disanjung. Aku mau dihormati dan dipuja sama Penduduk desa. Bukan hanya Istri Pertamamu.”
Pak Handara tidak menjawab.
“Jangan membicarakan hal-hal yang jauh dulu. Pikirkan saja cara membantuku untuk mendidik Anak-anak yang lahir dari rahimmu nanti sebaik mungkin, supaya dicintai oleh Para Warga Desa Watu Dasa,” kata Pak Handara.
“Dididik bagaimana maksudnya, Mas?” Sang Istri Kedua setengah bergumam.
“Ya dididik, dengan tidak meninggikan diri dan menganggap diri mereka lebih tinggi dari Warga desa ini. Justru mereka harus melindungi dan membantu Para Warga semampu mereka, sesuai dengan apa yang dapat mereka lakukan. Itu saja sudah cukup buatku. Itu adalah pesan yang turun-temurun kami pegang,” pungkas Pak Handara, lalu melakukan gerakan seperti menghalau Sang Istri Kedua. Ia benar-benar sudah lelah berdebat tak penting dengan Sang Istri Kedua yang kian hari kian menampakkan sifat aslinya yang hendak menonjol dan menguasai itu.
Walau menuruti perintah Sang Suami, toh apa yang disaksikannya malam hari itu tak membuat dirinya tenang. Dia merasa takut kalau Anaknya nanti terlahir sebagai Anak Perempuan.
Ia memendam kecewa saat Farah lahir. Apalagi saat Fina juga lahir. Dia mulai merengek kepada Sang Suami. Ia masih berharap, ia akan mendapatkan satu Anak lagi. Namun toh kenyataan pahit harus dihadapinya. Kedua indung telurnya bermasalah.
Dan bencinya kepada Sang Istri Pertama kian mendalam kala mengetahui bahwa Sang Istri Pertama, ternyata justru hamil lagi. Saat itu pula dia tahu, bayi yang dikandung oleh Sang Istri Pertama, tentu saja bayi Laki-laki. Dan itu semakin mengeceilkan posisinya di rumah itu. Semakin membuat dirinya kesulitan untuk menyingkirkan Perempuan bernama Endah itu sejauh mungkin dari rumah tempat tinggal mereka bersama dan dari jangkauan Pak Handara. Itu juga artinya jelas, akan kian susah baginya untuk memonopoli seorang Pak Handara hanya untuk dirinya seorang.
...
Sampai di sana, lamunan Sang Ratu terputus. Ada hal super penting yang mengusik dirinya. Dan itu tengah terjadi! Sungguh menuntut perhatiannya.
Monitor yang berada di depannya sangat mengesalkan dirinya. Apa yang dilihatnya di sana sungguh membuat dirinya amat khawatir.
Sial! Si Fabian itu benar-benar sama keras kepalanya dengan Istrinya itu! Pantas saja mereka berdua berjodoh satu sama lain! Pikir Sang Ratu di puncak rasa sebalnya.
^ * * Lucy Liestiyo * * ^