1. Ingin Kawin Lari

1051 Kata
“Harus berapa kali ayah katakan, jauhi laki-laki itu!” Untuk ke sekian kalinya suara lantang kepala rumah tangga di rumah itu terdengar. Wajahnya merah dengan urat-urat di pelipis samar terlihat menunjukkan betapa kemarahannya telah sampai ujung kepala. “Dan sudah Shaki katakan, Shaki mencintainya dan tak akan pernah meninggalkannya!” Nafas wanita itu terengah dengan mata berkaca-kaca menatap sang ayah. Tangannya terkepal kuat menunjukan dirinya tak akan menyerah dengan cintanya. Shakila Marcella namanya, wanita berusia 23 tahun yang memegang teguh rasa cinta terhadap kekasihnya meski kedua orang tuanya menentang. Berapa kalipun ayahnya mengatakan bahwa dirinya mencintai orang yang salah, dirinya tak peduli. Rasa cinta telah membutakannya, hingga tak dianggap anak oleh kedua orang tuanya pun bukan lagi masalah besar. “Shaki!” Tangan Abimana yang terangkat terhenti di udara kala melihat anak satu-satunya itu tak gentar bahkan bersiap menerima tamparan darinya. Sebagai orang tua dirinya tak pernah benar-benar ingin menyakiti anaknya. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Shakila, ingin Shakila bahagia dengan laki-laki yang tepat. Dan menurutnya kekasih Shakila sekarang bukanlah pria yang tepat. “Kenapa berhenti?! Tampar! Tampar saja Shaki!” tantang Shakila dengan menepuk pipinya sendiri. “Ayah selalu mengatakan dia bukan laki-laki yang baik tapi ayah tidak bisa menyebutkan di mana letak kesalahannya! Di pikiran ayah hanya harta, harta dan harta!” teriaknya. “Shaki! Jaga ucapanmu!” Wanita paruh baya yang sedari tadi hanya diam duduk di sofa dengan menahan emosi, tak dapat lagi menahan diri. Dirinya tak pernah mengira anak satu-satunya yang paling ia sayangi, ia manjakan, pada akhirnya berani menentang kedua orang tuanya bahkan berteriak dan berkata kasar. “Jaga ucapanmu! Kami ini orang tuamu! Apa yang kami lakukan hanya demi kebaikanmu!” tegasnya disertai linangan air mata. Sebagai seorang ibu, siapa yang tak terluka melihat anaknya berani melawan saat dinasehati? Terlebih hanya karena seorang laki-laki. Nafas Shaki terengah tak terkendali menahan tangis yang sedari tadi terus ia bendung meski tetes demi tetes liquid bening tetap saja lolos dari ujung mata. Ia menatap ibunya dengan raut penuh kecewa begitu juga saat menatap sang ayah. Tak ingin semakin merasakan sakit karena keputusan orang tuanya yang tetap tak merestuinya dengan kekasihnya, Shakila melangkah pergi tanpa mengucap sepatah kata. Prang! Suara benda pecah terdengar saat Shaki dengan sengaja menjatuhkan vas bunga besar di dekat pintu. Dan apa yang dilakukannya itu berhasil membuat kedua orang tuanya menangis dalam hati, membuat kedua orang tuanya seakan tak sanggup lagi melihat anak mereka sendiri. Shakila menaiki setiap anak tangga menuju kamarnya di lantai dua dengan sesekali mengusap air mata kasar. Ini adalah kesempatan terakhir yang ia miliki. Jika kedua orang tuanya tetap tak merestuinya dengan Arga, laki-laki yang ia cintai, ia akan kabur dan kawin lari. Ia tak peduli kedua orang tuanya akan marah, mencarinya, atau bahkan tak peduli. Yang ia pedulikan hanya rasa cintanya pada Arga. Waku telah larut saat Shakila memasukkan pakaiannya ke dalam koper besarnya. Dirinya membulatkan tekad kabur malam itu juga dan menyusul Arga ke kota asalnya. Dengan meninggalkan sepucuk surat di atas meja, dirinya berjalan mengendap di tengah gelapnya malam menuju taksi online yang telah menunggunya di luar gerbang rumahnya. Keesokan harinya suara isak tangis Amanda, ibu Shakila, memenuhi kamar sang putri. Dirinya yang hendak membangunkan Shakila justru mendapati sepucuk surat yang mengatakan Shakila memilih pergi dan melarangnya mencari. “Anak itu benar-benar,” geram Abimana dengan tangan meremas surat yang Shakila tinggalkan. “Bagaimana ini, Yah? Kita harus segera mencari Shaki sebelum dia jauh. Ayo, Yah. Ayo kita susul Shaki,” rengek Amanda memohon pada sang suami untuk menemukan anak semata wayangnya. Mau seperti apapun dirinya marah dan kecewa, dirinya tak bisa benar-benar tak peduli. “Apa kau tak membacanya?! Dia tak ingin kita mencarinya! Biarkan saja dia hidup dengan laki-laki b******k itu! Kita lihat saja apa dia sanggup?! Biarkan dia menderita karena tak mendengar nasehat kita!” tegas Abimana kemudian melangkah pergi keluar dari kamar meninggalkan sang istri yang kian menangis tersedu dan terus memanggil nama Shakila. Di tempat lain, Shakila telah sampai di kota tempat kekasihnya tinggal. Namun, ia sengaja tak memberitahu kekasihnya itu karena ingin memberi kejutan. Dengan menyeret koper pink warna kesukaannya, Shakila celingak-celinguk mencari alamat yang telah ia catat dalam ponselnya. “Hm, di mana?” gumamnya yang mulai kebingungan karena memasuki gang sempit. Sampai tiba-tiba muncul seorang wanita dengan anaknya yang masih bayi berjalan dari arah berlawanan. “Um, maaf, boleh tanya?” Shakila menghentikan wanita itu berniat menanyakan alamat Arga. “Iya?” sahut wanita tersebut dengan lembut. Wanita yang terlihat kalem itu memperhatikan Shakila dengan seksama terutama pada koper besar yang dibawanya. “Anda tahu alamat ini?” Shakila menunjukkan layar ponselnya yang tercatat alamat rumah Arga. Wanita tersebut tercenung sesaat dan bertanya, “Kalau boleh tahu, ada urusan apa ingin ke alamat ini?” “Ah, itu ….” Shakila tampak berpikir. Jika dirinya memberitahu untuk menemui kekasihnya, nanti kejutannya akan gagal. Siapa tahu wanita yang berdiri di hadapannya ini adalah tetangga atau kerabat Arga, batinnya. “Tidak ada apa-apa. Aku … hanya ingin mengunjunginya. Kami teman kerja,” dustanya sebagai alasan. Wanita itu tersenyum lembut dan mengangguk. “Kalau begitu ayo, ikuti aku,” titahnya meminta Shakila mengikutinya. Wajah Shakila tampak cerah. Dengan semangat ia mengikuti wanita itu di belakangnya. “Um, maaf sudah merepotkan,” ucap Shakila basa-basi dan menyamakan langkahnya dengan langkah wanita itu. Wanita itu hanya tersenyum dan menjawab, “Iya, tidak apa-apa.” Setelahnya tak ada lagi obrolan antara keduanya. Entah kenapa Shakila merasa canggung meski sebenarnya ingin membuka pembicaraan. Hampir 10 menit berjalan, langkah wanita itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana di mana di halaman depan dipenuhi tanaman bunga. “Ini rumahnya,” ujar wanita itu. “Dan sebenarnya, ini juga rumahku,” lanjutnya. Wajah Shakila yang sebelumnya berbinar karena telah sampai tujuan, seketika menjadi suram. “Ha? Kalau begitu, apa mungkin kakaknya?” batin Shakila. Shakila tampak gugup dan salah tingkah. Berpikir wanita itu kakak perempuan Arga membuatnya cemas jika memberi kesan buruk di pertemuan pertama mereka. Tepat di saat itu seorang pria yang sepertinya baru bangun tidur, keluar dari dalam rumah membuat Shakila yang sebelumnya gugup kembali sumringah. Meski Arga terlihat berantakan, di matanya pria itu tetaplah tampan. Namun, saat dirinya hendak berteriak memanggil Arga yang sepertinya belum menyadari keberadaannya, suara wanita tadi membuatnya mematung seketika. “Itu dia, suamiku. Jadi, ada perlu apa dengan suamiku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN