"Sudah pulang juga, ngapain pulang hah? Ngapain?"
Kinta sedikit menurunkan kacamatanya, menatap aneh kearah Ayya yang berdiri diambang pintu ruangan. Engga mungkin kan otak Ayya kegeser?
"Muka kamu kok makin gemes sih? Ngapain coba mau ngalahin muka judesnya Kinta? Ehh, orangnya kan ada didalam berarti dia denger dong."
Mata Ayya dan Kinta bertemu, Ayya meringis pelan dan menaikkan dua jarinya pertanda damai.
"Kin, Bintang Sirius kita pulang setelah berlayar di langit malam begitu lama. Mana pulangnya engga bawa apa-apa lagi, ehh engga deng. Kamu pulangnya bawa gandengan, ehh Kinta, bukannya Bintang sudah menikah beberapa bulan lalu ya?"
Bintang Sirius, itulah namanya. Terkesan aneh memang sayangnya itulah kenyataannya. Sahabat Ayya juga, dan baru pulang dari honeymoon bereng suaminya. Biasalah pengantin Baru, baru menikah beberapa bulan lalu.
Ia menjitak dahi Ayya yang pembicaraannya makin ngaco. Masuk kedalam ruangan dengan tangan masih menggenggam tangan suaminya. Kinta berdiri dari duduknya, melepaskan genggaman tangan keduanya dan memeluk sahabatnya erat.
"Padahal cutinya seminggu tapi kesannya sebulan. Lama Banget, kepalaku mau pecah nanganin kelakuan Ayya sendirian."
Bintang tertawa pelan, menepuk pundak sahabatnya beberapa kali dan melepaskan pelukannya. Ia membalikkan badannya menatap suaminya yang kesannya memang cukup pendiam.
"Nanti jemputnya sekitaran jam 7 malem,"
"Yaudah, aku pamit kerja juga." suami Bintang maju, memeluk istrinya dan menganggukkan kepalanya ke kedua sahabat istrinya. Setelahnya keluar,menuju tempat kerjanya.
Ayya mencibikkan bibirnya kesal, kesannya ia anak nakal apa sampai-sampai harus susah ditangani seperti perkataan Kinta tadi.
"Ay, engga minat peluk?"
Ayya membuang muka, memilih berjalan ke meja kerjanya. Membuka laptop dan sibuk dengan dunianya sendiri.
Kedua sahabatnya yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya pelan, Ayya dengan segala dramanya. Tidak mau ambil pusing, Bintang pamit ke dapur karena memang bagiannya disana, sedang, Kinta seperti biasa mengurus laporan keuangan setiap harinya.
Ayya itu pekerjaannya random, kadang bisa turun tangan ke bagian dapur juga, kadang bisa ke bagian pelaporan juga. Kadang juga, hanya duduk-duduk santai sepanjang hari hingga pulang. Kalau moodnya sedang Bagus, Ayya dengan senang hati keluar dan berbincang dengan para karyawan, kalau lagi badmood ya gitu. Tau sendirilah.
Kemarin malam, Adela sudah pulang kerumah Tante Meira dan semalam melakukan video Call dengan Ayya.
"Kak Ayya, kak Zam katanya kangen cuman engga mau bilang."
Ayya tertawa kecil mengingat hal itu kembali, membuat Kinta menatapnya aneh. Spertinya sahabatnya benar-benar sudah gila ya?
"Kak Ayya, diluar ada yang nyariin." Ayya berdiri, menatap Anggita seolah bertanya 'siapa?'
"Engga tau kak," lanjut Anggita lagi.
Ayya keluar ruangan tanpa pamit pada Kinta sama sekali, matanya menyipit menatap laki-laki yang Anggita maksud. Ohh ternyata orang itu, ngapain dia sampai bela-belain kemari.
"Hai Bu Ayya, wah sibuk juga." Ayya tersenyum lebar, ia mengibaskan tangannya lelucon orang itu berlebihan sekali.
"Hai juga Fano, aku engga tau kalau ternyata kamu tau aku punya restoran."
Fano, yang kemarin sempat bertemu Ayya di supermarket.
"Kebetulan lewat dan ketemu sebagian anak-anak didepan katanya ini punya kamu makanya mampir. Hebat loh, aku kira kamu bisanya makan coklat aja ehh tau-taunya bisa buka restoran dimana 80% menunya engga jauh-jauh dari coklat."
Ayya sedikit salah tingkah, siapa sih yang tidak senang dipuji seperti ini. Ayya kan perempuan pastinya bakal senang sekali dipuji, perempuan kan suka sekali dipuji kecuali Kinta si judes itu ya, kecuali.
Pintu Restoran terbuka, otomatis Ayya bisa melihat siapa yang datang karena tempat duduknya dekat dengan pintu. Ia mengernyitkan dahinya bingung, ngapain orang super duper sibuk itu jauh-jauh kemari?
"Hmm, pamit dulu Ay, tadinya mau nyapa aja sih."
"Engga coba menunya dulu? Aku kasi gratis deh."
"Menggiurkan tetapi aku lagi buru-buru. Lain kali aja ya."
"Yaudah deh."
Fano berlalu digantikan dengan orang sibuk itu duduk tepat didepannya. Ayya melipat kedua tangannya didepan d**a, menatap menantang laki-laki didepannya.
"Gitu banget sambutannya."
Ayya tidak peduli, mana mungkin laki-laki ini mau jauh-jauh kemari andaikan tidak mempunyai tujuan yang sangat penting. Walaupun dia sahabat Zam sekalipun, Ayya kurang suka soalnya dia selalu membela Sandita padahal dalam beberapa keadaan perempuan model itulah yang salah.
Ya,Marcel. Sahabatnya Zam. Dia kini duduk tepat didepan Ayya, menatap Ayya dengan pandangan berharap lebih.
"Kamu taukan Sandita dapat cuti untuk seminggu kedepan." mulainya, walaupun perempuan ini cerewet dan ceria, tapi entah kenapa setiap kali bertemu dengannya tatapannya seperti sedang memusuhinya.
"Terus?" nah kan? Marcel tidak tau apa kesalahannya.
"Kemarin, Dita sudah mencoba membujuk Zam untuk liburan bareng tapi dia engga mau. Bi-"
"Engga bisa. Kalian bertiga kan sahabatan sudah lama, sebelum ada aku juga sudah sahabatan. Kalau memang mau liburan ya liburan aja jangan bawa-bawa aku dong. Kemarin aku sudah wanti-wanti dan tegasin untuk tidak ikut campur, jangan buat mood aku ancur dong."
Marcel menyerah, pasalnya Sandita begitu kukuh ingin Zam ikut juga. Tidak jauh, paling keliling Jakarta dan membeli banyak orang tapi Zam tidak mau, kalau Ayya ikut pastinya Zam juga ikut.
"Kak, dua tahun lalu aku sudah bilang. Kak Dita itu bukan Cinta sama Zam cuman sebatas sayang sebagai sahabat. Mungkin kak Dita salah mengartikan perasaannya karena lamanya kalian bersama. Kalaupun suka sama Kak Zam, mana mungkin dia punya mantan bejibun."
Ayya menoleh ke belakang, pegawai yang tadinya duduk bersama Aggita mendekat.
"Minuman kesukaanku ya, kak Marcel mau pesan apa?"
"Samain aja."
Pegawainya berlalu, Ayya kembali menatap Marcel yang sepertinya sangat lelah.
Kasihan juga, cuman Ayya itu males melihat kelakuan Sandita yang terus saja menggandeng tangan Zam ketika sedang keluar bersama begitu. Sudah beberapa kali, membuat Ayya muak dengan sendirinya.
Takutnya, jika menolong Marcel malahan ia yang makan hati sendirian. Ayya tau, sangat tau jika Marcel itu sangat suka pada Sandita, tapi katanya Sandita hanya menyukai Zam. Tapi menurut Ayya, Dita tidak suka Pada Zam, hanya obsesi. Feeling sebagai sesama perempuan.
"Zam lagi meeting sekarang, aku kesini cuman curi waktu. Aku pulang dulu," Marcel mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyimpannya di meja, "Zam bakal ngamuk kalau tau aku kemari, dia kurang suka aku deket sama kamu. Harusnya dia lamar kamu secepatnya, perempuan friendly ke semua cowok itu suka gampang baper."
Sahabat Zam pergi, dan Ayya masih sibuk mencerna apa yang Barusan Marcel katakan.
Dia mengatakan Ayya Friendly ke semua laki-laki dan katanya lagi gampang baper? Dih! Emang ya Ayya harusnya tidak menyambutnya dengan baik.
Ayya itu hanya ingin berteman baik dengan semua orang, lagian apa salahnya sih ramah ke banyak orang. Bukannya Bagus jadinya tidak dinilai judes, dan sombong memang aneh itu orang.
"Loh, orangnya sudah pergi kak?" pegawai nya datang, membawa dua gelas minuman.
Dengan wajah kesal, Ayya meminum minumannya untung kesukaanya jadinya pikirannya langsung fresh. "Bawa uang itu ke Anggita." ujarnya dengan nada kesal.
Tanpa mengatakan apapun, ia mengambil uang itu dan berjalan cepat ke kasir. Bosnya kalau dalam mode kesal, agak menyeramkan.
Ayya paling tidak suka ketika ada orang yang mengkritik pertemanannya, Ayya itu bukannya gampang baper tapi salah gitu menerima pujian orang dengan baik? Ayya kan perempuan, perempuan mana coba yang tidak senang ketika ada orang yang mengatakan inilah itulah dalam kalimat pujian.
Si Marcel itu, pantas saja Sandita tidak suka padanya karena hidupnya yang terlalu menonton.
Ayya mendengus kesal melihat gelas yang kini kosong, kembali meraih yang satunya dan meminumnya dengan tandas. Setelah menghabiskan semuanya, Ayya kembali masuk kedalam ruangan.
"Dari mukanya, orang yang datang tadi adalah Marcel." wajah Ayya semakin menekuk kesal, Kinta tertawa, hanya Marcel yang bisa membuat Ayya seperti ini.
Dan Kinta yakin sebentar lagi Ayya akan menelepon Zam.
"Kak Zam!" nah kan.
"Kenapa? Muka kamu engga enak di pandang banget."
Kinta menahan tawanya, mereka berdua tuh pasangan yang cukup unik juga.
"Sahabat kamu, ngapain kamu suruh kemari?" kesalnya, menampilkan wajah paling jeleknya.
"Marcel? Bilang apa tadi dia? Pasti minta kamu ikut liburan sama mereka biar aku ikut juga. Tadinya dia pamit mau nyari makan, nyatanya kesana gangguin mood kamu."
Ayya duduk disebelah Kinta, sekilas menatap banyaknya tabel di layar laptop.
"Inti dari semuanya, dia bilang sama aku katanya aku terlalu terbuka sama lakilaki. Gampang baper katanya. Padahal kan tadi aku cuman ketemu sama Fa-" Ayya menghentikan ucapannya, memukul pelan mulutnya.
"Fa? Fa siapa? Kamu habis ketemu sama siapa tadi? Teman lama, mantan gebetan atau hal lainnya?"
Kinta sedikit menggeser duduknya, males mendengarkan sikap posesif Zam yang sangat berlebihan menurutnya. Memangnya kenapa kalau Ayya bertemu banyak lakilaki, mereka berdua kan tidak punya hubungan apapun.
"Fano, teman lama. Kemarin di supermarket sempat ketemu sih."
Zam tidak menjawab, Ayya yakin saat ini Zam pasti membereskan berkas-berkasnya dan akan segera menuju kemari.
"Kamu tidak perlu kesini, orangnya sudah pergi. Datangnya tidak lama tadi, malahan aku berbincang lama dengan Marcel." larangnya cepat, masalahnya kalau sampai Zam kemari pastinya pergerakan Ayya terbatas. Berbicara sama gebetan Kinta aja dilarang.
"Aku kesana, nanti aku mampir beliin coklat. Bye."
Sambungan telepon mati, Ayya menatap nanar ponselnya yang sudah menampilkan wajahnya sendiri. Ayya suka cara memperlakukannya hanya terkadang batasan yang Zam berikan terlalu banyak, membuat Ayya sesekali tidak menjadi dirinya sendiri.
***
Melihatnya kemudian memalingkan wajah, melihatnya lagi lalu memalingkan wajah lagi. Begitu terus menerus hingga membuat orang yang di tatap merasa orang yang ada didepannya tidak suka ia datang.
Padahalkan Zam hanya takut makin banyak laki-laki yang dekat dengan Ayya, apalagi akhir-akhir ini Zam sibuk dengan urusan kantor yang ia bangun sejak zaman kuliah.
Tidak memperdulikan sikap Ayya, Zam mengedarkan pandangannya dan beberapa tatapan laki-laki yang ada di restoran ini mengarah pada Ayya. Zam berdecak kesal, kenapa juga Ayya harus secantik ini sih?
"Kamu kenapa cantik begini sih?"
Ayya tertegun, ia menatap penampilannya. Jilbab sagitiga jumbo yang hanya terlilit asal-asalan, rok plisket berwarna maron, serta sandal jepit terpasang sempurna di kakinya.
Dan Ayya yakin, bedak yang ia pakai pagi tadi sudah terhapus semua karena berwudhu, penampilan acak seperti ini dikatakan cantik? Apa benar yang Kinta katakan kalau ternyata Zam sudah tahap bucin akut padanya?
Merasa hatinya makin panas, Zam berpindah duduk dikursi dekat Ayya jadinya yang laki-laki itu lihat hanyalah Zam dari samping. Zam melanjutkan acara makannya, untungnya ada beberapa menu bukan berbahan dasar coklat.
"Kak, ada baiknya kakak ikut bareng mereka aja deh. Aku engga mau dicap sebagai penghalang kumpulnya kalian bertiga. Kan cuma sehari, apa susahnya ikut?" masih dengan pembahasan yang sama ternyata.
"Males."
Ayya menyerah, namanya juga keras kepala mau di bilangin beberapa kalipun engga bakal mau. Padahal sebagian orang lebih memilih sahabatnya daripada orang yang disukai nya sedang ini keterbalikannya.
"Ehh, kak Zam Cinta sama Ayya engga sih?" Ayya lupa dengan satu itu, emangnya Zam suka padanya?
"Tidak." nahkan benar, Zam itu tidak suka padanya.
"Jadi engga papa dong kalau Ayya bareng temen, atau mantan gebetan."
Zam menoleh tidak suka, ia tidak suka ketika Ayya malah membahas tentang lelaki lain saat bersamanya.
Ayya mengunci mulutnya rapat-rapat, udahlah damai ajalah. Capek juga.
Keduanya sama-sama terdiam, Ayya memeriksa ponselnya ada beberapa pesan dari Adela dan juga Kinta. Ehh Kinta? Ngapain orang itu mengirimkan pesan padanya padahal berada ditempat yang sama?
Kinta.
Woy, jangan duduk santai disitu ada beberapa laporan yang perlu dibahas. Ingat kerja, jangan ngebucin teros.
Ayya dengan cepat membalasnya.
Ayya.
Sok tau.
Suara dentingan sendok dan piring sedikit mengagetkannya, ia mengalihkan perhatian kearah Zam yang spertinya sengaja melakukan hal itu. Sang empu menampilkan wajah badmoodnya, oh iya Ayya lupa. Zam tidak suka ketika sedang bersamanya Ayya malah asik dengan ponsel.
"Kinta, dia minta aku jangan kelamaan soalnya ada beberapa laporan yang harus aku periksa. Kak Zam masih lama?"
"Kamu ngusir aku?" duh salah lagi.
"Engga gitu, yaudah. Setelah makan kita kemana? Kemarin kan engga sempat jalan-jalan karena kak Dita datang."
Zam terdiam beberapa menit dan Ayya menunggu dengan was-was.
"Nanti dulu, setelah ini aku mau ketemu klien sekitar sini. Kesini juga karena pengen ketemu sama kamu, kangen kayaknya."
Jantung Ayya berdisko di dalam sana, kenapa Zam harus jujur begitu? Ayya kan jadi bingung gimana jawabnya.
"Kita jalannya setelah shalat ashar aja nanti sekalian ketemu sama Marcel buat dia minta maaf sama kamu. Walaupun dia sahabat aku tapi dia juga engga boleh asal bilang seperti tadi."
"Engga engga, engga perlu ketemu sama dia. Kita langsung jalan aja nanti."
"Kenapa? Jadi kamu membenarkan apa yang Marcel katakan?"
Ini orang satu kenapa sih? Marah-marah terus jadinya Ayya serba salah. Ayya mencoba memutar otaknya, harus ada alasan setiap ia mengatakan sesuatu.
"Tadi Marcel bilang aku cantik, kak Zam yakin pengen aku Ketemu sama dia?" Ayya meringis pelan setelahnya, maaf ya Marcel kamu jadi tumbal.
"Engga, untuk sementara waktu kamu jangan ketemu sama dia dulu. Kamu jangan ke kantor aku dulu, biar aku yang samperin kamu kesini."
Masa sih se posesif ini tidak mempunyai perasaan ke Ayya? Cemburunya padahal keliatan banget. Ini Ayya yang engga peka atau Zam yang engga mau jujur padanya?