10. Provokasi

1101 Kata
“Selamat pagi,” sapa Rendy yang berdiri di hadapan Shakila saat ia membuka pintu. “Um, ya? Ada yang bisa kubantu?” tanya Shakila. Diperhatikannya Rendy seperti mencoba mengingat-ingat. Rendy tersenyum hingga matanya menyipit. “Apa kau tak mengingatku? Aku yang waktu itu di parkiran mall dengan wanita yang menggendong anakmu.” Mendengar itu membuat otak kecil Shakila bercahaya. “Ah, ya. Aku ingat. Ada apa? Apa anda mencari–" “Tidak, sebenarnya aku ingin bicara denganmu,” sela Rendy. “Apa? Aku?” tanya Shakila dengan menunjuk wajahnya dan menunjukkan wajah bodoh. Rendy mengangguk. “Jadi, bisakah kita bicara di dalam?” Shakila tampak berpikir. Namun, mengira Rendy teman Julian, ia mempersilakan pria itu masuk. “Tunggu sebentar, akan aku ambilkan minuman," ucap Shakila setelah Rendy duduk. “Ya. Tidak masalah,” kata Rendy kemudian mengendarakan pandangan ke penjuru rumah sampai pandangannya jatuh pada ember pel di dekat sofa di depannya. Tak berselang lama Shakila kembali dengan secangkir teh dan meletakkannya di atas meja depan Rendy. “Silakan.” “Ah, ya, terima kasih. Ngomong-ngomong, apa kau tidak punya asisten rumah tangga? Apa Julian membiarkanmu mengerjakan pekerjaan rumah sendirian? Tsk, dasar pria itu.” Shakila bingung harus menjawab dari mana saat pertanyaan Rendy dijawab olehnya sendiri. “Sejak kapan kalian menikah? Dan sejak kapan kalian menjalin hubungan? Maafkan aku, aku hanya penasaran karena Julian yang aku kenal dulu suka bergonta-ganti wanita. Atau, apa kalian menikah karena kau hamil duluan?” Demi apapun, rasanya Shakila benar-benar kesal terlebih mendengar kalimat terakhir yang Rendy ucapkan. Ia pun hendak menjawab, menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Namun, lagi-lagi mulut Rendy seperti rel kereta, kembali menyambung pembicaraan sebelum dirinya bicara. “Sebelumnya maafkan aku. Perkenalkan, namaku Rendy dan aku teman suamimu saat kuliah. Kami kuliah di tempat yang sama, jurusan yang sama bahkan menyukai wanita yang sama. Sayangnya, dia licik karena merebutnya dariku.” “Um, jadi apa tujuan anda ke sini?” potong Shakila sebelum Rendy kembali menyerocos. “Hah … apa ucapanku masih kurang jelas? Tentu saja memberitahumu sifat suamimu yang sebenarnya. Aku hanya ingin mengingatkan, bisa saja saat ini suamimu berselingkuh dengan wanita lain. Sejak dulu dia sudah disebut playboy kampus. Entah sudah berapa banyak wanita yang ia tiduri.” “Maaf, mohon maaf sebelumnya. Kurasa anda harus segera pergi. Aku masih punya banyak pekerjaan dan jika meladeni anda, bisa-bisa pekerjaanku tak akan selesai sebelum Davin bangun.” Dahi Rendy berkerut. Ia tak mengira mendapat balasan seperti ini. Ia kira Shakila akan penasaran dengan masa lalu Julian. Tujuannya ke sana ingin memprovokasi Shakila agar rumah tangga Julian kandas. Tapi, sepertinya tak semudah yang ia kira. “Dan jika tujuan anda ke sini agar hubungan kami berakhir, anda harus berusaha lebih keras lagi. Aku mungkin tidak tahu bagaimana masa lalunya, yang aku tahu bagaimana dia yang sekarang. Aku bahkan tak peduli jika di masa lalu ia meniduri banyak wanita atau menikahi banyak wanita sekaligus. Yang terpenting bagiku adalah anakku dan aku akan melakukan apapun demi kebahagiaannya. Jadi, jangan berpikir kami akan bertengkar setelah anda memberitahuku masa lalunya yang gelap. Kurasa sudah cukup dan anda melihat di mana pintunya bukan?" Shakila bangkit berdiri dan menunjuk pintu utama yang terbuka. Senyumnya mengembang, terukir sejak dirinya mengatakan kalimat panjang. Mengetahui maksud terselubung Rendy membuatnya mengikuti alur permainannya. Dan ia harap setelah ini Rendy tak lagi mengganggu. Ia sudah kehilangan waktu 10 menit di mana 10 menit itu ia bisa mendapat seperempat bagian rumah yang harus ia pel. Rendy masih terpaku menatap Shakila. Mulutnya bahkan nyaris menganga. Baru pertama kali ia melihat wanita seperti Shakila, wanita yang lebih mementingkan anak daripada ego dan perasaannya. Biasanya wanita akan terbakar kemarahan saat tahu masa lalu buruk pasangannya serta kemungkinan pasangannya selingkuh, bukan? Tiba-tiba wajah Rendy terasa panas dengan degup jantung tak terkendali. “Tu– tunggu … ada apa denganku? Aku tak bisa mengalihkan pandangan darinya, kata-kata tegasnya terus berputar dalam kepala. Dia sudah seperti seorang ibu hebat yang rela melakukan apapun demi anaknya, mengingatkanku pada almarhum ibu. Ada apa ini? Apa yang terjadi padaku?” batin Rendy dengan nafas menderu. “Jika anda tidak segera pergi, aku akan memanggil polisi,” ancam Shakila. Rendy bangkit berdiri kemudian melangkah pergi tanpa bisa berhenti memikirkan Shakila. Ia harap pikiran anehnya segera sirna, berpikir mungkin ia jatuh cinta pada Shakila, istri Julian. Shakila buru-buru menutup pintu setelah Rendy keluar dari rumah. “Dasar orang aneh!” gerutunya kemudian hendak melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Sayangnya, belum sempat memegang pel, suara tangisan Davin membuatnya menepuk jidat. Di tempat lain tepatnya di kantor Julian, dirinya memijit pangkal hidungnya dan meletakkan beberapa berkas ke atas meja. Entah kenapa ia tidak bisa fokus mengerjakan pekerjaannya. Yang ada di kepala hanya Davin dan Davin. “Bagaimana, Tuan?” Asisten Julian bertanya kala melihat sang bos seperti gelisah. Julian menoleh menatap asisten bernama Tobi dan bertanya, “Kau baru punya anak, apa kau terus memikirkan anakmu?” Tobi terkekeh kecil dan menjawab, “Ya, anda benar. Sejak anak saya lahir, saya tidak bisa berhenti memikirkannya dan ingin terus berada di rumah menjaganya. Kenapa anda tiba-tiba bertanya demikian?” “Tidak ada,” jawab Julian kemudian kembali pada pekerjaannya. Tiba-tiba ponsel Julian berdering. Ia pun segera mengangkat panggilan. “Halo.” “Hai. Bagaimana keadaan Davin?” tanya seseorang di seberang sana. “Dia baik-baik saja. Jangan khawatir,” jawab Julian seraya melirik malas ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana aku tidak khawatir? Kau meninggalkannya hanya berdua dengan babysitter baru itu.” “Aku sedang bekerja. Nanti aku akan pulang dan kau bisa vc sepuasmu.” Julian mematikan sambungan telepon sebelum orang itu kembali bicara. Dirinya sedang tidak fokus dan akan semakin tak fokus jika meladeninya. “Tuan, nanti sore ada pertemuan informal dengan mister Jack. Saya harap anda tidak melupakannya,” ujar Tobi. Julian melirik Tobi sekilas dan meletakkan ponselnya ke atas meja dengan bergumam tak jelas sebagai jawaban. Sore harinya Shakila tampak gusar karena Julian tak kunjung pulang sementara s**u Davin benar-benar habis. Ia khawatir Davin lapar sementara Julian belum tiba di rumah. “Ish, ke mana papamu? Apa dia lupa bahwa susumu habis?” gerutu Shakila yang mondar-mandir di depan pintu rumah seraya mendorong Davin dalam kereta bayi. Waktu sudah hampir petang dan tak ada tanda-tanda Julian pulang. “Tahu begini harusnya papamu yang kejam itu membeli s**u sekalian pabriknya,” rutuk Shakila. Merasa tak sabar, ia mendorong kereta bayi Davin ke halaman depan. Dirinya sudah cemas jika Davin yang saat ini diam dan memainkan jarinya, tiba-tiba menangis. Baru saja kereta bayi Davin berhenti di depan gerbang, sebuah suara menginterupsi pendnegaran Shakila. “Tidak baik membiarkan bayi di luar rumah saat hampir petang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN