18 - Mungkin Iya.

1554 Kata
Dan pada akhirnya Zam tetap kalah dengan pilihannya sendiri, karena saat ini ia sedang berdiri didepan restoran Ayya membawa sekotak coklat yang sengaja ia beli sebelum kemari. Sebelum masuk kedalam Zam menatap ke parkiran, apakah disana ada mobil Ayya atau tidak. Ada. Dengan berani Zam membawa masuk langkahnya, mendorong pintu restoran hingga membuat lonceng diatasnya berbunyi. Zam menampilkan senyumnya saat menatap Ayya yang kini membelakanginya. "Berbalik dulu, Ay. Zam memang ada di belakang kamu." "Males Kinta, tadi kamu bohongin aku. Jadinya aku engga bakal percaya lagi, lagian kak Zam itu egois pake banget. Maunya dimengerti tapi dia sendiri engga mau ngerti aku." "Kali ini aku jujur, Ay. Coba tanya Anggita." "Beneran?" "Benar kak, tuh di belakang kak Ayya lagi pegang coklat sekotak kecil." Zam menampilkan senyum manisnya saat Ayya membalikkan badannya, bukannya disambut baik perempuan itu malah membalasnya dengan membuang wajahnya kearah lain. "Maaf ya, kemarin aku lagi banyak pikiran jadinya engga paham situasi." Ayya tidak menjawab, tetap membuang wajahnya. Kinta mempouse filmnya, sedikit mendongak menatap Ayya yang terlihat jual mahal. "Alah drama banget. Padahal daritadi mondar mandir didepan pintu nungguin Zam datang, sekalinya orangnya datang malah jual mahal. Zam pulang lagi Baru tau rasa kamu, Ay." Dengan wajah cemberut, Ayya membalikkan badannya kembali menatap Kinta. "Jadi sahabat bukannya dukung sahabatnya malah dibuka kartunya. Jahat banget." Perempuan yang dikenal dengan wajah judesnya itu malas menanggapi malah kembali melanjutkan acara nonton filmnya. Menurutnya, memang terkadang harus jual mahal biar lakilaki tidak seenaknya tapi tiap keadaan kan berbeda, masa iya harus jual mahal terus padahal laki-laki saja sudah menurunkan egonya untuk minta maaf? "Maaf ya, kitakan besok mau ke acara party yang anak-anak adakan. Masa iya mau saling musukan kayak gini terus?" Ayya membalikkan badannya kembali, kepalanya menjadi pening karena berbalik terus menerus. "Yang salah kan kak Zam, bawa masalah ke perbincangan kita." ketusnya. "Iya aku salah, maaf ya." Ayya luluh, benar apa yang shahabatnya katakan. Sejak sampai restoran hingga beberapa menit lalu, Ayya selalu bolak balik ke pintu depan menatap Apakah Zam kemari atau tidak. Apakah Zam benar datang membujuknya atau tidak atau bagaimana jika Zam malah memilih abai dan bodoamat? Dengan wajah masih terlihat sedikit kesal, Ayya merebut coklat yang ada digenggaman Zam. ''Yaudah, damai." ujarnya membuat Zam bernapas lega, untungnya ia tidak lupa soal satu hal penting itu yaitu coklat. "Masih disini? Engga kerja?" tanyanya, suaranya masih terdengar ketus. Biasalah perempuan harga diri tetap paling atas. "Iya ini mau kerja, berangkat dulu." "Hmm kak Zam?" "Kenapa? Kamu mau dibelikan sesuatu?" Ayya terdiam selama beberapa menit, tapi ia harus mengatakan apa yang ada didalam pikirannya atau akan terus menerus berada dalam otaknya. "Kapan coba kita serumah, bisa makan bareng juga. Pas kak Zam pamit gini kita bisa pelukan gitu." "Lebay." sahut Kinta dari arah belakang. "Apasi, kamu diam aja deh." "Nanti ya, setelah kita nikah. Saya berangkat kerja dulu." Zam maju selangkah, mengelus kepala Ayya yang terbalut jilbab berwarna maroon setelahnya membalikkan badannya menuju mobilnya kembali. Selepas kepergian Zam, Ayya menyandarkan punggungnya pada meja kasir dan menyimpan tangannya di kepalanya sendiri. Jantungnya berdetak kencang didalam sana, bahaya. Bahaya sekali, efek jatuh Cinta memang sangatlah berbahaya sekali. Dengan wajah masih memerah malu, Ayya berlari kecil masuk kedalam ruangannya membawa sekotak kecil coklat yang Zam berikan tadi. "Kak Ayya bahagia banget, jadi pengen punya pacar juga sayangnya jodohku engga tau sedang dimana. Atau dia sedang bersama perempuan lain? Kasihan sekali perempuan itu karena menjaga jodohku." Kanaira yang memang sedang duduk santai disamping Anggita tertawa pelan, ada-ada saja. "Apa aku buka aplikasi biro jodoh aja ya? Siapa tau setelah daftar langsung bisa ketemu." "Ush! Jangan kebanyakan halu, kerja kerja dan kerja." Wajah Anggita cemberut seketika mendengar perkataan ketus salah satu bosnya. "Senyum, takutnya pembeli salah mengira. Menyambut pembeli itu harus disertai senyum biar mereka dihargai bukan malah judes begitu." lanjut Kinta lagi dengan mata fokus ke layar laptop. Anggita segera melebarkan senyumnya, menyapa pembeli dengan ramah dan sopan. Coba bosnya yang satunya masih disini, mungkin suasana tidak akan seseram film yang sedang Kinta tonton itu. "Hobby banget kak, Nonton film horor tiap hari mana engga bosen lagi. Mana stok filmnya banyak banget juga," Tanya Kanaira heran, sedikit menarik kursinya ke sisi Kinta, ikut menatap komputer. "Waduh, serem banget mukanya kak." "Kak, itu kenapa engga langsung di didorong aja sih." "Astaga,pipinya kenapa gitu?" Merasa sangat terganggu dengan komentar Kanaira selama 5 menit ini, Kinta kembali menjeda filmnya menatap malas kearah Kanaira, padahal biasanya perempuan paling muda disini itu kerjanya di dapur bareng Arsel, tapi kenapa malah terdampar disini? "Ngapain kamu disini? Bukannya bantuin Arsel didalam malah duduk santai disini. Mana ikut nonton terus komentar terus menerus, sana hush sana." "Nah loh kena damprat juga. Udah tau kak Kinta engga suka digangguin pas nonton tapi malah gitu." sahut Anggita, dan kembali sibuk dengan pembeli yang mulai ramai. "Untung sudah tau sikapnya kak Kinta gimana jadinya engga bakal tersinggung. Tadi yang dateng cuman sedikit daripada bosen didalam mending kesini duduk sebentar, tapi kayaknya sudah mulai ramai deh. Aku masuk dulu kalau gitu, nanti aku titipin salam ke kak Arsel biar kak Kinta engga judes terus. Hahaha," Tidak ingin di judesin lagi, Kanaira dengan cepat masuk kedalam sebelum Kinta mengeluarkan kata-kata nyelekitnya. Kepergian bocah itu dan omongannya tidak terlalu Kinta pusingkan, sibuk kembali menonton. Didalam ruangan, Ayya sibuk menikmati coklat yang Zam berikan dengan ponsel tersambung dengan mamanya, yang saat ini berada diluar kota. "Jangan makan coklat terus, sayang. Mama diluar kota bukan berarti kamu bebas makan coklat ya, jangan terlalu bebas begitu. Lagian besok mama pulang, awas kalau mama lihat kamu makan coklat lagi. Ingat umur dong." Bukannya berhenti, Ayya kembali membuka coklat bungkusan kelima, diseberang sana Tessa hanya bisa berdecak malas melihat Ayya tidak mau mendengarnya sama sekali. "Papa kamu tadi sempat sarapan kan?" "Engga tau, engga sempat ketemu soalnya aku buru-buru. Kenapa engga sekalian mama telepon aja? Bisa lepas kangen juga. Kan buasanya kalau mama ke luar kota, papa pasti sakit gitu, saking cintanya. Hahaha." Tanpa Ayya sadari, mungkin terlalu fokus makan coklat atau bagaimana. Wajah Tessa berubah menjadi sedih beberapa detik kemudian kembali tersenyum, memasang wajah biasa saja. "Tadi mama sudah telepon kok, cuman lupa bertanya sudah makan atau belum. Adikmu gimana? Tinggal di kostan bukan berarti dia bebas ya, jangan lengah. Kadang mau sebesar apapun seorang adik, dia tetap harus dipantau." Ayya mengangguk pelan, "iya, Ma. Tadi pagi sempat ku telepon kok cuman sekitaran 5 menit soalnya dia masih ngantuk, semalam begadang kerja tugas katanya." "Apa benar kerja tugas? Gimana kalau hal lain?" "Ma, yang anak butuhkan adalah kepercayaannya pada anak itu sendiri. Jadinya si anak punya semacam batasan setiap kali ingin melakukan kesalahan. Semacam gini, berani dia melakukan kesalahan berarti dia berani mengkhianati kepercayaan orangtuanya sendiri." Tessa bergumam sebagai balasan, sejsnak Ayya terdiam karena diseberang sana sepertinya mamanya sedang berbincang dengan anak buahnya. Bagi Ayya, Tessa adalah panutannya. Perempuan paling hebat, kuat. Ayya ingin seperti mamanya yang bisa begitu bahagia dan Setia pada satu orang saja selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Mamanya adalah panutan paling sempurna yang ingin Ayya tiru setelah menikah nanti. Mamanya dengan sabar mengajarinya banyak hal, memberinya kasih sayang yang begitu besar. Memberinya contoh bagaimana membangun keharmonisan dalam rumah tangga. Pokoknya Ayya ingin sekali menjadi seperti mamanya yang super duper cantik ini. "Kamu masih makan coklat, Ayya?" "Masih dong, kak Zam kasi Aku coklat banyak banget. Aku aja bingung gimana ngabisinnya." "Jangan kasi papa kamu coklat, papa harus libur makan coklat dalam beberapa waktu." "Yaudah, mama pengen ke luar dulu, sayang Ayya. Love you." "Sayang mama juga, love you more." Sambungan telepon mati, setiap mamanya berada diluar kota pasti akan melakukan video call seperti tadi, sekedar ingin agar kedekatannya dengan mamanya tetap melekat, walaupun jauh sekalipun. Membuang bungkusan coklat yang begitu banyak, Ayya kembali duduk di balik meja kerjanya. Moodnya kembali senang setelah menikmati coklat yang begitu banyak. *** Kenan mengibaskan tangannya membuat perempuan yang duduk di sofa segera berlalu, 20 menit setelahnya Panji datang membuat Kena bernapas lega, hampir saja. "Pa, pengen nanjak tapi uang habis. Minta dong?" "Kalau mamamu ada, dia pasti engga bakal ngasih." "Capek kerja tugas terus. Sekali engga nanjak rasanya ada yang kurang gitu," "Nyesal papa ngasi kamu nama itu, malah beneran jadi petualangan." "Hahaha, papa ada-ada saja. Mana duitnya? Seratus ribu aja cukup kok," Kenan menggelengkan kepalanya menatap putranya, tapi tetap meraih dompetnya dan mengeluarkan lima lembar uang seratusan. Menyodorkan pada putranya. "Hemat ya, orangtua kamu banyak uang bukan berarti hambur-hambur uang terus." sarannya. "Iya pa, papa pake parfum baru ya baunya enak juga, mama pasti suka." Badan Kenan memegang sesaat kemudian kembali menormalkan wajahnya, untung saja Panji sedang fokus memasukkan uangnya kedalam dompet jadi tidak melihat wajahnya sama sekali. "Engga, mungkin itu parfum milik sekertaris papa atau pegawai yang barusan keluar tadi. Kamu ketemu kan didepan?" "Iya pa, aneh sih masa laki-laki seperti pake parfum perempuan tapi bodoamat lah bukan urusanku. Pergi dulu ya Pa, mungkin pulangnya lusa. Kalian liburannya bertiga aja, oke?" "Kamu ini, mau membuat kakak dan mama mu ngamuk? Pokoknya kamu harus pulang lusa. Papa akan undur sampai lusa, Awas kalau engga pulang papa engga akan kasi uang jajan lagi." "Aku usahain ya pa, Pergi dulu, teman-teman sudah menunggu dibawah." Setelah pintu tertutup rapat, Kenan mengacak rambutnya frustasi. Hampir saja ketahuan. Iya harus bisa menyembunyikan ini dengan baik, takutnya kedua anaknya malah akan membencinya karena terus menerus mempermainkan perempuan setiap harinya. Tapi Kenan tidak akan berhenti, inilah caranya menghabiskan waktunya yang dipenuhi penyesalan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN