Kecelakaan Yang Akan Mengubah Hidup Aruna
“Pak, pulang dulu ya.”
“Oh iya, Bu … Silahkan kuncinya.”
Seorang sekuriti memberikan kunci mobil kepada Aruna.
“Makasih, Pak.”
Aruna masuk ke dalam mobil pemberian mendiang suaminya saat ulang tahun ke dua puluh tiga tahun.
Sebuah mobil sedan Honda Civic berwarna putih, mobil yang Aruna mimpi-mimpikan dijadikan nyata oleh suaminya.
Siapa yang mengira kalau Bian ternyata selingkuh bahkan sampai memiliki anak dari selingkuhannya itu?
Mobil Aruna melaju mulus di jalanan Dago, kemacetan mulai mereda.
Simpang Dago sudah sedikit lengang.
Beberapa meter setelah melewati traffict light, kendaraan yang dikemudikan Aruna harus melaju pelan mengikuti kendaraan di depannya.
Seharusnya tadi dia lewat jalan Dipati Ukur lalu tembus ke Gasibu untuk menghindari macet.
Ah, Aruna sepertinya melamun lagi.
Aruna memang sedang memikirkan sebuah pesan yang masuk ke ponselnya dari mantan ibu mertua yang tadi pagi dia terima.
Si wanita yang katanya istri mas Bian itu tidak memiliki rumah, jadi ibu mertua menginginkan rumah Aruna sekarang untuk anaknya mas Bian.
Aruna memang memiliki rumah peninggalan kedua orang tua tapi ya masa dia harus merelakan rumah yang dibeli mas Bian ketika menikah dengannya kepada istri siri pria itu?
Bukannya rumah itu termasuk gono-gini?
Perlu diingat juga kalau Aruna sudah membagi warisan mas Bian kepada ibu dan kakak perempuan mas Bian sesuai aturan Agama yang berlaku.
Dan ditetapkan kalau rumah itu menjadi miliknya.
Brak!
Di tengah-tengah lamunannya tadi Aruna mengerem mendadak karena mobil yang di depannya tiba-tiba berhenti.
Aruna memang berhasil menghindari tabrakan depan tapi buntut mobilnya tertabrak oleh mobil di belakang sampai d**a Aruna menekan stir kuat meski sakitnya tidak seberapa.
Lidahnya berdecak kesal, dia pun mengesah berharap tidak perlu ganti rugi.
Iya, Aruna merasa dirinya yang salah padahal dirinya yang ditabrak.
Aruna menginjak gas pelan untuk menepikan mobilnya agar tidak menghalangi pengendara lain.
Turun dari mobil, menguatkan hati untuk menghadapi si penabrak.
Dalam benaknya sedang mengingat-ngingat saldo terakhir di rekening banknya.
Mudah-mudahan cukup untuk mengganti kerugian mobil yang menabraknya.
Seorang pria paruh baya turun dari balik kemudi usai menepikan juga mobilnya di belakang mobil Aruna.
Ekspresinya datar, pria itu sempat melirik Aruna kemudian memeriksa kerusakan pada mobilnya.
“Maaf Bu, tadi saya lagi dapet telepon jadi enggak sempat ngerem.”
“Ya?” Aruna terkesiap.
“Ini … bukannya harusnya aku yang minta maaf ya?” Aruna membatin.
“Mobil ibu diasuransikan enggak? Mudah-mudahan iya ya Bu, jadi saya gantinya enggak terlalu besar karena mungkin saya juga harus memperbaiki mobil majikan saya.”
Si pengemudi itu memperlihatkan raut wajah nelangsa.
“Saya mah cuma supir, Bu …,” sambungnya lagi.
Aruna jadi iba.
“Oh ya udah, Pa—“
“Pak Malik,” panggil seseorang dari belakang punggung pria tua tadi.
“Pak Adrian … sebentar, Pak …,” sahutnya sambil sedikit membungkuk tampak ketakutan.
Aruna memperhatikan pria yang memanggil tadi, baru saja turun dari kabin belakang dan sedang berjalan mendekat sambil memegang ponsel.
Pria itu cukup tampan, tidak … maksudnya sangat tampan.
Yaaa, sembilan koma sembilan lah karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa.
Rambutnya lebat di potong undercut dengan kedua alis yang tebal membingkai wajahnya sempurna.
Pria itu juga memiliki rahang tegas dan sedikit bulu mulai tubuh di sana.
Dan sepertinya dia menghabiskan banyak waktunya di gym karena kemeja yang membalut tubuhnya saat ini mampu menyetak otot-otot indah di bagian lengan, d**a juga sebagian perutnya.
Tanpa sadar, Aruna menahan napas seiring langkah pria itu yang kian mendekat.
Tapi entah kenapa Aruna masih bisa mencium aroma parfum eksclusive pria itu ketika sudah berada di depannya.
“Saya minta maaf untuk kerusakannya mobilnya, pak Malik sedang menjawab panggilan telepon jadi fokusnya teralihkan.”
“Oh ….” Hanya itu yang bisa Aruna ucapkan lantas menoleh pada ekor mobilnya untuk menghindari tatapan pria yang kalau tidak salah dengar bernama Adrian.
Tatapannya begitu dalam memaku Aruna membuatnya risih.
“Nanti akan saya ganti,” kata pria itu membuat Aruna mengembalikan tatap padanya.
“Beneran?” kejar Aruna, walau satu titik kerusakan hanya tiga ratus lima puluh ribu rupiah—karena mobilnya masih diasuransikan—tapi ‘kan lumayan buat nongkrong di cafe bersama Irma dan Icha, sahabatnya.
“Iya … saya akan ganti.” Adrian merogoh dompetnya dari saku celana lalu memberikan kartu nama kepada Aruna.
Aruna tertegun menatap kartu nama di tangannya.
Pria itu adalah salah satu pimpinan di perusahaan besar tempat di mana mas Bian bekerja.
Lebih tepatnya Adrian Pramudya adalah atasan mas Bian.
Aruna jadi ingat, dia pernah mendengar beberapa kali mas Bian mengeluh tentang atasannya yang bernama Adrian karena terlalu keras menekannya.
Dia tidak menyangka sekarang sedang berhadapan dengan pria itu.
“Hubungi saya kalau biaya perbaikannya sudah keluar.”
“Enggak usah Mas … eh, Pak … ini ambil lagi kartu namanya … enggak apa-apa enggak usah ganti biaya perbaikan, aku juga belum tentu secepatnya masukin mobil ini ke bengkel karena masih butuh kendaraan untuk kerja … selama masih bisa jalan, aku pake aja dulu.”
Aruna menyerahkan kembali kartu nama itu.
“Oh, gitu ya ….” Adrian bergumam, dia mengalihkan tatapannya dari Aruna ke bagian belakang mobil Honda Civic berwarna putih.
“Iya, enggak apa-apa.” Aruna mengangsurkan kartu nama itu lagi agar Adrian mengambilnya kembali.
Dia tidak ingin berurusan dengan orang yang kata suaminya sangat menyebalkan.
Apalagi sebagai atasan, pria itu sama sekali tidak datang ke pemakaman mas Bian.
Hanya mengutus bagian HRD dan memberikan santunan entah berapa karena sang ibu mertua yang menerimanya.