“Argh!” Julian menendang udara dan kemarahan tercetak jelas di wajah. Ia masih berada di kamar setelah Raline pergi beberapa menit yang lalu. Rasanya ia menyesal selama ini telah menjalin hubungan sia-sia dengan Raline. Hubungan mereka memang baik-baik saja sebelum kehadiran Davin. Tapi, tak ada penyesalan meski hubungan mereka kini kandas. Dirinya lebih memilih Davin, memprioritaskan Davin daripada Raline.
“Um, Tuan. Kita punya masalah.” Shakila tiba-tiba muncul, memasuki kamar dan mengatakan satu kalimat tersebut.
Julian mengatur nafas menekan kemarahan. Ia tak ingin melampiaskan kemarahannya pada orang yang salah tak ingin mengkambing hitamkan Shakila. Ia yang sebelumnya berdiri membelakangi Shakila, berbalik dan bertanya, “Katakan.”
Shakila menarik popok Davin menunjukkan ruam-ruam kemerahan di atas pantatnya. “Sepertinya Davin mengalami iritasi. Aku tidak tahu apakah karena tidak cocok dengan popoknya atau hal lain.”
Julian amat terkejut. “Kita ke dokter,” ucapnya mutlak.
Beberapa saat kemudian Shakila dan Julian dalam perjalanan menuju klinik. Daripada menerka-nerka penyebab dan obat yang tepat, Julian membawa Davin ke dokter untuk diperiksa.
Suara desisan Shakila membuat Julian meliriknya. Saat ini Davin tengah menyusu Shakila karena s**u yang Shakila siapkan dari rumah sudah habis di perjalanan. Ia hanya menyiapkan satu botol s**u berpikir akan cukup hingga mereka sampai klinik dan akan membuatkannya lagi di sana. Tapi, baru setengah perjalanan s**u Davin sudah habis saat anak itu hampir tidur.
“Anda tenang saja, aku tidak akan menularkan penyakit. Aku belum punya ASI,” ucap Shakila dengan wajah bersemu merah saat menyadari Julian meliriknya. Ia menutupi bagian dadanya menggunakan jaket Davin.
Julian hanya diam. Ia sudah mencari tahu dan memang tak mungkin Shakila memiliki ASI.
Beberapa saat kemudian mobil yang mereka kendarai sampai di klinik anak. Keduanya pun turun dan segera masuk ke dalam klinik seperti sebuah keluarga kecil.
***
“Anda tenang saja, ini hanya iritasi ringan,” ujar dokter setelah memeriksa ruam kemerahan di p****t Davin.
Kedua alis Julian berkerut. “Anda yakin?”
Dokter anak itu terkekeh dan mengatakan, “Apakah ini anak pertama bapak dan ibu?”
Seketika Julian dan Shakila saling melempar lirikan. Namun, pada akhirnya Julian hanya mengangguk tak ingin panjang lebar memberi penjelasan bahwa Shakila bukan istrinya, hanya babysitter Davin.
“Beberapa anak memiliki masalah dengan kulit sensitif. Bisa terjadi karena alergi bahan tertentu dan sebagainya. Untuk kasus anak anda, saya akan memberinya obat anti iritasi. Mungkin anda bisa mengganti merek popok atau menjaga kulit anak anda agar tetap kering. Tapi, jika beberapa hari ruam kemerahan semakin parah, anda bisa membawanya ke rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan.”
Shakila mendengarkannya dengan seksama begitu juga Julian.
Julian tak mengira akan ada banyak masalah saat mengurus bayi. Walau hanya ruam kemerahan, dirinya sudah sangat cemas.
Beberapa saat setelahnya, Julian dan Shakila berada di pusat perbelanjaan membeli beberapa barang kebutuhan Davin. Mengikuti saran dokter, ia mengganti merek popok, membeli salep anti iritasi juga beberapa barang lain salah satunya selendang yang langsung Shakila gunakan. Kini Davin pun tertidur lelap dalam gendongan depan.
“Tuan, bukankah ini lucu?” Shakila mengambil topi bayi bertelinga kelinci dan menunjukkannya pada Julian. Saat ini mereka berada di toko pakaian bayi yang sekaligus menyediakan beberapa kebutuhan bayi lainnya.
Julian menatap Shakila datar membuat Shakila meletakkan kembali topi berbulu itu. Tak ingin mendapat tatapan dingin lagi, ia mengikuti Julian di belakangnya, membiarkan majikannya itu memilih sekaligus membeli apapun untuk anaknya.
“Shaki?”
Shakila tersentak mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh dan mendapati teman SMA-nya menatapnya terheran.
“Shakila? Ini benar kau, kan? Dan ini ….” Menatap Davin yang tersembunyi dalam gendongan kemudian menatap Julian. “oh, ya Tuhan, jadi kau sudah menikah? Bahkan sudah punya anak? Sejak kapan? Kenapa tidak mengundangku?” lanjut wanita itu bertubi-tubi.
“Ri- Ririn? Apa yang kau lakukan di sini?” kata Shakila disertai senyum kaku. Ia tak mengira akan bertemu teman lamanya di sana. Bagaimana jika teman lamanya itu akan menyebarkan rumor tentangnya? Bukan lagi rahasia jika Ririn adalah ratu ghibah sejak sekolah.
“Aku sedang mencari oleh-oleh untuk temanku yang baru saja melahirkan. Dan siapa sangka, kita justru bertemu di sini. Ayo, ceritakan sesuatu padaku mengenai pernikahanmu dan suamimu,” paksa Ririn.
“Ah, ano, sepertinya aku harus segera pergi. Sampai jumpa, Rin.” Shakila menarik tangan Julian yang tengah memilih piyama untuk Davin. Sejak membawa Davin tinggal bersamanya, ia hanya membelikan Davin beberapa potong baju.
“Apa yang kau lakukan?!” sentak Julian saat Shakila menariknya paksa.
“Tuan, ayo pergi dulu dari sini. Ayo!" ajak Shakila dengan berbisik. Ia tak ingin Ririn bicara dengan Julian atau menanyakan banyak hal. Ia tak ingin mengaku bahwa ia bekerja sebagai babysitter dan tak mungkin juga mengaku pada Ririn bahwa Julian adalah suaminya.
“Sepertinya Davin poop. Kita harus mencari tempat untuk mengganti popoknya. Dan Tuan harus ikut nanti aku tersesat,” ucap Shakila membuat alibi. Ia terpaksa berbohong untuk menghindari Ririn. Mendengar itu membuat Julian terpaksa menurut meski hatinya begitu dongkol.
Shakila bernafas lega setelah berada di luar toko berhasil menghindari Ririn.
“Ganti saja di mobil,” perintah Julian.
Tak ingin Julian curiga, Shakila mengangguk setuju. Sayangnya, sesampainya di mobil kebohongannya terbongkar. Davin tidak poop bahkan tetap tertidur pulas.
“Hehe, sepertinya aku salah. Ternyata Davin tidak poop,” ucap Shakila. Ia tertawa kaku dan tak berani menatap Julian.
Julian menatap Shakila curiga namun ekspresi wajahnya tetap datar. Ia merasa ada yang aneh dengan Shakila seperti Shakila sengaja melakukannya. Dan ia berpikir mungkin karena Shakila lelah menggendong Davin hampir setengah hari.
“Jika kau tak mau menggendong anakku, berhenti jadi babysitternya. Aku bisa dengan mudah mencari pengganti babysitter tak becus sepertimu,” ucap Julian. Suaranya begitu jelas dan padat hingga membuat Shakila meremang.
Setelah mengatakan itu Julian menutup pintu mobil dengan keras hingga Shakila terjingkat. Davin pun seketika menggeliat dan mulai menangis terbangun dari tidurnya.
“Hii! Marah sih marah, tapi tak perlu membuat Davin bangun, kan?!” gerutu Shakila setelah melihat Julian berjalan kembali menuju dalam mall. Mendengar tangisan Davin yang mulai melengking, ia pun berusaha menenangkannya. “Cup, cup, diam ya, Sayang. Papamu itu memang sialan.”
Masih berusaha mendiamkan Davin, Shakila keluar dari mobil meminta bantuan. Ia menghentikan seorang wanita yang kebetulan hendak masuk mobil yang terparkir di sebelahnya.
“Um, maaf, apakah anda punya waktu? Bisakah anda menolongku?” tanya Shakila.
“Ya? Ada yang bisa kubantu?”
“Aku ingin membuatkannya s**u. Bisakah anda mengajaknya sebentar?”
Tanpa ragu wanita itu mengangguk. “Ya, baiklah.” Ia pun menggendong Davin sementara Shakila membuatkan Davin s**u.
“Kak, bayi siapa?” Seorang laki-laki menghampiri wanita yang menggendong Davin.
“Ini, ibunya sedang membuatkannya s**u jadi minta tolong kakak menggendongnya sebentar,” jawab wanita berusia sekitar 35 tahunan tersebut.
Pria berwajah chinese itu melihat ke arah Shakila sampai akhirnya Shakila menyelesaikan susunya.
“Terima kasih, maaf sudah merepotkan,” ucap Shakila seraya meminta Davin dari gendongan wanita tadi dan segera memberikan susunya.
Wanita yang memiliki lesung pipi itu tersenyum dan menjawab, “Iya, tidak apa-apa. Apa anda sendirian?”
“Ada apa ini?”
Sebuah suara membuat Shakila dan wanita itu serta adiknya menoleh.
“Julian?”