6. Kedatangan Tamu

1174 Kata
Duing! Julian mengetuk kepala Shakila membuat Shakila tersadar. Ternyata, Julian yang meminta tubuhnya sebagai bayaran hanyalah imajinasi Shakila semata. Karena apa yang Julian lakukan mengingatkannya pada cerita n****+ yang pernah ia baca. “Jika setelah ini kau kembali membuat masalah, ucapkan selamat tinggal pada pekerjaanmu,” ucap Julian kemudian berbalik dan melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, sebelum melewati pintu, suara Shakila membuatnya kembali menoleh. “Tuan tidak akan meminta tubuhku sebagai ganti, kan?” Sebelah alis Julian meninggi dan menatap Shakila dengan tatapan jijik. “Kau kira aku tertarik dengan tubuhmu?” Melihat bagaimana Julian menatapnya dan mendengar caranya bicara membuat Shakila segera menutup mulut. Ia keceplosan. Julian mengambil langkah dan berdiri tepat di depan Shakila. Setengah menunduk hingga hidungnya yang mancung nyaris menyentuh hidung Shakila dan mengatakan, “Bahkan jika hanya ada kau satu-satunya wanita di muka bumi, aku tidak akan sudi menyentuhmu.” Setelah mengatakan itu Julian mengambil jarak dan melirik sinis Shakila sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Shakila masih menutup mulut dan saat Julian telah menghilang dari pandangan, nafasnya tersengal kala menurunkan tangan. “Oh, ya, Tuhan, apa yang aku lakukan?” rutuknya pada diri sendiri. Ia masih mengatur nafas kemudian bergegas masuk ke dalam rumah saat hawa dingin membuatnya mulai menggigil. Jbles! Shakila menutup pintu setelah sampai di kamarnya. Kamarnya berada di sebelah kamar Julian agar jika Davin menangis, dirinya bisa segera datang. “Sssh, yang tadi itu memalukan sekali,” desah Shakila teringat apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Namun, bukannya sedih atau berkecil hati karena ucapan Julian, dirinya justru senang. Dengan begitu ia bisa tenang tinggal di sana tanpa cemas Julian akan berbuat macam-macam padanya. Gemeretak gigi Shakila terdengar kala dingin semakin menyerang. Ia pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan segera beristirahat. Sayangnya, keinginannya itu harus pupus karena saat hendak memejamkan mata setelah selesai mengganti bajunya dengan piyama, tangisan Davin terdengar. Shakila membuka lebar matanya dan bergegas turun dari ranjang lalu menuju kamar Davin. “Apa kau tuli?!” Baru saja membuka pintu, Shakila telah disambut bentakan. Tak ingin memperpanjang masalah, Shakila segera mengambil Davin dari gendongan Julian dan mencoba menenangkannya. “Cup cup, Davin pintar jangan menangis,” ucap Shakila dan mengusap serta menepuk kecil punggung Davin. Namun, usahanya tak berhasil, Davin masih menangis. Ia pun bergegas menuju dapur dan membuatkannya s**u. Julian nyaris menganga saat Shakila berjalan melewatinya begitu saja bahkan seakan tak melihatnya. Merasa aneh, ia segera mengikuti Shakila ke dapur. Sesampainya di sana dirinya semakin dibuat terkejut karena Shakila tak meminta bantuannya menggendong Davin sementara ia membuat s**u. Hati Julian tergerak melihat Shakila kepayahan. Tapi, bukan itu yang menjadi alasannya segera merebut Davin dari gendongan Shakila. Ia hanya tak ingin terjadi sesuatu pada Davin jika terkena air panas atau bahkan jatuh dari gendongan. Shakila tak mengatakan apapun saat Julian merebut Davin darinya. Ia segera menyelesaikan tugasnya membuat s**u. Setelah selesai ia mengambil Davin kembali dan menggendongnya seraya memberinya sebotol s**u. Tanpa mengatakan apapun Shakila membawa Davin kembali ke kamarnya. Dan apa yang dilakukannya membuat Julian merasa diabaikan. “Apa-apaan dia?” batin Julian. Ia pun mengira mungkin Shakila marah dengan ucapannya sebelumnya. “Kau boleh angkat kaki dari rumah ini besok,” ucap Julian saat memasuki kamar menyusul Shakila. “Ssst!” Telunjuk Shakila berdiri di depan mulut memberi isyarat agar Julian diam. Davin hampir kembali terlelap meski mulutnya masih mengisap. Tak ingin mengganggu tidur Davin, Julian hanya diam menunggu Davin tertidur pulas. Beberapa saat setelahnya Shakila membaringkan Davin ke tempat tidur setelah tertidur pulas. “Huft, tidur yang nyenyak, Sayang," ucap Shakila dengan membelai lembut pipi chubby Davin setelah membaringkannya. “Tadi Tuan bilang apa?” tanyanya pada Julian yang berdiri di tengah ruangan dan tak melepas perhatian darinya. “Tidak ada. Cepat pergi," jawab Julian. Melihat Shakila bisa menidurkan Davin membuatnya mengurungkan niat mengusir Shakila. Sebelumnya ia hanya kesal mengira Shakila berani merajuk karena ucapannya. Di sana dirinya lah yang berkuasa. Shakila hanya babysitter yang harus tunduk dan patuh serta tak berhak marah pada setiap perintah atau ucapannya. ”Um, Tuan, bagaimana kalau Davin tidur di kamarku saja? Jadi jika ia bangun, aku bisa segera mengatasinya,” usul Shakila. Ia takut tidur seperti orang mati hingga tak mendengar tangisan Davin dan membuat Julian marah lagi. “Kau ingin memisahkan aku dari anakku?!” kata Julian dan menatap Shakila dengan tatapan dingin menusuk. Tengkuk Shakila terasa tebal melihat tatapan tajam Julian. Rasanya ia menyesal telah memberi usulan. Mengusap tengkuk dan mengalihkan pandangan dari Julian, ia mengatakan, “Ma– maaf. Kalau begitu aku permisi.” Dengan langkah cepat Shakila pergi dari sana menuju kamarnya. Sementara Julian masih berdiri di tempat tak mengalihkan tatapan memincingnya sampai Shakila tak terlihat. Kini perhatian Julian tertuju pada Davin. Melangkah menghampiri Davin, ia merebahkan tubuhnya dengan hati-hati di sampingnya. Diperhatikannya wajah lelap Davin yang tetap menggemaskan. “Apa kau menyukai babysitter barumu? Meski dia payah dan tidak berpengalaman, tapi dia bisa membuatmu tenang," ucap Julian seakan Davin mendengar dan mengerti ucapannya. Seulas senyum tipis terukir di bibir kala Julian membelai lembut pipi Davin. “Ah, bukan karena babysitter itu tapi karena kau memang anak yang pintar.” Tiba-tiba senyum tipis Julian menghilang teringat ibu Davin, wanita yang telah melahirkannya dan saat ini berada di ambang hidup dan mati. Tangan yang sebelumnya membelai lembut wajah Davin kini terkepal kuat di depan d**a seakan menggenggam hatinya yang terasa sesak. Davin masih sangat membutuhkan sosok seorang ibu. *** Keesokan harinya Shakila bangun pukul setengah 5 pagi. Ia hanya tidur selama beberapa jam dan sengaja menyetel alarm. “Hoam.” Shakila menguap kala ia berjalan ke dapur. Baru kali ini ia bangun di waktu yang sangat pagi. Tapi, demi tanggung jawab pekerjaannya, ia akan berusaha. Langkah Shakila terhenti di ambang pintu melihat Julian telah berdiri di depan kompor dengan aroma lezat yang menyentuh hidung. “Aku tak mau kau kembali membakar dapurku,” kata Julian tanpa mengalihkan perhatian dari masakannya. Shakila menggaruk pipi dengan wajah memerah karena malu. Ia pun berniat membantu Julian. “Berhenti di sana. Bersihkan rumah ini sebelum Davin bangun,” perintah Julian. Rasanya masih trauma jika membiarkan Shakila menyentuh dapur. “Ba– baik!” Shakila berbalik dan segera melaksanakan perintah. Ia memulai pekerjaannya dengan menyapu lantai dari kamar ke kamar hingga ruang tamu lalu melanjutkannya dengan mengepel. “Fiuh … ternyata melelahkan sekali. Di saat seperti ini, rasanya aku ingin pulang," gumam Shakila dengan menyeka keringat. Sebagian hatinya memintanya pulang dan meminta maaf pada kedua orang tuanya. Namun, sebagian hatinya menyuruhnya tetap di sana agar bisa membungkam mulut Arga dengan segepok uang dari hasil jerih payahnya. Membungkam mulut Arga yang mengatakan dirinya bukan apa-apa tanpa orang tuanya. Tok tok! Perhatian Shakila teralihkan pada pintu yang diketuk dari luar. “Siapa?” gumamnya dan melihat jam yang menunjukkan pukul setengah 6. Tak terasa hanya menyapu dan mengepel sudah menghabiskan banyak waktu. Meninggalkan sejenak pekerjaannya, ia segera membukakan pintu. Keterkejutan begitu tampak dari wajah wanita cantik yang saat ini berdiri di hadapan Shakila. Saat Shakila membuka pintu, seorang wanita bak model berdiri dan menatapnya dengan sebelah alis meninggi. “Kau, siapa kau?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN