Episode : Akhirnyaaa...! Yang Dinantikan Oleh Windy Menghampirinya Juga!
Dengan tetap menempelkan kedua telapak tangannya di pipi Windy, Bagas menatap dalam-dalam Gadis itu, tepat ke bola matanya.
Jantung Windy bagai hendak melompat dari tempatnya. Ia terkaget luar biasa.
Bagi Windy, itu sungguh merupakan sebuah langkah maju dari Bagas. Langkah yang patut diapresiasi olehnya.
Di detik ini, Windy mulai mensyukuri alangkah kuatnya aura romantis yang dimiliki oleh area danau buatan ini. Walau tidak terkatakan, dia juga tak lupa untuk mensyukuri kepergian Fira yang telah selesai membereskan bekas makan mereka dari tadi. Diam-diam, dia juga memuji dirinya sendiri, memuji kesabaran yang ia miliki, serta usahanya menahan perasaan semenjak tadi pagi.
Yang namanya kesabaran memang nggak pernah sia-sia. Selalu ada hasil untuk dipetik, pikir Windy.
Hati Windy terus saja berdebar kencang, menanti ucapan Bagas selanjutnya. Ucapan yang ia rasa perlu untuk menentukan kemana arah hubungan mereka ke depannya kelak. Ucapan yang dirindukan oleh indra pendengarannya.
Senyap sesaat, sebelum akhirnya Bagas menarik napas dalam-dalam. Persis Seseorang yang akan mengungkapkan sesuatu hal yang serius dan penting.
Alhasil, jantung Windy seolah memompa darah dua kali lebih cepat dari biasanya melihat hal itu. Situasi ini sungguh mengherankan bagi Windy. Sebab dengan Para Mantannya yang terdahulu, tidak pernah dia merasa segugup ini kala menanti mereka menyatakan perasaan kepadanya. Benar ada kegugupan, namun tidak sebesar ini kadarnya.
“Win..., aku.., aku sangat berterima kasih atas pengertianmu,” ucap Bagas.
Windy tahu ucapan itu belum selesai. Ia menanti kelanjutannya.
Duh Bagas, agak cepat dong. Ini jantung sudah nggak sehat tahu, nungguin kamu menyelesaikan kalimatmu, keluh Windy dalam hati yang terasa jedag jedug tidak karuan.
Bagas menurunkan kedua telapak tangannya dari pipi Windy, dan beralih memegang kedua telapak tangan Windy dengan erat.
“Windy..., aku berharap..., semoga kamu bisa sabar dalam menghadapi aku. Soalnya, ya itu tadi, jadwal kerjaku juga sering berubah. Mungkin ya..., gara-gara itu ya, aku masih juga melajang sampai sekarang. Nggak ada Cewek yang tahan sama hal itu. Jarang..., ada Cewek yang tidak menuntut waktu dan perhatianku sesuai..., eng.., maaf, porsinya mereka.., sementara aku..., huft! Ya kamu tahu kan..., eng..., kesibukanku..? Itu..., tadi pagi saja aku sudah mengecewakanmu..,” kata Bagas lirih setelahnya.
Ucapan Bagas yang memecah senyap di antara mereka itu diucapkan dengan sedikit tebata-bata, dengan suara yang cukup dalam. Mirip sebuah akumulasi dari keluhan yang sudah bertumpuk-tumpuk sekian lamanya.
Hati Windy serasa dicubit. Dia bingung harus merespons dengan kata-kata macam apa. Mana dia tahu perasaan dan pertimbangan Bagas sedalam ini? Dan mana dia tahu kalau Cowok ini masih saja menyesal lantaran batal mengajaknya ke kebunnya yang di kawasan Puncak? Andai saja yang mengucapkan kalimat macam itu adalah Teman-teman kantornya, akan ditimpalinya dengan gurauan atau ejekan yang dapat mencairkan suasana.
Sayangnya, ini Bagas! Bagas yang sungguh berbeda! Bagas yang perlahan namun pasti membawa banyak perubahan pada dirinya! Bagas yang agak misterius. Bagas yang sulit ditebak olehnya.
Maka dia terbungkam, tak mampu berkomentar karena merasa bahwa hal ini menyangkut perasaan Bagas. Perasaan seseorang yang amat dan harus dijaganya dengan sebaik mungkin.
Lalu Bagas mendekatkan wajahnya ke wajah Windy.
Di detik ini, Windy merasa tubuhnya melemas dan seolah dirinya sudah hampir pingsan. Dan rasanya, ia akan rela untuk pingsan saat ini di hadapan Bagas.
Menurut peerkiraan Windy, sebagai Laki-laki normal tentunya Bagas tak akan membuang sia-sia momen yang sudah berpihak kepadanya ini. Windy berpikir, pasti Bagas akan berani mengambil langkah berikutnya, yakni mencium bibirnya. Ya, ia sudah merelakan hal itu. Mata Windy terpejam.
Dan hatinya kembali tergelitik sesaat setelahnya, kala ia mendapati ternyata Bagas hanya mencium keningnya. Begitu lembut, dan cukup lama. Mencium keningnya di momen yang amat memungkinkan dan didukung oleh suasana sekitar di mana hanya ada mereka berdua.
Hati Windy meleleh. Tidak ada rasa kecewa lagi yang menyelip di benaknya. Ia justru kian menaruh respek pada Bagas.
Ya ampun, Cowok satu ini! Baik hati banget sih! Bikin hati aku makin kepincut sama dia! Bayangin! Dia itu barusan bukan mengambil kesempatan buat mencium bibir aku, tapi malahan kening. Luar biasa! Aku jadi semakin yakin buat memercayakan hatiku ke dia, kata Windy dalam hati. Windy tergerak untuk mengeset hatinya dalam mode 'pasrah' kepada Seorang Bagas.
Usai kecupan lembut di kening Windy, Bagas mengusap kepala Windy.
Ia lantas berbisik, “Win. Aku mau ngomong jujur sama kamu deh.”
Windy setengah bergumam mengucapkan, “Apa?”
Ya, dia benar-benar butuh ucapan itu sekarang, meski pertanyaannya itu bagaikan reaksi atas ketidaksabaran.
Tetapi Windy terpaksa melakukannya. Rasanya dia sudah tak sanggup dibuat dag dig dug terus menanti momen ‘sakral’ ini. Momen pengungkapan perasaan.
Bagas melanjutkan kata-katanya, “Dari awal pertemuan kita sebenarnya aku sudah tertarik sama kamu. Apalagi ketika kita ngobrol, aku juga merasa nyaman. Tapi dengan semua keterbatasanku dan masalah yang aku miliki, aku ragu dan nggak ingin bikin hati kamu susah. Makanya aku sangat berhati-hati. Tapi sekarang, ah! Aku nggak tahu..., rasanya aku nggak bisa mencegah perasaanku. Aku..., aku sayang sama kamu. Tapi aku nggak yakin, kamu akan bisa membalas perasaanku. Aku ini nggak sebebas Orang lain, Win. Dan aku.., aku juga nggak suka terlalu menunjukkan kalau aku sedang menjalin hubungan dengan Seseorang.”
Akibatnya, hati Windy tersentuh hingga ke dasarnya.
Dia begitu pasti karena trauma, gagal terus. Masa ada Cowok yang segitu traumanya sih? Aku saja yang berkali-kali gagal menjalin hubungan, nggak kapok tuh, menunjukkan ke Orang lain bahwa aku lagi dekat sama Siapa. Tapi kalau memang itu maunya Bagas, ya kenapa aku nggak ikuti saja? Nggak ada ruginya, kan? Ya amit-amit, kalau seandainya nanti putus lagi kan jadi nggak terlalu malu juga, pikir Windy lagi.
“Win...,” ucap Bagas.
“Ya..,” sahut Windy.
“Seperti itulah keadaanku. Aku..., nggak mau kalau menjalani sebuah hubungan, terus nanti isinya melulu pertengkaran karena kesibukanku,” kata Bagas.
Hati Windy bagai disiram dengan satu ember air es. Sejuk, dan tenteram.
Dia berdeham kecil.
“Eng..., Bagas..., kalau misalnya, kita jalani dulu saja, bagaimana? Menurutku..., kita ngak akan pernah tahu bakal seperti apa, kalau tidak pernah dijalani. Ya kan?” Windy balik bertanya.
“Kamu serius?” tanya Bagas hendak meyakinkan.
Wajah Bagas tampak demikian cerah.
Windy mengangguk dengan matanya. Hatinya terasa amat senang mendapati perubahan air muka Bagas yang tampak demikian nyata di matanya. Perubahan yang ia harap, sungguh-sungguh cerminan dari hati yang tengah bersuka cita karena dirinya, karena tawaran yang ia ucapkan barusan.
“Terima kasih banyak Windy. Aku kasih tahu sesuatu ke kamu.., Ini rasanya seperti mimpi saja buatku,” ucap Bagas tulus.
Windy tersenyum dan menundukkan wajahnya. Dia tak tahu mengapa, kosa kata yang dimilikinya serasa menguap semua. Tidak ada satu patah katapun yang sanggup untuk dilontarkannya demi menyahuti Bagas.
Bagas meyentuh dagu Windy, menengadahkan wajah Gadis itu. Mereka kembali bertatapan.
Saat inilah, Bagas mendaratkan sebuah kecupan lembut namun singkat di bibir Windy. Kecupan yang membuat tubuh Windy seketika bergetar hebat. Ia pasrah saja kala Bagas memeluknya. Perasaan Windy sudah mengawang-awang.
Ternyata semuanya seindah ini. Ini..., ini bagaikan sebuah misteri buatku, batin Windy.
Lantas untuk beberapa saat mereka hanya diam tanpa kata. Windy meresapi pelukan itu. Ia bahkan dapat merasakan detak jantung Bagas. Ia membiarkan angin menerpa wajahnya. Ia juga membiarkan tangan Bagas merapikan anak-anak rambutnya yang berantakan diterpa angin.
*
Ada perbedaan yang mencolok, yang amat dirasakan Windy dalam perjalanan pulang.
Setelah mengungkapkan perasaannya kepada Windy, Bagas terlihat lebih lepas. Dia dapat menimpali gurauan Windy. Dia juga tidak ragu untuk sesekali menggenggam tangan Gadis itu dan mencium punggung tangan Gadis itu kala mengantri di lampu merah.
Dan yang terutama, Windy merasa hatinya lebih plong sekarang. Dia merasa sudah resmi menitipkan hatinya kepada Bagas, sekaligus memiliki hati Cowok yang belakangan ini mewarnai hari-harinya. Windy juga menengarai bahwa pembawaan Bagas yang terasa lebih cair dalam perjalanan pulang itu karena Bagas juga telah merasa lega usai menyampaikan isi hati kepadanya. Diam-diam, Windy mensyukuri semuanya.
Ketika mereka hampir tiba di toko bunga Bagas, mendadak terpikir sesuatu oleh Windy.
“Eng..., Bagas, habis ini kan kamu mau langsung pergi, ya? Kalau misalnya aku tetap di toko bunga sekitar satu atau dua jam, boleh nggak? Soalnya..., aku sudah telanjur bilang ke Orang rumah kalau aku bakalan pulang menjelang malam karena semula aku perkirakan kita bakalan ke Puncak. Aku jadi kebingungan mau kemana,” kata Windy terus terang.
Bagas menoleh dan menyahutinya, “Waduh! Tuh, kan, gara-gara aku!”
“Sudah deh, jangan itu melulu yang dibahas. Sekarang jawab saja, boleh atau nggak,” Windy setengah merajuk.
Bagas terdiam sesaat sebelum berkata, “Boleh. Tapi apa kamu nggak bosan? Soalnya aku langsung pergi, ini setelah nge-drop kamu di toko.”
Windy lekas menggeleng dan mengoda, “Selama kamu bukan mau menemui Cewek lain buat berkencan ya.”
Bagas tertawa kecil.
Ia mengerling lantas berkata, “Asyik. Sudah mulai ada yang mencemburui lagi. Sudah mulai ada yang peduli lagi. Aku sampai sudah hampir lupa perasaan macam itu.”
“Masa sih?” olok Windy.
“He eh,” ucap Bagas, yang segera disambungnya, “Oke, kalau kamu mau main di toko bunga, nanti aku turun dulu sebentar. Supaya ada Pegawaiku yang menemani kamu ya. Terus kamu mau duduk di ruang tamu..., atau..., di ruanganku?”
Berkata begitu, Bagas merogoh saku celananya dan seperti mencari sebuah kunci.
Walau digoda rasa ingin tahu, anehnya Windy justru menggeleng dan merasa itu terlalu cepat.
“Nggak usah. Di ruang tamu saja. Lagi pula satu dua jam itu nggak lama. Lihat-lihat tanaman sebentar, lihat Orang merangkai bunga juga enggak terasa. Nanti dari tokomu baru aku singgah sebentar untuk beli makan makan buat Orang rumah. Kalau akhir pekan begini Mamaku enggak masak. Kan lumayan, sambil menunggu masakan siap, waktu juga nggak terasa,” kata Windy.
“Dasar Cewek cerdas! Kamu itu limited edition banget. Sudah cantik, pandai membawa diri, baik hatinya, eeeh..., punya otak yang cerdas, lagi. Itu Cewek lain bisa iri dan menuduh bahwa kamu serakah lho Win. Habisnya, kamu borong semua sih!" puji Bagas.
Persis reaksi Anak baru gede yang kepergok kala tengah melirik diam-diam Teman sebangkunya yang notabene adalah Sang Gebetan, Windy tersipu.
Pun begitu, ia juga bersyukur dalam hati.
Tuh kan! Ternyata Bagas juga enggak se-jadul itu kok. Dia bisa sedikit ngegombal itu barusan. Murah pujian juga. Sudahlah..., apa sih artinya perbedaan umur yang cuma sepuluh tahunan ini? Buktinya kamu nyambung-nyambung aja kok, ngobrolnya, kata Windy di dalam hatinya, demi membenarkan perasaan serta keputusannya. Dia menengarai, sikap Bagas yang lebih luwes itu adalah pengaruh dari rasa lega sebab telah mengungkapkan perasaan yang sebelumnya dipendam.
"Oh ya, Windy. Nanti sekiranya kamu haus atau lapar, minta ke Orang Toko buat pesanin kamu makanan dan minuman ya, mereka ngerti kok makanan yang enak. Nanti aku bilangin ke mereka juga. Pokoknya kamu jangan merasa sungkan. Anggap saja kamu ada di toko bungamu sendiri,” ujar Bagas setelahnya.
Windy tak mampu menyahut.
Suka cita yang teramat besar membuncah bebas di hati Windy.
Kenapa aku merasa seperti Isudah menjadi Seorang bu Bos, ya? Aaaah! Indahnya! Eh, serius, secepat ini? batin Windy girang.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $