Sissy menghentikan langkahnya tiba-tiba. Matanya terasa pedih melihat beberapa ibu hamil datang ditemani suaminya masing-masing. Sementara Sissy? Suami saja tidak punya. Tapi dia datang ke dokter kandungan dengan kondisi bernyawa dua.
"Dek? Kenapa?"
Sissy melepaskan tangannya yang semula menggandeng Sherina. Ia menggeleng beberapa kali sambil memundurkan langkah.
"Aku gak bisa, Mbak. Aku mau pulang," ucapnya pelan dengan mata berkaca-kaca.
Belum sempat Sherina bicara, lebih dulu Sissy berlalu pergi meninggalkannya. Ia menghela napas. Dapat Sherina pahami bagaimana perasaan adiknya. Tentu tidak mudah menerima kehamilan diluar pernikahan.
"Sy!"
Sherina hendak mengejar langkah lebar Sissy, namun tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari salah satu karyawannya di toko roti. Karena berpikir Sissy akan menunggunya di mobil, akhirnya Sherina memilih untuk menerima panggilan dari karyawannya tersebut.
Sementara di luar rumah sakit, Elkan sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.
"Okay. Gue berangkat sekarang."
Elkan memutus sambungan telepon setelah selesai bicara. Lantas melanjutkan langkah menuju mobil sport hitam miliknya yang terparkir di rumah sakit. Namun, tiba-tiba saja tubuhnya ditabrak dengan kencang hingga kantong plastik obatnya jatuh.
"Lo bisa jalan gak sih, ha?"
Wajah marah Elkan seketika hilang begitu tahu kalau Sissy yang tadi menabraknya. Perempuan itu menunduk, menyembunyikan tangis yang tak dapat ia tahan.
"Well, semesta emang mau kita selalu ketemu," ucap Elkan disertai seringai licik.
Sissy mengangkat kepalanya. Menatap Elkan dengan wajah marah. Napasnya terlihat memburu, membuat dadanya naik-turun dengan cepat.
"Ini semua gara-gara elo sialan! Hidup gue jadi tambah kacau karena elo!" racau Sissy sambil melayangkan pukulan bertubi-tubi kepada Elkan.
Elkan yang tidak mengerti apa-apa pun, mencoba menahan kedua tangan Sissy agar berhenti memukulinya. Aksi perempuan itu menarik perhatian beberapa orang yang keluar-masuk rumah sakit.
"Lo kenapa sih, ha? Ngamuk-ngamuk gak jelas kayak orang stres. Malu tuh diliatin banyak orang."
"Siapa yang malu? Gue gak malu! Gue stres karena elo, Kak! Elo b******n terbangsat yang pengen gue blacklist di dunia ini!"
Elkan menghela napas. Membiarkan Sissy terus memukulinya. Ia tidak tahu apa yang membuat perempuan ini tiba-tiba marah kepadanya. Bukankah saat bertemu tadi dia biasa saja? Bahkan Sissy berlagak seperti tidak melihat keberadaan Elkan.
"Okay, cukup."
Kesabaran Elkan sudah habis. Karena Sissy tidak kunjung berhenti memukulinya, akhirnya Elkan membopong Sissy dan memasukkannya ke dalam mobil.
"Gak! Jangan bawa gue pergi! Gue gak mau berduaan sama lo lagi, Kak!"
Elkan tidak peduli. Dengan tenaganya yang jauh lebih besar dari Sissy, ia berhasil mendudukkan perempuan itu di bangku mobil.
"Diem. Gue bisa berlaku kasar kalo lo gak mau nurut," ancam Elkan terdengar tak ingin dibantah.
Sissy masih terisak, tapi tak lagi berontak. Wajah serius Elkan cukup membuatnya tunduk.
Kemudian Elkan memasangkan Sissy sabuk pengaman. Setelah itu ia berjalan mengitari mobil untuk duduk di bangku kemudi. Tepat setelah Elkan melajukan mobilnya, Sherina keluar dari rumah sakit sambil menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Sissy.
"Kamu kemana sih, Dek?"
Sherina menghela napas panjang. Dia baru saja menerima laporan kalau toko rotinya kerampokan semalam.
Kemudian Sherina mencoba menghubungi Sissy. Berharap perempuan itu mau mengangkat teleponnya.
***
Suara dering telepon yang masuk memecahkan keheningan di dalam mobil sport milik Elkan. Laki-laki itu menoleh ke sebelahnya, di mana ada Sissy yang melamun sambil menatap keluar jendela.
Elkan berdecak. Satu tangannya terulur mengambil handphone di dalam tas Sissy.
Mbak Sherina Is Calling....
Tanpa izin Elkan mengangkat panggilan telepon tersebut. Meski Sissy tahu Elkan mengangkat teleponnya, tapi dia tidak peduli dan masih mempertahankan lamunannya.
"Halo, Mbak."
"Lho, ini siapa? Adik saya mana?"
Elkan menoleh menatap Sissy sekilas. Dalam hati ia menjawab, "nih, adek lo lagi meratapi pahitnya hidup."
"Saya Elkan, Mbak. Sissy ada sama saya. Katanya mau ketemu sama Milka, mumpung belum balik ke Jakarta." Elkan berbohong. Milka sudah kembali ke Jakarta setelah makan malam bersama keluarga Sissy.
"Oh.... Ya udah kalo gitu, Mbak titip Sissy dulu ya, El."
"Iya, Mbak. Tenang aja. Sissy aman sama saya," jawab Elkan yang berhasil mendapatkan delikan mata dari Sissy.
Sambungan telepon terputus, tapi Elkan tidak langsung memberikan benda pipih canggih itu kepada Sissy. Ibu jari tangannya bergerak di atas keyboard.
Sissy menautkan alis curiga menatap Elkan. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang apa yang sedang Elkan lakukan. Lalu suara dering panggilan yang masuk ke handphone laki-laki itu menjawab pertanyaan Sissy. Setelah itu Elkan melempar ponsel tersebut kepada pemiliknya.
Sissy berdecak kesal. Ia begitu ceroboh. Sekarang Elkan sudah mendapatkan nomor handphone-nya.
"Berhenti, Kak. Gue mau turun."
Elkan menarik sebelah sudut bibirnya. Menatap lurus ke depan, memperhatikan jalanan. "Setelah apa yang lo lakuin sama gue di parkiran tadi, terus sekarang lo minta gue buat turunin lo seenaknya. Lo pikir gue supir taksi?"
Sissy mendelik tajam. Ia melipat tangannya sambil menatap keluar jendela.
"Kemaren malem lo ngerjain gue kan? Segala pake pura-pura pingsan."
"Hidup gue gak sesandiwara itu kali. Gak kayak elo. Munafik. Banyak topengnya. Gue aja ketipu sama topeng wajah sok baik lo."
Alih-alih marah karena sudah dikata-katain seperti itu, justru Elkan tertawa. "Itu sih lo nya aja yang gampang dibegoin."
Sissy berdecak kesal. Tiba-tiba saja ia merasa mual. Refleks Sissy menutup mulutnya menggunakan satu tangan. Sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk menarik baju Elkan. Matanya melotot meminta Elkan agar segera menghentikan mobilnya.
"Kenapa lo? Mau muntah? Jangan di sini woy!"
Elkan tidak sempat su'udzon kalau Sissy mengerjainya. Ia terlalu panik, takut kalau perempuan itu muntah di dalam mobil mewahnya.
Begitu Elkan menghentikan laju mobilnya, segera Sissy keluar, lalu berjongkok memuntahkan cairan bening dari mulutnya.
Elkan berjalan menghampiri Sissy dengan wajah jijik. Entah dorongan dari mana yang membuat Elkan mengulurkan tangan, memijat tengkuk Sissy walau sambil menutup hidung.
Sissy cukup terkejut dengan perlakuan Elkan. Ternyata masih ada itikad baik dari laki-laki kepadanya.
"Udah belum?" Elkan bertanya setelah tidak terdengar lagi suara muntahan.
Sissy berdeham. Bangun dari posisi jongkoknya sambil mengusap bibirnya menggunakan punggung tangan.
Elkan berlalu mengambil botol air mineral dari mobil, lalu menyodorkannya kepada Sissy.
"Cuci mulut lo yang bersih."
Sissy mengambil botol tersebut lalu membersihkan mulutnya.
"Kampungan banget sih lo. Naik mobil sebentar aja udah mabok."
Sissy berdecak. Menatap Elkan dengan wajah kesal. "Gue muntah karena perbuatan elo ya, Kak! Kalo aja lo tahu gue lagi hamil."
Satu-satunya alasan Sissy tidak mau memberitahu Elkan kalau dirinya sedang hamil, sebab Sissy takut dinikahi oleh laki-laki itu. Sissy tidak mau terjebak dalam pernikahan bersama orang yang sudah merusaknya. Walau Sissy juga belum tahu, apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah menerima kehamilan ini.
Elkan meraih satu tangan Sissy lalu meletakkannya di atas kelaminnya. Sissy tersentak kaget, buru-buru ia menarik tangannya dari sana.
"Sinting lo, Kak!"
Elkan menundukkan kepalanya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Sissy.
"Gue mau lo sekarang."
Sissy menggeleng kuat sambil memundurkan langkahnya. "Gak ada season tambahan lagi! Cukup dua kali dan jangan sentuh gue lagi, Kak."
Elkan meringis. "Lo pikir gue bakal patuh sama omongan lo?"
Tubuh Sissy menegang. "Terus maksudnya?"
Elkan berjalan maju dan Sissy yang terus mundur berusaha membentang jarak dengan laki-laki itu.
"Gue selalu mau rasain tubuh lo."
"Enggak."
"Jangan anggep gue bodoh, Sissy. Lo boleh hapus semua foto sama video kita di handphone sama laptop gue. Tapi pernah gak sih lo berpikir kalo gue masih punya duplikatnya?"
Sissy mengerjap beberapa kali. Ketakutannya ternyata benar. Elkan masih mempunyai foto dan video sialan itu. Tadinya Sissy berpikir dengan menjauh pergi ke Jogyakarta, maka dia tidak harus takut dengan ancaman Elkan. Harusnya Sissy tidak pernah menganggap remeh Elkan, tentu dia bukan anak kemarin sore yang mudah untuk dihindari.
"Satu bulan."
Sissy menautkan alis tidak mengerti.
"Gue minta waktu satu bulan buat milikin lo."
Sissy berdecih, tersenyum miris. "Ini lo gak lagi minta gue buat jadi b***k s*x lo kan, Kak?"
Elkan menarik sebelah alisnya. "Menurut lo? Dengan apa yang gue punya, apa mungkin gue sia-siain kesempatan itu?"
Sissy menggeleng tak percaya. Jangankan satu bulan, dua kali digauli Elkan saja sudah membuahkan hasil. Tapi bagaimana dengan aibnya yang berada di tangan laki-laki itu?
"Gue bersedia buat bikin janji tertulis di atas materai. Gue gak bakal ganggu lo lagi setelah satu bulan gue milikin lo. Gimana?"